“Kamu pernah merasakan ketakutan?” tanya Kinar yang malam itu sedang duduk di ruang kerja Anan. Suaminya itu sedang mengerjakan pekerjaannya yang belum usai dari kantor. “Kehilangan aku, mungkin, atau kedua orang tua kamu. Iya, sih, mereka hanya orang tua angkat kamu. Tapi siapa yang tahu, ‘kan jika mereka berharga dari yang kamu kira.”Anan hentikan jarinya yang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap wajah Kinar lekat-lekat. Pertanyaan yang Kinar ajukan tidaklah aneh namun istrinya itu dengan lagak santainya malah membaca novelnya dengan serius tanpa mau diganggu. Wanita memang selalu jadi spesies paling aneh di muka bumi.“Untuk apa aku takut kehilangan?” Anan menjawab pertanyaan dari Kinar namun juga meninggalkan tanya yang membuat Kinar melirikkan matanya dengan tajam. “Jika itu tentang kamu, sudah pasti aku sangat ketakutan. Karena ada yang pernah berkata jika kita akan bersama dengan pasangan kita di masa tua. Tidak dengan anak maup
“Jika dia tidak menyukaimu, kamu tidak apa-apa?”Pertanyaan itu berasal dari bibir Kinar yang sekali lagi ingin memastikan. Siang ini, cuaca kota Bandung cukup terik meski semalam diguyur hujan lebat. Pertemuannya dengan teman sesama penulis di sebuah kafe yang ada di daerah Braga membayar rasa penasaran Kinar atas keluhan temannya beberapa hari yang lalu. Wanita cantik ini akan memasuki usia 28 tahun dalam hitungan minggu. Jaraknya tak berbeda jauh dengan Kinar sehingga membuat mudah keduanya untuk saling berbagi.Sejujurnya Kinar tidak tahu apa-apa tentang wanita berambut sebahu ini. Selain kisah hidupnya yang rumit, wanita ini juga mendapat tekanan penuh dari keluarganya. Kinar merasa kasihan namun tak banyak yang bisa Kinar lakukan. Dia pun wanita tangguh yang Kinar temui sepanjang hidupnya. Begitu kuat dan mandiri. Begitu tangguh memendam segala rasa atas masalah hidupnya namun orang lain selalu datang memberinya kisah dan keluhan. Bukankah artinya dia tidak memiliki sandaran dan
“Apa ini!?” teriak Adrian saat berkunjung ke rumah Anan dan Kinar malam itu. “Kamu, apa yang kamu lakukan?” tanyanya pada Kinar yang sedang asik ganyem sosis bakar buatan Anan. “Ya!”Wanita hamil itu tetap tidak peduli meski Adrian mereog sekalipun. Dan Anan sebagai suami juga melakukan hal yang sama. Kenapa mereka kompak sekali? Batin suci Adrian meraung sementara harga dirinya hancur berkeping-keping.“Anan, kamu keterlaluan. Pikirmu dengan memajang fotoku serta identitas diriku di sebuah situs perjodohan akan memberiku solusi? Kamu pikir ini semudah membalikkan telapak tangan dan semua masalah yang menghampiri hidupku akan lenyap begitu saja, iya? Dasar gila! Kalian pasangan teraneh yang pernah aku temui di jagat bumi ini.”Adrian benar-benar menggila membuat Anan dan Kinar saling berpandangan lalu kembali fokus pada camilan malam mereka.“Jangan berteriak-teriak!” Kinar memberi peringatan seraya menudingkan sendoknya ke arah Adrian. “Jangan ajari anakku menjadi kasar sepertimu dan
Malam itu, karena hujan lebat kembali mengguyur Bandung, maka tidak ada pilihan bagi Adrian untuk hengkang dari rumah Anan dan Kinar. Lagi pula, pasangan suami istri itu melarang keras untuk Adrian menginjakkan kedua kakinya keluar dari pintu rumah mereka. Berbagai ancaman membahayakan bahkan doa serapah yang meluncur keluar dari bibir seorang Kinar Dewi cukup membuat Anan merinding. Dan di sinilah dirinya berada.Duduk di sofa ruang santai keluarga Anan dalam kondisi keremangan. Semua lampu-lampu telah di matikan sejak beberapa menit yang lalu. Cuaca yang mendukung untuk menarik selimut serta bercengkerama dengan pasangannya, bagi yang sudah memiliki dan berlaku untuk Anan serta Kinar. Pasangan itu telah minggat dari hadapan Adrian. Memberi ruang untuknya berpikir dan menimang.Guyuran air hujan yang jatuh mengenai tanah, membuat Adrian sadar harus berpikir dengan sangat lama. Bukan ragu namun lebih kepada mempertimbangkan pada banyak hal. Ke depannya, Adrian tidak ingin bermain-main
Untuk makhluk kecil seperti kita yang tumbuh di muka bumi ini, yang luasnya tak tertahankan hanya melalui cinta. Kita hanyalah setitik debu di alam semesta. Jadi jangan berlebihan dan hiduplah dengan nama dan akal sehatmu.Kata-kata itu yang sedang Ivana coba terapkan untuk hidupnya. Pasca bercerai dari Anan Pradipta, tidak banyak masalah yang harus menghampiri dirinya atau tatanan hidupnya harus berubah. Ivana WIjaya masih sama seperti dulu. Yang menjadi pembeda hanyalah statusnya saja. Jika untuk bersenang-senang dan menyalurkan hasratnya, Ivana bisa melakukan dengan pria manapun yang dirinya tunjuk meski tidak semuanya berakhir di atas ranjang dengan pakaian yang bercecer.Apa pun itu, seberat apa pun perjalanan hidupnya setelah mendapat gelar janda, Ivana selalu waras untuk menerapkan hidup sehat. Sejauh ini, pelampiasan terbaiknya ada pada Banyu Himawan. Namun pria yang telah bersamanya selama beberapa tahun inipun tidak sepenuhnya bisa Ivana percayai untuk melepaskan gairahnya.
