Silvi sudah keluar dari kamar mandi melihat suaminya menatapnya begitu tajam, "Ada apa?" tanyanya mendekati Wiliam. "Tolong kamu ambilkan ponselku dan hubungi seseorang yang tulisannya X dan dekatkan ke telinga aku." "Baiklah." Silvi tidak banyak bertanya, tangannya segera mengambil ponsel suaminya yang mengira Wiliam mau menghubungi rekan kerja karena sudah beberapa hari juga Wiliam tidak masuk kerja. Dihubungi nama bertuliskan X dan didekatkan ke telinga suaminya saat X itu sudah mengangkat teleponnya. ["Ada apa Bos Wiliam?"] ["Aku mau kamu menakut-nakuti seseorang yang bernama Helena, atau kamu culik dia dan ancam dia sampai dia tidak bisa ke rumahku."] ["Semua itu bisa diatur Bos, tinggal kirim foto dan alamat orangnya dan transferan jangan lupa."] ["Baiklah, aku akan segera transfer uang padamu. Lakukan tugas dengan sebaik mungkin, aku tidak mau mendengar kata gagal."] ["Mengerti Bos, laksanakan."] Wiliam melihat ke arah Silvi yang mendengar tadi, "Sudah, aku minta tol
"Silvi, ada pergerakan dari tangan Cici, segera panggil dokter untuk datang ke sini." Wiliam melihat tangan Cici bergerak-gerak beberapa kali, dan Silvi juga melihat sendiri apa yang dikatakan suaminya memang benar. "Iya, Mas. Kamu tunggu di sini dulu." Silvi berlarian mencari dokter yang ada di sana, tetapi belum ada dokter sampai Silvi masuk ke dalam ruangan dokter dan tiba-tiba terkunci di dalam sana sendirian. "Heyyy! Buka pintunya!" Di saat Silvi tengah sibuk mencari jalan keluar dari ruangan dokter yang dikunci, ternyata ada seseorang yang menyamar menjadi dokter, seorang perempuan yang sekarang menggunakan masker berwarna hijau dan penutup kepala. "Silakan Bapak dimohon keluar dulu." "Baik, Dok.* Wiliam tidak mencurigai orang yang datang dengan menggunakan seragam dokter itu. Dia keluar dan berharap kalau Cici akan segera sadarkan diri. "Selamat tinggal istri ketiga Wiliam!" Di bukanya masker hijau yang dikenakannya, dan dia membawa suntikan beracun yang akan memb
Di dalam rumah Wiliam hanya ada Ria yang belum juga memejamkan matanya ketika malam hari, dia menunggu kabar dari Silvi yang belum mau membalas pesannya mengenai kondisi Cici terbaru. "Kita sudah sampai," ucap Cici yang masuk lebih dulu daripada Silvi dan suaminya. Ria melihat dan mendengar jelas kalau yang di depannya adalah Cici yang suka sekali membuat kehebohan di rumah itu bersamanya ketika malam hari di lantai dua. "Cici, apa benar ini kamu?" "Kak Ria, apa kabar? Benar ini aku Kak, sekarang aku sudah boleh pulang." Cici berhadapan dengan Ria yang dulunya super jutek kepadanya, sekarang bisa sangat peduli dan sayang menganggap dirinya saudara kandung. "Aku tidak salah lihat kan?" "Tidak Kak Ria. Kamu melihat aku di hadapan kamu, memang aku seperti hantu?" "Bukan begitu Cici, aku hanya takut kehilangan kamu saat masih di rumah sakit, kamu tidak ada pergerakan sama sekali." Diraihnya lengan Cici dan dipeluk sampai Ria meneteskan air mata kebahagiaan. Sedangkan Wiliam d
Wiliam membuka matanya setelah mendengar ada seseorang yang membuka pintu rumah. "Vea!" Pria itu ingin sekali melihat Vea yang baru pulang bekerja, tetapi dia masih belum bisa menggerakkan kakinya secara normal. "Sial! Aku harus sabar sampai Vea sendiri yang datang." Vea yang masuk tanpa bicara melihat lampu atas menyala dan kamar Cici juga menyala langsung naik ke atas penasaran siapa yang ada di sana karena setelah kecelakaan itu lampu atas dimatikan. "Siapa di dalam?" Saat Vea membuka pintu. Ternyata ada Ria dan Cici yang tertidur di lantai dengan gaya yang berantakan, belum lagi banyak kacang-kacang di sekeliling lantai, dan makanan ringan yang hampir habis. "Astaga! Siapa yang memakan ini semua? Apa Ria dan Cici? Loh, Cici sudah pulang, bukannya dia masih kritis di rumah sakit, tapi masa gaya tidurnya seperti orang normal?" Vea penasaran dengan apa yang dilihatnya, sekilas mata Cici terbuka perlahan melihat ada seseorang yang berbicara sangat dekat dengannya. "Vea,
