Bab142"Assalamualaikum," ucap Elea, yang datang berkunjung ke kediaman mertuanya itu."Walaikumsallam," jawab Bi Siti, sembari membuka lebar daun pintu.Mereka saling lempar senyum, Bi Siti meraih buah tangan yang Elea bawakan."Dimana Ibu, Bi?" tanya Erina, yang datang bersama Suami dan anaknya."Ibu di taman belakang, Non. Non El, kasihan Ibu, sudah dua bulan ini sering murung, kayaknya lagi kangen sama non Erina," terang Bi Siti."Ya Allah, Mas." Elea memandangi suaminya."Kita susul Ibu dulu," kata Arya. Keduanya pun bergegas ke belakang rumah menuju taman bunga tanaman Helena.Berbagai bunga cantik menghiasi taman belakang itu, di lengkapi meja dan kursi taman pula, juga beberapa lampu kecil."Nenek!" seru Elea, seolah yang bersuara itu adalah Cinta yang sedang dia gendong.Helena tersenyum sumringah, ketika melihat kedatangan mereka."Cucuku," ucapnya sembari berdiri dan meraih tubuh si mungil Cinta yang kini berusia 1 tahunan."Bu, bagaimana kabarnya? Sehat ajakan!!" Suami Ele
Bab143"Tenang oke! Ceritakan pelan- pelan, ada apa?" tanya Helena."Di depan ada non Erina, wajahnya penuh luka," papar Bi Siti."Astagfirullah, anakku," pekik Helena. Tubuh wanita itu bergetar hebat. Arya langsung bangkit dan berlari ke rumah.Sedangkan Elea memegangi bahu Helena. Wanita itu nyaris pingsan, meski hanya mendengar penuturan Bi Siti."Bi, bawa Cinta ke kamar," titah Elea, di sambut anggukan patuh oleh Bi Siti dan meraih Cinta dari gendongan Helena.Gadis mungil nan cantik itu pun berada di gendongan Bi Siti. Elea memapah Helena yang nampak gemetaran."Apa yang terjadi padanya," lirih Helena."Bu, jangan panik dulu! Biar kita lihat dahulu keadaan Erina," bisik Elea, mencoba menguatkan Helena.Arya mencari keberadaan Erina, hingga terlihat wanita yang dia cari itu berdiri di dekat pintu tanpa berani masuk.Tubuhnya dari kejauhan terlihat begitu kurus, meski dia sedang memunggungi."Erina," panggil Arya. Erina berbalik badan, dan bersitatap dengan Arya yang berjalan mende
Bab144"Astagfirullah, Ibu kenapa?" pekik Elea lagi, setelah melihat Helena yang tergeletak di lantai.Arya langsung berlari, bergegas menghampiri Ibunya.Dengan sigap, Arya menggendong Helena ke ruang keluarga. Sedangkan Elea meminta Erina untuk mengeluarkan minyak kayu putih, untuk membantu menyadarkan Zaenal."Ya Allah Er, kenapa kamu jadi begini?" lirih Elea, melihat wajah Erina."Berat yang kami jalani di sana, dihina dan di remehkan keluarga mereka. Mas Zaenal tertekan tinggal di sana, begitu pula denganku, perdebatan kecil memacu emosinya hingga melampiaskannya padaku, Kak.""Ya Allah sayang," lirih Elea, pedih hatinya melihat nasib Erina.Bagaimana pun luka yang pernah Elea rasakan, tidak sepedih yang kini Erina rasakan.Setega- teganya Andre, dia tidak pernah menyakiti fisik Elea. Tapi Erina, menjadi korban kekerasan fisik suaminya sendiri."Tapi Mas Zaenal sudah minta maaf, dia memohon ampun padaku, Kak. Bahkan mas Zaenal mencium kakiku, mengurus luka- lukaku dengan baik. Di