“Yang terpenting adalah siapa yang membuat bunga di pohon itu mekar. Artinya hidupmu bisa berubah tergantung dengan siapa kamu bertemu.”Pagi-pagi sekali Adrian terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Membuka perlahan kedua matanya yang masih lengket untuk berdamai dengan sorot mentari yang masuk melalui celah gorden. Semalam adalah tidur paling pulas yang Adrian rasakan setelah sekian lama. Bak dipeluk kehangatan dan dicurahi oleh kasih sayang tak kasat mata. Layaknya bayi dalam dekapan sang ibu, Adrian memejamkan kedua kelopak matanya begitu saja. Begitu tenang dan damai hingga pagi ini, rasanya belum ikhlas untuknya terbangun.Lalu ingatan soal percakapan dirinya bersama Nindi yang memakan waktu berjam-jam. Wanita itu benar-benar dewasa dan bijak. Setiap keluhan yang Adrian luncurkan dari mulutnya mendapat respons positif. Padahal Kinar telah berkata jika Nindi pun butuh di dengarkan dan diberi sandaran. Ah, Adrian benar-benar kekanakan. Wajar saja mamanya selalu naik pitam jika meny
Semua kelopak bunga ataupun rumput, ada goresannya. Jika kamu tetap seperti rumput di lapangan yang berangin, bukankah lukamu akan semakin dalam?Adalah kutipan yang Kinar Dewi baca dalam sebuah novel yang baru saja dirinya beli. Seraya menunggu Anan yang sedang rapat bersama klien barunya, Kinar habiskan waktunya dengan bersantai di ruangan sang suami. Sebenarnya ini bukan hal yang ingin Kinar lakukan. Selain tidak etis dan tidak pantas dilihat, Kinar seperti istri yang terlalu terobsesi dengan suaminya. Padahal dorongan untuk berkunjung ke kantor Anan bukanlah kemauannya. Jika ditanya siapa yang memengaruhi kamu untuk tiba di sini, maka jawaban Kinar adalah tidak tahu. Karena memang begitu adanya.“Jangan dengarkan apa yang orang lain katakan atau kesimpulan apa pun tentang dirimu.” Teguh datang membawa makanan dalam paper bag. Meletakkan di hadapan Kinar yang tersenyum semringah melihat tulisan sablon makanan kenamaan kesukaan jutaan umat. Dari berbagai penjuru negara manapun, maka
“Aku melihatnya secara sederhana saja. Komposisi cinta di dalam sebuah pernikahan hanyalah sepuluh persen. Jika kamu merasa tidak terima, kita akan mengobrol sepanjang hari ini. Bagaimana?”Tidak masalah. Adrian akan menuruti maunya Nindi yang hari ini dirinya temui. Wanita itu tenang dan berwajah cantik. Senyum di bibirnya yang terulas terekam baik dalam benak Adrian. Dan lebih dari apa pun, Adrian ingin menyimpannya diam-diam. Oh, rupanya seperti ini kasmaran? Apakah bisa disimpulkan secepat itu?Namun ada yang mengganjal. Cepat-cepat Adrian mengedipkan kedua matanya beberapa kali setelah rasa sadar itu menyeret dari lamunannya. Di awal perjumpaan ini, kenapa Adrian merasa telah di tolak secara tidak langsung, ya? Nindi menarik sebuah garis bawah dengan sangat cepat jika pernikahan di matanya tidaklah begitu menyenangkan. Sepertinya, di dalam pandangan Nindi, kehidupan rumah tangga amatlah berat dan niat untuk menuju ke arah sana telah ditumpas tanpa bisa dicegah. Kenapa begitu?“Ka