“Anan,” panggil Adrian yang meski telah legowo dalam menerima nasihat Anan beberapa detik lalu soal perjodohannya dengan salah seorang pengusaha ternama di Indonesia. Mata sayu Adrian melukiskan sejuta luka yang oleh orang-orang sekitarnya tidak terlihat begitu jelas. Samar dan tidak akan terlihat dalam sekali pandang. Kecuali saat menatapi netra gelap itu. Lukanya benar-benar terlihat.“Kamu tidak akan iri dengan kehidupan yang kamu miliki sekarang ini. Pencapaian yang kamu dapat dengan segudang prestasi yang telah kamu sabet. Meski diadopsi, faktanya kamu memang cetakan yang ditakdirkan untuk berhasil. Kamu membuat bangga keluarga Pradipta dan Zumarnis penuh kegirangan menyambutmu atas segala keberhasilanmu,” tutur Adrian disertai tawanya yang sumbang. “Lalu aku?” tunjuknya pada dirinya sendiri. “Aku produk gagal yang sampai kapanpun tidak akan bisa sejajar denganmu.”Mendengar itu, baik Anan maupun Kinar hanya terdiam. Lebih tepatnya sengaja mengunci mulut mereka untuk tidak member
Zahra tidak tahu harus membangun obrolan yang seperti apa kepada Banyu. Hubungan ini telah berubah menjadi sebuah kehambaran dan dingin. Mulai ada jarak yang tercipta yang tidak Zahra sadari sejak kapan. Dunia Zahra bukan lagi tertuju pada Banyu melainkan sosok Anan Pradipta yang sepenuhnya telah memenuhi hati dan pikirannya. Sedangkan Banyu yang acuh terhadapnya tidak lagi memiliki arti apa-apa di mata Zahra.“Mau aku masakkan sesuatu?” tawar Banyu seraya meletakkan ponselnya. Pria itu menyeduh kopi panasnya yang masih mengepulkan asap dan meletakkannya kembali usai puas membaui aromanya. “Oh, bau kopi ini lebih pekat dari biasanya. Apa ini kopi yang berbeda?”“Dari Medan. Rina memberikannya padaku setelah cuti pulang kampong. Bagaimana? Apakah lebih terasa pekat untuk kopinya? Ini di buat dan diracik dengan cara manual. Aku bisa mencium wanginya hingga ke hidungku.” Zahra tersenyum.“Ah, pantas saja. Saat bersambut dengan lidahku, rasanya begitu kuat. Kamu harus mencobanya saat terb
“Apa memang selalu begitu? Produk pertama seringnya gagal dan tidak menjadi dambaan setiap orang tua, terutama ibunya. Aku agak merasakan frustrasi dan tanpa sebab yang jelas, aku ingin pergi sejauh mungkin dari hadapan mereka.”Adrian masih menggalaui perasaannya. Anan yang sedang mengambil beberapa camilan, meninggalkan Kinar untuk mendengarkan keluhan Adrian. Kelihatannya sudah selesai karena pengalihan topik yang Anan angkat. Sayangnya sama saja. Adrian tetap memikirkan rasa sakitnya. Rasa sakit akan terus hadir tanpa bisa kita cegah. Karena keluarga adalah orang yang paling dekat dengan kita sehingga merekalah yang paling mudah menorehkan luka untuk kita.“Kata siapa itu?” tanya Kinar yang tersenyum tipis. Soal kesakitan yang Adrian rasakan, Kinar tidak akan menebak ataupun mengatakan jika itu akan segera berlalu. Sakit yang ditimbulkan Adrian pastinya jauh lebih berbekas daripada caranya mengungkapkan kesakitan itu sendiri. “Tidak semua anak harus menjadi ekspektasi orang tuanya
Setelah mendengarkan curhat panjang lebar milik Adrian dan perjalanan hidupnya yang ternyata tidak baik-baik saja, Kinar lebih banyak menghelakan napasnya. Di benaknya terekam banyak bayangan bahwa hidup di tengah-tengah keluarga kaya raya memang tidak seenak kelihatannya. Mereka dipaksa untuk normal meski tertatih-tatih. Mereka ambruk namun harus bisa bangkit seperti sedia kala. Mereka cacat namun harus sempurna tanpa memperlihatkan kecacatannya. Dan Kinar, benar-benar ketakutan sendiri akan hal itu.“Bagaimana jika anakku akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang Adrian alami?” gumam Kinar rendah dengan wajah penuh tekanan. “Tidak bisa!”Tiba-tiba Kinar terbangun dari duduknya di tepi ranjang yang membuat Anan kebingunan. Kedua alis Anan menyatu dengan mata yang terus mengikuti langkah mondar-mandir sang istri. Apa, sih, yang sedang dipikirkan ibu hamil satu ini? Begitulah batin suci Anan mencicit tanpa sanggup bersuara. Kinar bisa berubah menjadi reog jika Anan berani meneg