Bab145Helena membawa masuk tas berisi pakaian Erina, juga Zaenal.Setelah 1 tahun pergi, Helena merasa miris dengan tas yang dikenakan putrinya itu.Tas sobek- sobek, buruk sekali warnanya, tidak jauh berbeda dengan tas yang di bawa Zaenal.Entah hidup seperti apa yang anaknya jalani di kampung suaminya, hingga melihat penampilan serta tas bawaan Erina, Helena pedih melihatnya.Helena terisak, kala membuka isi tas yang Erina bawa. Hanya ada beberapa lembar daster lusuh, yang lebih mirip dengan kain lap di rumahnya.Setahu Helena, saat ikut pergi ke kampung Zaenal, Erina menggunakan koper sebagai tasnya.Dan yang Helena juga tahu, Erina tidak memiliki baju daster lusuh- lusuh dan murah itu."Bu," panggil Bi Siti, yang sedari bingung melihat majikannya itu terus menangis memandangi baju pakaian Erina."Hhmm ...." Helena seakan tidak mampu menyahut panggilan Bi Siti."Jangan terus menangis, nanti Ibu sakit. Kasihan jika non Erina melihat Ibu, dia pikir Ibu sakit hati melihat kedatangann
Bab146"Kak, bolehkah saya minta tolong?" tanya Zaenal padaku.Aku mengernyit. "Apa?" tanyaku. Zaenal menarik napas. "Boleh minta tolong bawa Erina pulang, dia harus istirahat, perjalanan dari kampung cukup jauh, tapi dia tidak ada tidur sama sekali. Saya tidak mau dia sakit, kasihan calon bayi kami," serak suara lelaki itu terdengar menyayat hati.Entah apa yang dia rasakan, kesedihan begitu kentara di wajah keduanya."Mas aku nggak mau! Aku mau jagain kamu," tolak Erina."Tapi kamu harus istirahat," ucap suaminya lagi. "Oke," jawab Erina dengan wajah nampak kesal. Tapi membuat aku tercengang, dia tiba- tiba naik ke brankar suaminya dan merebahkan diri di samping."Astaga, Erina," gumamku sembari menggeleng- gelengkan kepala.Mas Arya nampak sibuk memainkan ponselnya, tanpa perduli sedikitpun dengan kegaduhan kami."Berasa jadi obat nyamuk kalau begini, mending kita pulang, yuk!" ajakku pada suami. Suami melirik ke brankar Zaenal sekejab, kemudian beralih menatapku."Yuk, lihat pe
Bab147"Bolehkan! Masa nggak boleh, kami cuma pengen ngobrol doang," kata wanita itu lagi, sembari menatapku penuh harap."Mas, apakah kamu mau ngobrol berdua dengannya?" tanyaku pelan, dadaku sudah mulai terasa sesak ini.Kutahan- tahan emosiku, sebab ini di tempat keramaian, aku tidak ingin karena wanita di masa lalu ini, aku mempermalukan diri."Lain kali saja ya, Num," sela suamiku. Hah? Lain kali? Jadi ada niatan di hati suamiku untuk berduaan, mengenang cinta di masa lalu? Begitukah?"Janji ya, Ya." Wanita itu berusaha mengulas senyum.Aku menatap suamiku, lelakiku itu nampak salah tingkah."Mas," panggilku, dia pun menatap ke arahku. Tatapan tajam kulayangkan, pertanda hatiku tidak baik- baik saja."Apakah kamu ada niatan untuk reuni masa lalu? Kamu nggak mikir perasaan aku, Mas?" tanyaku, masih dengan suara pelan, meski didada sedang bergemuruh."Kenapa sih dia? Masa gitu saja nggak boleh. Kami memang tidak berjodoh, setidaknya kami masih bisa berteman kan," ucap wanita itu,
Bab148"Iya ...." Jawaban mas Arya nampak terlihat tidak bersemangat. Apa yang terjadi di dalam pikirannya kini? Apakan kehadiran wanita itu sangat berpengaruh?Ya Allah, entah mengapa hatiku menjadi was- was, apalagi wanita itu nampak nekat. "Jagalah rumah tangga hamba, Ya Allah. Biar bagaimana pun, hamba takut kegagalan, hamba juga tidak siap dengan perpisahan," gumamku dalam hati.Mobil melaju dengan perlahan, dan mas Arya tidak berbicara sama sekali seperti biasanya. Aku pun hanya diam, sembari mengawasi tingkah lakunya.Hingga sampai di halaman rumah Ibu, kami keluar dari mobil dan bergegas menghampiri Ibu yang sedang duduk di depan rumah bersama Cinta dan Bi Siti.Usai mengucapkan salam, mencium tangan Ibu, kami pun ikut duduk."Bagaimana kondisi Zaenal?" tanya Ibu mertua."Sudah sadar dan diobati sama dokter," jawabku, sedangkan mas Arya kembali sibuk dengan ponselnya, seakan dia tuli dengan pembicaraan kami.Kehadiran wanita yang bernama Hanum itu, seakan membuatku semakin ti
