Hari-hari terus berlalu. Yang kemarin menjadi pembicaraan serius antara Anan dan Kinar bak lenyap terbawa oleh angin. Fokus yang mereka kerjakan hanyalah yang ada di depan mata saat ini dan detik ini. Sisanya telah tertutup.Udara pagi hari di Bandung masih terbilang segar. Walau tidak semuanya seperti itu, namun tempat di mana Kinar tinggal saat ini, selain suasana yang sepi sunyi, polusi udara tidak membludak bak ibu kota. Kinar senang saat subuh-subuh terbangun lalu membuka jendela di mana ruang kerjanya berada. Anan menyiapkan satu ruangan untuknya bisa menjamah setiap imajinasi menjadi rangkaian kalimat.“Jadi pergi?” tanya Anan yang entah sejak kapan berdiri di belakang tubuhnya.Kinar menoleh setelah memasok udara ke dalam paru-parunya dan melempar senyum kepada Anan.“Jadi. Kenapa? Ada sesuatu yang kamu mau?” Kinar menawarkan jikalau Anan membutuhkan sesuatu.Anan menggeleng. “Hati-hati.” Satu usapan mampir ke kepala Kinar yang membuat di empunya terdiam cukup lama. “Kabari ka
Secara acak, Kinar ingin tahu kehidupan Anan Pradipta. Mulai dari mana asalnya dan bagaimana bisa berakhir di keluarga Pradipta yang kondang itu. Pengakuan ‘diadopsi’ seperti yang Anan katakan belum cukup membuat Kinar puas. Kinar masih ingin tahu lebih dan lagi pula, mereka menikah secara resmi, tidak ada perjanjian di dalamnya maupun apa pun itu namanya. Mereka pasangan suami istri dan Kinar rasa itu memang wajar dirinya ketahui. Tapi Kinar belum menemukan waktu yang tepat. Anan masih sibuk dan Kinar takut pertanyaan yang akan dirinya ajukan justru merusak mood sang suami.“Mikirin apa?” tanya Anan yang baru saja selesai mandi. Pria itu meletakkan handuk basahnya di tempatnya dan duduk di samping Kinar. “Mau makan sesuatu?”“Ck!” decak Kinar dengan memutar kedua matanya malas. Anan tertawa kecil. “Belum genap satu bulan aku menjadi istri kamu, lihat!” Kinar tunjukkan lengannya yang sedikit membesar dari sebelumnya. “Kamu terlalu getol menawariku makan!”“Kenapa jadi aku yang disalah
Kehidupan seseorang itu jalannya tidak bisa ditebak dan juga tidak bisa hanya dilihat dari luarannya saja. Ada yang terlihat bahagia, selalu tersenyum di muka umum, tahu-tahu bercerai. Ada yang doyan berdebat hingga mendapat tatapan risih dari orang sekitar, ternyata rumah tangganya adem ayem saja. Ada masalah yang menghampiri, begitupun dengan solusi.Suasana pagi hari di komplek perumahan di mana Anan dan Kinar tinggali cukup terbilang nyaman. Walau selalu riuh entah karena apa, beberapa minggu menempati rumah ini, Kinar bisa menyatakan ‘lumayan dan layak’. Meski tidak sepenuhnya enak, namanya juga warga baru, butuh adaptasi dan perkenalan secara perlahan terhadap orang sekitar.Agaknya berbeda dengan pagi kali ini. Kinar baru terlelap sekitar pukul tiga dini hari. Setelah semalaman mendengarkan cerita tentang Anan meski tidak secara menyeluruh dan mencurahkan segala keluh kesah yang ada. Tetangga samping rumah Kinar berulah lagi. Ini tidak seperti biasanya karena percekcokan yang p
Kinar itu pemarah. Begitu kiranya Anan Pradipta menyimpulkan karakter istrinya. Secara tidak gamblang karena Anan sadar harus menjaga nama baik Kinar. Walau bukan penulis kondang seperti penulis kebanyakan namun Kinar bisa dikatakan famous. Pengikutnya di media sosial sudah bisa dikategorikan membludak dan Anan harus mengacungi jempol untuk itu.“Kamu yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan kepada Reno? Bisa aku percaya ucapanmu itu!?” Kinar bertanya kepada Anan dengan sedikit hardikan. Mengintimidasi suaminya dan berharap akan membuat Anan sedikit terpengaruh. “Aku tidak bisa percaya secepat itu. Kamu selalu bertindak di luar nalar dan membuat aku terus was-was.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” tanya Anan. Wajahnya berekspresi bingung yang Kinar lihat justru tidak demikian. Anan seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa Kinar tebak. “Kamu terlalu mencurigaiku. Kamu tahu itu tidak akan berhasil pada kelanggengan hubungan kita. Kamu dan aku harus memeg
