Ini pertama kalinya Anan melihat Kinar kalap dalam makan. Tidak biasanya istrinya itu bak raksasa kelaparan. Dua mangkuk soto tandas dalam waktu sekejap. Bukan soal nominal uang yang harus Anan keluarkan namun intinya ini cukup mencengangkan. Jika perkara nominal, Anan sanggup kok membeli warung soto yang ada di pojok jalan menuju pasar baru. Warungnya sederhana dan selalu ramai terutama di waktu pagi hari.“Coba ceritakan tentang Teguh,” pinta Kinar setelah membuat Anan bengong cukup lama. Istrinya itu baru saja memotong-motong tempe mendoan dan di masukkan ke dalam kuah sotonya lalu menyeruputnya dengan suara khas yang syahdu. “Aku melihatnya kalian amatlah dekat dan kamu seperti menaruh kepercayaan secara penuh kepada Teguh.”Anan berdeham dan meneguk teh hangatnya. Kinar masih menatapinya dengan saksama membuat Anan canggung dengan gerak-gerik mata yang gelisah. Bukan karena menyembunyikan sesuatu dari Kinar namun tebakan yang Kinar layangkan benar adanya. Anan tidak tahu jika ras
Zahra Amira merasa tidak tenang. Belum ada balasan dari email yang dikirimkannya untuk Anan. Pikiran Zahra bercabang dengan banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul.“Apa mungkin karena bukan urusan pekerjaan, email itu tidak mendapat respons?” Zahra bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Berjalan mondar-mandir bak setrikaan, Zahra gigiti kuku-kuku jari tangannya. Sesekali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan dengan berat. “Tapi aku sudah menuliskan jika itu menyangkut urusan pekerjaan. Kenapa tidak ada balasan sama sekali, ya? Apa seperti ini rasanya mengagumi suami orang? Aduh, kenapa aku nekat sekali, ya?”Zahra mengutuki tindakannya yang ceroboh dan berniat menarik email yang telah dikirimkan untuk Anan. Namun baru saja mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesarannya, kedua mata Zahra berbinar dengan penuh cahaya. Ada email baru di kotak masuknya dan itu dari Anan.“Oh tentu saja boleh. Kamu bisa melampirkan fail dokumen di sini untuk saya pelajari.”Tidak terbilang s
Hujan selalu datang tanpa bisa di duga-duga. Kenapa? Mendung saja belum bisa menentukan akan hadirnya hujan. Terkadang cuaca terik pun bisa mendadak hujan. Maka dari itu, ada beberapa orang yang menyukai hujan namun tidak sedikit yang mengumpatinya. Dikatai tidak bersyukur, mereka adalah pemain handal yang mempunyai jawaban.“Cucianku belum kering.”“Jalanan menjadi basah. Di mana-mana banjir.”“Aku kesusahan saat akan berangkat kerja.”“Hujan datangnya tidak tepat waktu. Menyebalkan!”Gerutuan, omelan dan umpatan semacam itu sudah biasa terjadi. Sedangkan kita tidak bisa mencegahnya untuk turun membasahi bumi. Itu, ‘kan takdir Tuhan. Anugerah dari langit. Kita protes pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula atau hujan akan berhenti detik itu juga. Jadi lebih baik jangan menjadi konyol dengan kuasa Tuhan.Namun lain halnya dengan Kinar. Punya kenangan buruk dengan hujan, Kinar secara perlahan mencoba berdamai dengan masa lalunya. Pernah kehilangan kedua orang tuanya di bawa
Setelah obrolan subuh buta itu, baik Anan maupun Kinar tetap bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Lagi pula, dalam sebuah hubungan bersikap saling terbukan bukanlah hal yang aneh. Kinar Dewi meski terlihat keras kepala, nyatanya ada sisi lembut di dalam hatinya yang memendam perasaan sakit akibat kejadian masa lalu di hidupnya. Sama halnya dengan Anan yang menutup rapat-rapat jati dirinya dan hanya mengatakan semuanya kepada Kinar.“Kenapa harus berpakaian santai seperti ini?” tanya Anan yang tidak mengerti kenapa Kinar menyuruhnya mengenakan pakaian olahraganya. Ini bukan gaya Anan sama sekali ketika hendak pergi ke kantor. “Aku juga harus ke kantor. Tidak mungkin menyempatkan diri untuk berganti pakaian dulu.”“Ini masih terlalu pagi untuk kamu membuang-buang tenaga. Kenapa harus mengenakan pakaian ini?” Kinar menepuki bagian pundak Anan dengan pelan dan tersenyum manis. “Bukankah kamu hanya perlu mengenakannya saja? Diam!” perintah Kinar tegas. “Ini pagi hari yang men