Bab149"El jangan begini," pintanya mengiba, saat melihatku diam tanpa suara."Arya ini ada apa? Apa yang terjadi? Mengapa Elea begitu syok lihat ponsel kamu?" tanya Ibu mertua dengan bingung melihatku berulang kali."El salah paham, Bu.""Nggak, aku nggak salah paham," jawabku. "Salah paham kamu, El. Aku nggak bermaksud apa- apa sama Hanum," jelas Mas Arya."Hanum," kata Ibu, seakan mengingat nama itu."Wanita di masa lalu mas Arya, Bu." Aku menjelaskan tanpa diminta."Ada apa dengan dia? Kenapa gara- gara dia kalian begini? Jangan tambahi masalah, harusnya kita fokus pada Erina," pinta Ibu dengan wajah memohon.Aku terdiam, mas Arya pun sama. Kulirik Cinta, yang tersenyum kepadaku. Ya Allah bayi mungilku, apa jadinya kalau aku berpisah dengan mas Arya karena masa lalunya? Astagfirullah.Berulang kali aku beristighfar dalam hati, tanpa mau bersitatap dengan mas Arya."Arya jemput Erina dulu," katanya tiba- tiba, setelah melihat ponselnya. Wajahnya nampak terlihat aneh dan seakan bur
Bab689"Selamat malam," ujar Abizar lagi."Ngapain kamu kemari? Setelah kamu membuat anak saya menderita, berani- beraninya kamu menampakkan batang hidung seolah tanpa dosa," bentak Kevin, yang langsung berdiri dengan emosi."Papah, sabar," pinta Elea, sambil memegang tangan Kevin."Manusia tidak tahu malu ini, dia datang ke rumah Galih dengan nyali besar, setelah menyia- nyiakan anak- anakku, aku tidak akan mengampuninya," pekik Kevin."Maaf, Pah. Saya datang kemari, hanya ingin kalian tahu, saya dan Cinta saling mencintai, kami ingin kalian restui hubungan kami lagi dan jangan menentang hubungan kami, cuma itu ...." "Apa?" Seluruh keluarga memekik.Cinta pun sangat syok, mendengar ucapan berani Abizar. Tiba- tiba Jelita tersandar, mendengar ucapan Abizar. "Jelita," pekik Abel. Wanita yang biasanya membenci Jelita itu, langsung memeluk Jelita yang nampak syok sekali."Brengsek!!" Cinta bangkit dari duduknya, menghampiri Abizar dan menampar keras wajah lelaki tidak tahu malu itu."D
Bab688Melihat begitu banyak panggilan telepon dari Bagus, Cinta pun memutuskan, untuk menghubungi balik nomor Bagus.Dan lelaki itu dengan cepat menjawab telepon Cinta."Assalamualaikum, Tante ....""Wa'alaikumsallam, Gus.""Maaf Tan, saya mau tanya, Tante ada bicara apa sama Ibu? Sampai- sampai Ibu pingsan.""Maafkan Tante, Gus. Tadi ada berita buruk, yang sempat mengguncang perasaan kami semua. Kejadian siang tadi cukup mengejutkan, pesawat menuju Bandung mengalami kecelakaan. Dan Nenek, juga Kakek ke Bandung hari ini, itu yang Tante sampaikan sama Ibu kamu ....""Inalillahi, jadi bagaimana kabarnya, Tan. Maaf Bagus tidak tahu apa- apa.""Kuasa Allah, Gus. Rupanya mereka selamat, karena Kakek pingsan, sebelum mereka naik pesawat. Nenek membawa Kakek ke rumah sakit, dan mereka ketinggalan pesawat, Gus. Luar biasa, diluar dugaan kami semua, Allah masih memberi kita kesempatan, untuk berbakti kepada mereka berdua," jelas Cinta."Alhamdulilah, Allahu akbar, masya Allah, luar biasa, Tan