Pagi hari ketika semuanya sudah bangun dan Vea terlihat mengambil beberapa makanan yang sudah disediakan oleh Ria di meja makan. "Selamat pagi. Kalian sudah pada makan?" Wiliam datang bersama Silvi yang baru saja selesai mandi dan terlihat ada Vea yang membawa makanan di tangannya. "Ini sedang makan Wiliam, segera kamu sama Silvi makan, menyesal kalau tidak makan masakan Ria." Vea duduk dengan tangannya yang tidak melepaskan makanannya. Dan Ria masih sibuk di dapur untuk memasak menu penutup untuk semua orang di sana, sedangkan Cici tengah makan tanpa mempedulikan siapapun yang terpenting dia makan yang banyak. "Kalau begitu kamu mau aku ambilkan, Mas?" Silvi sudah duduk di kursinya, tetapi dia tetap mau melayani suaminya dulu sebelum dirinya makan. "Biarkan Vea yang menyiapkan makanan untuk aku," ucap Wiliam membuat semua orang yang ada di sana melirik ke arah Vea yang masih sibuk makan. "Biarkan Silvi saja Wiliam, aku sedang sibuk makan, dia tau selera kamu seperti apa,
"Di mana Ria dan Cici?" Wiliam belum melihatnya sampai menunggu lama di dalam mobil bersama Silvi dan Vea yang sudah ada bersamanya dari tadi. "Mereka heboh Mas, biarkan mereka melakukannya Mas, lagipula mereka tidak sama seperti aku dan Vea yang berpenampilan seadanya." Silvi tahu kalau penampilan adalah segalanya untuk seorang model seperti Cici dan Ria yang mengikuti jejak Cici tidak mau kalah, sedangkan Vea hanya menggunakan polesan make-up yang tipis saja bersamanya ketika di kamar, itupun sudah lebih dari cukup. "Acaranya sampai jam berapa Wiliam?" "Jam dia bekas malam, tapi kalian bisa pulang kapanpun kalau tidak betah berasa di sana." "Iya, aku juga tidak terlalu betah kalau berlama-lama di dalam pesta, karena banyak orang." Vea mengatakan sejujurnya kalau dia kurang menyukai pesta dan hanya pergi ketika ada orang hajatan pernikahan, itupun dia tidak begitu memikirkannya, kalau mau datang kalau tidak menitipkannya pada temannya yang mau datang. "Sabar Vea, Mas Wilia
"Dari mana kamu bisa bermain piano sebagus itu, Vea?" tanya Wiliam yang duduk di sebelah Vea. Vea masih memasang wajah polosnya karena cara bermain pianonya yang sama seperti ibu panti dulu membuatnya merindukan suasana itu. "Dulu aku tinggal di panti asuhan, di sanalah aku belajar bermain piano sejak kecil, mungkin kalau kata kamu bagus, kata kami biasa saja, kami hanya bermain untuk menghibur dikala rasa kesepian melanda karena rasa kesepian tanpa orang tua." Wiliam, Silvi, Ria dan Cici mendengarkan Vea bercerita tentang masa lalunya yang begitu menyedihkan di panti asuhan. "Kamu sudah punya kami Vea, kamu tidak akan kesepian lagi, bermain piano dengan lagi yang ceria, kamu pasti bisa." Silvi menguatkan madunya untuk tetap semangat menjalani kehidupan ini karena masih banyak rintangan kedepannya. "Iya, Silvi." Mereka melupakan kalau Wiliam sudah bisa berjalan lagi karena terharu dengan cara main Vea, begitu juga para tamu yang datang menghampiri Wiliam dan Vea memu
"Tidak Wiliam!" Vea menolak dan berjalan ke arah kamarnya sendirian tanpa memperdulikan suaminya yang mematung masih di depan pintu rumah. "Kenapa Vea?" Wiliam ingin mendengar jawaban dari istrinya yang menolak untuk satu malam bersamanya, tanpa Wiliam memikirkan sesuatu yang sudah dibuatnya sendiri. "Hari ini waktunya kamu sama Cici, jangan ada yang berubah dari jadwal para istri-istrimu, Wiliam. Kita akan tidur bersama besok malam." Vea menutup pintu dengan tersenyum melihat suaminya yang mulai mengerti sekarang. "Begitu ya, kamu benar aku malam ini bersama Cici, tapi aku tidak sabar bermalam denganmu istri mudaku." Wiliam segera naik ke lantai dua untuk masuk ke dalam kamar Cici yang sekarang tidak dikunci karena Cici tahu kalau Wiliam akan masuk malam ini. "Mas, kamu sudah selesai di bawah sama Vea dan Ayahnya?" Cici belum juga tidur di kamarnya menunggu suami masuk dan ingin mempertanyakan soal ayahnya Vea yang datang secara mendadak. "Sudah, kamu juga kenapa belum