Anan Pradipta menyusuri jalanan sepanjang kota Bandung menuju kantornya. Kedua tangannya memegang kendali mobil dengan mata yang terus melirik-lirik ke arah istrinya. Jelas sudah wajah Kinar penuh binar alih-alih perasaan bersalah. Dan Anan baru menyadari jika kejutan itu adalah bagian dari rencananya. Kenapa Anan tidak peka sama sekali, ya? Anan terus merutuki dirinya sendiri. Merasa bodoh dan memang begitu adanya dirinya.“Kamu punya rencana sesederhana ini tapi tidak memberitahuku. Kamu kenapa begitu sering membuat aku terkena serangan jantung, sih!?” omel Anan yang di balas dengan kekehan oleh Kinar. “Sekarang kamu tertawa penuh kemenangan!” dengkus Anan memalingkan wajahnya ke depan. Menatapi kanan dan kiri jalanan yang mulai padat merayap.“Salah kamu kenapa tidak memperhatikan dengan saksama apa yang aku kenakan. Harusnya kamu sadar ketika aku memilih menunggu kamu di tempat parkir. Jelas-jelas ada kemungkinan jika aku akan menjadi penguntitmu. Tapi ngomong-ngomong, aku keren,
“Saya rasa mereka cocok,” kata Teguh melaporkan hasil intaiannya kepada Anan. Keakraban yang Kinar dan Zumarnis bangun terlihat begitu jelas. Keduanya berjalan dan saling bergandengan bak dua saudara yang telah lama tidak bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. “Ibu Zumarnis juga mengantarkan Ibu Kinar ke dokter kandungan pilihannya. Dokter Ari Suseno menjadi pilihannya. Jika saya tidak salah ingat, dia salah satu teman kuliah Bapak semasa di kampus dulu.”Anan menggulir potret di mana Mama dan istrinya berjalan bersisian dan begitu akrab. Paper bag yang Kinar bawa dan sebagian berada di tangan Zumarnis menandakan jika keduanya baru saja shopping. Hasrat wanita jika sudah bersama tidak bisa ditangguhkan lagi. Mereka akan melakukan banyak hal yang menurutnya seru sampai kedua kakinya lelah melangkah.“Ah, dia.” Anan memandangi dengan saksama dokter kandungan yang Kinar dan Zumarnis kunjungi. “Saya kenal dia,” ucap Anan dengan senyum tipis yang Teguh angguki. “Kabarnya dia kabur dari ruma
Banyu Himawan semakin kehilangan kendali dalam dirinya. Ketika Zahra Amir tidak lagi peduli terhadapnya, maka yang Banyu lakukan adalah acuh. Banyu melampiaskan kebebasannya sepuas yang dirinya mau dan menjadikan ini sebagai kesempatan langka yang harus dirinya pergunakan. Pergi ke mana pun yang Banyu mau, bersama siapapun yang Banyu mau bahkan menginap di tempat Ivana sesuka hatinya tanpa peduli jika wanita berstatus janda itu mengomel sepanjang malam. Yang Banyu pikirkan hanyalah memuaskan rasa senangnya dan menikmati momen kebebasan ini.“Kamu punya rumah!” seru Ivana frustrasi saat Banyu mendatangi rumahnya dengan kondisi tubuh sempoyongan mabuk. Banyu hanya memberikan cengiran khasnya yang membuat Ivana kian kesal dan meluapkan amarahnya lewat omelan. “Setidaknya jika ingin mabuk, jangan mendatangi rumahku. Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau dan dengan siapapun. Kamu mengganggu ketenanganku, tahu!”Banyu menggelengkan kepalanya yang semakin membuat Ivana berkacak pinggang
“Pada akhirnya, setiap pasangan akan selalu punya cerita yang tidak disamakan dengan masa lalunya.” Anan memulai dengan tujuan membuka diri secara perlahan kepada Kinar. Agar istrinya itu tidak lagi menaruh salah paham walaupun tidak pernah seperti itu sejauh ini. “Aku senang karena kamu yang berada di sisiku. Satu hal yang ingin aku katakan bahwa kamu sungguh-sungguh baik kepadaku dan bersabar menerima kisah kelamku.”Kinar tersenyum tipis. Mengembuskan napasnya setelah menariknya dalam-dalam. Kinar tahu ke mana arah dan tujuan topik yang Anan angkat ini. Tidak jauh-jauh dari Ivana dan rumah tangganya yang telah terlewat tanpa sebuah kenangan. Pastinya ada kenangan meski tidak seindah bayangan yang Anan harapkan. Memangnya kita bisa memilih sebuah kehendak ketika menginginkan sesuatu? Takdir Tuhan yang Kinar tahu, datangnya selalu berbeda yang di dalamnya mempunyai arti serta tujuan yang berbeda.“Anggap saja pembelajaran.” Kinar menjawab setelah memakan camilan malamnya. Anan membel