Bab687"Allahu akbar, Abel, Kak Cinta ...." Galih menjerit, membuat orang yang kini di depannya jadi bingung.Mendengar jeritan Galih, mereka yang duduk di ruang keluarga pun berhamburan keluar menyusul Galih."Astagfirullah ...." pekikkan mereka semua terdengar bersamaan. Galih terlalu syok, membuatnya nyarus pingsan."Kalian jangan mengira Mamah setan ya," bentak Elea dengan kesal."Ini Mamah beneran?" Abel bertanya. Semua menjadi bingung, bahkan beberapa dari mereka terus- menerus mengusap mata dan wajah, memastikan yang di lihatnya adalah nyata, bukan halusinasi."Mamah sudah tahu, apa yang ada di dalam otak kalian. Jangan heran, jika Mamah datang dengan wajah acak- acakkan begini, bahkan tanpa menggunakan tas sama sekali. Mending bayarin taksi Mamah sana, orangnya dah nunggu," titah Elea."Ini Mamah kita," pekik Cinta yang langsung menghambur ke pelukan Elea, disusul Raisa dan lainnya memeluk Elea."Aduh ...." Elea pun memekik, melihat tingkah mereka semua yang langsung memelukny
Bab686"Jelita belum tahu kabar duka ini, tadi aku sudah coba hubungi, tapi belum juga dia jawab panggilan teleponku," lirih Cinta."Aku juga bingung, Kak. Apa yang harus aku katakan sama dia, entah bagaimana reaksi Jelita, jika tahu Mamah dan Papah sudah tiada. Pesawat itu terbakar, sebelum benar- benar jatuh," ujar Galih kembali menangis. Bayangan wajah tua kedua orang tuanya menari- nari di pikiran mereka semua."Pantas Mamah memelukku berulang kali, mengingatkan kita terus- menerus, bahwa sesama keluarga harus saling menyayangi dan tolong- menolong. Mereka juga selalu berbicara tentang kematian, yang aku sendiri tidak tahu, bahwa itu adalah pertanda, mereka berdua akan pulang bersama- sama, untuk selamanya."Cinta menangis kuat, Kamila memeluk Ibunya dengan erat, begitu juga Raisa, memeluk Abel dan menangis di pelukan Ibunya."Rasanya tidak pernah sesakit ini, kehilangan yang begitu mengejutkan, membuat hati ini tidak siap. Berpuluh tahun hidup bersama dengan keduanya, hingga Rai
Bab685"Nanti saja ah, malas. Lagian kita lagi makan gini, masa di gangguin hal- hal yang tidak jelas begitu," ujar Cinta, mengabaikan ucapan Galih tadi."Cinta, sudah 1 tahun kita bersama, tapi kenapa, kamu nggak pernah mau pertemukan aku dengan anak kita, Kamila?" tanya lelaki itu."Mas, tidak semudah itu. Kamila akan tahu segalanya, bahwa kamu pernah menikahi Jelita juga. Dan Enggar, juga Bagus, bagaimana tanggapan mereka pada kita? Kamu meninggalkan mereka, lepas tanggung jawab, dan malah bersamaku. Tentu saja, bukan cuma mereka yang akan kecewa sama kita, tapi Kamila juga.""Kemudian Mamah dan Papah, bisa- bisa aku mereka kutuk, Mas ....""Tapi mau sampai kapan, kita kucing- kucingan seperti ini? Aku juga ingin diakui, dan dianggap bagian keluarga kamu, Cin.""Belum waktunya, Mas.""Kapan waktunya, Ta? Aku dan Jelita, itu hanyalah kesalahan. Sedangkan aku sama kamu, itu cinta yang tulus. Aku mohon, pikirkan ini baik- baik, aku hanya ingin di akui, dan Kamila juga harus tahu, bahw
Bab684Perjalanan panjang Bagus lalui bersama Jelita, Ibu yang kini sangat dia sayangi, dan dia utamakan kebahagiaannya."Pulang dari umrah, kita ke rumah Nenek saja ya, Gus.""Terserah Ibu saja, Bagus ngikut saja. Bagus tidak punya siapa- siapa untuk di bahagiakan, jadi segala waktu dan apapun yang Ibu mau, asal Ibu bahagia, Bagus akan selalu turuti, insya Allah," ujarnya.Jelita terharu dan menatap penuh kasih sayang pada Bagus. Sementara Bagus dan Jelita melaksanakan ibadah umrah, rupanya rumah mewah Elea, sudah terjual sesuai kesepakatan dengan pembelinya.Penjualan rumah, di saksikan Galih, karena hasil dari penjualan rumah mewah tersebut, 50% milik Galih, 30% milik Cinta dan sisanya barulah milik Elea dan Kevin.Setelah semua beres, Elea dan Kevin, memutuskan untuk tinggal di hotel. Sebelum rumah impian mereka di desa selesai di bangun.Hanya sisa 10% saja, rumah di desa itu akan selesai dan bisa mereka tempati.Galih sudah menyarankan, agar Elea dan Kevin mau tinggal di rumah m