Dalam pandangan Zahra, sebuah hubungan tidak hanya terjalin oleh dua orang yang menjunjung tinggi sebuah komitmen untuk bersama. Arti hubungan di mata Zahra Amira adalah, dia yang memahami diri kita sepenuhnya, secara tulus dan tidak menuntut kita untuk menjadi yang dirinya maui. Menerima kita dengan segala luka batin akibat sakit di masa lalu dan secara perlahan menjadi penawar dari rasa sakit tersebut. Arti hubungan itu cukup sederhana namun juga rumit di suatu keadaan yang lain.Zahra menarik napasnya dalam-dalam. Termenung di meja kerja rumahnya dan melewatkan waktu entah berapa menit hanya untuk bengong seperti ini. Zahra dan pikirannya yang kacau terasa sangat berat untuk melihat hal-hal baik di sekelilingnya. Contohnya Banyu Himawan. Entah sajak kapan, di mata Zahra, tunangannya itu bukan lagi seseorang yang Zahra harapkan namun dipaksa bertahan oleh keadaan. Bukankah itu menyebalkan?“Kalau memiliki pasangan hanya untuk partner seks atau teman tidur, rasanya itu tidak bisa dik
Ivana Wijaya tidak sengaja melihat Zahra yang sedang terduduk sendiri di sebuah kafe. Sore ini, mendung menyelimuti langit Bandung. Semilir angin yang berembus cukup menyejukkan kala membelai kulit. Menerbangkan rambut Ivana yang tergerai.Melihat Zahra yang duduk termenung dengan segelas minuman dingin di hadapannya membuat Ivana penasaran ingin mengetahui masalah apa yang menyapa kepalanya. Namun seperti sadar jika itu tidak penting, Ivana memilih duduk di meja yang memudahkannya untuk melihat gerak-gerik Zahra. Wanita itu diam dengan tenang dan sesekali kedua alisnya menyatu lalu napasnya terhela.“Beban hidupnya begitu beratkah?” gumam Ivana kepada dirinya sendiri dan terkekeh setelahnya. Ivana mengangkat tangannya dan seorang pelayan datang menghampirinya. “Americano dingin,” kata Ivana tanpa melihat buku menu yang pelayan itu sodorkan.Dalam sebuah hubungan, Ivana yang telah mengalaminya sendiri, tidak ada yang benar-benar mulus perjalanannya. Buncahan bahagia yang kita dapatkan
“Kamu pernah merasakan ketakutan?” tanya Kinar yang malam itu sedang duduk di ruang kerja Anan. Suaminya itu sedang mengerjakan pekerjaannya yang belum usai dari kantor. “Kehilangan aku, mungkin, atau kedua orang tua kamu. Iya, sih, mereka hanya orang tua angkat kamu. Tapi siapa yang tahu, ‘kan jika mereka berharga dari yang kamu kira.”Anan hentikan jarinya yang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap wajah Kinar lekat-lekat. Pertanyaan yang Kinar ajukan tidaklah aneh namun istrinya itu dengan lagak santainya malah membaca novelnya dengan serius tanpa mau diganggu. Wanita memang selalu jadi spesies paling aneh di muka bumi.“Untuk apa aku takut kehilangan?” Anan menjawab pertanyaan dari Kinar namun juga meninggalkan tanya yang membuat Kinar melirikkan matanya dengan tajam. “Jika itu tentang kamu, sudah pasti aku sangat ketakutan. Karena ada yang pernah berkata jika kita akan bersama dengan pasangan kita di masa tua. Tidak dengan anak maup
“Jika dia tidak menyukaimu, kamu tidak apa-apa?”Pertanyaan itu berasal dari bibir Kinar yang sekali lagi ingin memastikan. Siang ini, cuaca kota Bandung cukup terik meski semalam diguyur hujan lebat. Pertemuannya dengan teman sesama penulis di sebuah kafe yang ada di daerah Braga membayar rasa penasaran Kinar atas keluhan temannya beberapa hari yang lalu. Wanita cantik ini akan memasuki usia 28 tahun dalam hitungan minggu. Jaraknya tak berbeda jauh dengan Kinar sehingga membuat mudah keduanya untuk saling berbagi.Sejujurnya Kinar tidak tahu apa-apa tentang wanita berambut sebahu ini. Selain kisah hidupnya yang rumit, wanita ini juga mendapat tekanan penuh dari keluarganya. Kinar merasa kasihan namun tak banyak yang bisa Kinar lakukan. Dia pun wanita tangguh yang Kinar temui sepanjang hidupnya. Begitu kuat dan mandiri. Begitu tangguh memendam segala rasa atas masalah hidupnya namun orang lain selalu datang memberinya kisah dan keluhan. Bukankah artinya dia tidak memiliki sandaran dan