Ini adalah kedua kalinya Anan dan Kinar makan bersama dengan Zahra. Untuk selera, Anan menukikkan alis sebelah kanannya dan bergumam jika pilihan Zahra tidaklah buruk. Seakan-akan wanita itu tahu caranya menyenangkan tamu.“Karena kamu tamu agung makanya dia memilih tempat mahal yang privasinya betul-betul di jaga,” ucap Kinar.“Kata siapa?” Anan menggelengkan kepalanya seraya menggandeng tangan Kinar. “Aku lebih suka nasi padang, lamongan pinggir jalan atau bahkan angkringan yang harganya murah meriah. Makan di tempat mahal seperti ini terlalu membuang-buang uang. Aku jelas menyayangkan itu.”“Juga tidak mungkin di siang bolong seterik ini Zahra mengajakmu makan di pinggir jalan. Warung tenda itu selalu buka di sore hari hingga dini hari. Jangan konyol!” hardik Kinar.“Sayang, kenapa kamu selalu menghinaku?” Anan meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Kinar intens. “Aku tidak seroyal itu dan lagi pula kamu tahu dari mana aku berasal.”“Oh, jadi sekarang kamu mulai tidak
Sore hari saat mentari orange masih menyinari bumi pasundan dan Kinar menyesap kopi panasnya beserta kue nastar kesukaannya, Reno datang menghampirinya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya, Reno duduk di kursi kosong yang ada di samping Kinar.“Ada apa?” tanya Kinar. “Kelihatannya bahagia sekali.” Kinar hanya menebak karena merasa tidak biasa dengan senyuman yang Reno berikan.“Tante mau mengabulkan?” Reno memberikan ponselnya kepada Kinar. Dan sebuah foto sudah terpampang dengan jelas di galeri. “Aku mau kucing.”Kinar mengerutkan keningnya. Langsung paham ke mana arahnya tapi di antara semua hadiah yang sudah Anan dan Kinar tawarkan, kenapa kucing? Kinar hanya menghela napas dan tersenyum kecil. Lalu sekali lagi melihat hewan berbulu kesayangan sejuta umat manusia. Yang Reno tunjukkan kepada Kinar berwarna orange, yang menurut orang-orang adalah ras terkuat di bumi dengan kelakuan bar-barnya.“Kenapa kucing?” Kinar penasaran. “Anan menawarkan semua mainan mewah yang belum tentu dimiliki o
Ivana Wijaya tidak memiliki kesibukan yang berarti. Setelah bercerai dari Anan Pradipta dan menjadi seorang janda kaya raya, Ivana lebih sering menghabiskan waktunya di galeri seni miliknya. Sesekali melemaskan tangan kanannya untuk mengukir entah apa pun di atas kanvas. Awalnya Ivana hanya iseng guna mengisi waktu kosongnya. Namun secara perlahan dan pasti, bergulat dengan cat-cat berwarna itu membuat Ivana nyaman dan ingin terus melakukannya.Kali ini, di pagi hari yang mendung, Ivana coretkan gambar secara asal yang entah apa. Itu muncul secara tiba-tiba dari pikirannya dan Ivana menorehkannya begitu saja. Cat warna hitam lebih banyak menjadi dominan seolah-olah sedang Ivana sampaikan suasana hatinya saat ini.“Tentang apa itu?” tanya sebuah suara yang Ivana hentikan goresan tinta pada kanvasnya. “Tangan kamu mulai lemas, benar?”Ivana mendengkus. “Ngapain?” Ivana bertanya dengan ketus. Banyu Himawan datang dengan wajah semringah dan Ivana dalam kondisi hati yang tidak baik untuk m
Kinar sadar, jika sudah bersuami dan terlambat datang bulan artinya memang ada sesuatu yang lain yang terjadi. Antara siap dan tidak siap, ini sudah menjadi bagian dari keputusan yang Kinar ambil untuk menikah dengan Anan. Hendak menolak, rasanya juga tidak mungkin karena itu sudah terjadi. Ingin berlari, tapi ke mana? Anak ini kehadirannya sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Anan. Meski bukan dari rahim wanita yang diinginkan oleh Anan sejak dulu, tapi Kinar adalah istri sahnya yang sejak awal dinikahi untuk memberikan pria konglomerat itu seorang keturunan.“Kenapa?” tanya Anan yang datang tanpa bersuara. Dari arah belakang tubuh Kinar, Anan melemparkan senyumnya yang terpantul oleh cermin di kamar mandi. “Ada yang kamu pikirkan?”Kinar tidak menutupi perihal kegundahan hatinya dan mengangguk dengan perlahan. “Kalau hamil bagaimana?”Pertanyaan yang seharusnya tidak Kinar ajukan malah mengundang tawa dari mulut Anan. Dan seolah tidak memusingkan hal tersebut, pria itupun tertawa denga