Bab683"Kenapa kamu terlambat?" tanya atasan Bagus, yang ada dibagian divisinya."Maaf pak Rahmat, saya menabrak orang tadi di jalan."Pak Rahmat, yang merupakan pengawas divisi pemasaran, tidak begitu berani bersikap keras pada Bagus, tapi dia tetap berusaha profesional, agar tidak terlalu nampak membeda- bedakan karyawan."Lain kali berhati- hati di jalan, Gus. Dan tolong jangan ulangi lagi, keterlambatan datang seperti ini. Hari ini saya maklumi, tapi kalau terulang lagi, saya akan berikan sangsi pemotongan gaji," jelas pak Rahmat memberi peringatan."Baik, Pak." Hanya itu jawaban Bagus. Sadar diri akan kesalahannya, Bagus tidak berani banyak bicara.Pak Rahmat meninggalkan divisi pemasaran, menuju ruangannya, untuk memeriksa laporan penjualan kemarin.Sementara Bagus duduk di meja kerjanya, dengan pikiran yang mulai tidak fokus. Bagus mulai memikirkan wanita yang di tolongnya tadi, dan itu sangat mengganggu kerjaannya.Tiba- tiba, HRD memasuki ruangan divisi pemasaran, bersama den
Bab682"Bu ...."Jelita menatap Bagus."Bagaimana kalau kita pergi umrah?"Jelita terpaku sejenak, mendengar usulan Bagus."Gimana, Bu?" tanya Bagus lagi, membuat Jelita tersadar dari keterkejutannya.Anak yang biasanya cuek, hanya memikirkan kesenangannya sendiri, kini mengajaknya pergi umrah. "Kamu serius pengen umrah, Gus?" tanya Jelita balik, memastikan keinginan Bagus."Iya, Bu. Mumpung kita ada rezeki lebih. Kita ajak Enggar dan Lina juga, mana tau mereka mau. Tapi jika mereka menolak juga tidak apa- apa, kita berdua saja yang pergi ke sana, Ibu mau kan?""Tentu saja Ibu mau, Gus. Masya Allah, niat kamu baik sekali anakku, mana mungkin Ibu menolak."Bagus tersenyum. Dan niat mereka pun, di sampaikan kepada Enggar dan Lina, ketika mereka makan malam bersama."Dalam waktu dekat ini belum bisa, Bu, Mas. Enggar masih harus fokus ke perusahaan," jawab Enggar.Wajar sih, belum ada 1 tahun dia bekerja, masih tidak enak hati jika terus izin libur, untuk urusan pribadi.Sebagai calon pe
Bab681"Tugas kita sudah selesai, nampaknya anak, cucu dan cicit tidak ada masalah, dengan pembagian harta warisan kita," ujar Elea, ketika dia dan Kevin merebahkan diri di atas kasur mereka."Kuharap juga begitu, agar kita berdua bisa menjalani kehidupan yang tenang," jawab Kevin."Kulihat Abel juga tidak membuat masalah lagi." Elea merasa lega, melihat sikap menantunya itu, yang semakin baik dari sebelumnya.Galih membelikan rumah yang cukup mewah, untuk dia tempati dan istrinya. Galih tidak ingin menyatukan istrinya lagi sama Ibunya. Karena bagi Galih, jika keadaan sudah tidak nyaman, dan terus di paksakan, maka mereka akan saling menyakiti.Demi menjaga rumah tangga dan hati orang tuanya, Galih memutuskan untuk memiliki rumah sendiri.Tetapi dia tetap memperhatikan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak satu rumah.______>_______Karena perjalanan yang cukup jauh, Jelita mulai jatuh sakit. Badannya meriang, nyaris semalaman, Lina tidak bisa tidur, karena khawatir dengan kond