"Dari mana kamu bisa bermain piano sebagus itu, Vea?" tanya Wiliam yang duduk di sebelah Vea. Vea masih memasang wajah polosnya karena cara bermain pianonya yang sama seperti ibu panti dulu membuatnya merindukan suasana itu. "Dulu aku tinggal di panti asuhan, di sanalah aku belajar bermain piano sejak kecil, mungkin kalau kata kamu bagus, kata kami biasa saja, kami hanya bermain untuk menghibur dikala rasa kesepian melanda karena rasa kesepian tanpa orang tua." Wiliam, Silvi, Ria dan Cici mendengarkan Vea bercerita tentang masa lalunya yang begitu menyedihkan di panti asuhan. "Kamu sudah punya kami Vea, kamu tidak akan kesepian lagi, bermain piano dengan lagi yang ceria, kamu pasti bisa." Silvi menguatkan madunya untuk tetap semangat menjalani kehidupan ini karena masih banyak rintangan kedepannya. "Iya, Silvi." Mereka melupakan kalau Wiliam sudah bisa berjalan lagi karena terharu dengan cara main Vea, begitu juga para tamu yang datang menghampiri Wiliam dan Vea memu
"Tidak Wiliam!" Vea menolak dan berjalan ke arah kamarnya sendirian tanpa memperdulikan suaminya yang mematung masih di depan pintu rumah. "Kenapa Vea?" Wiliam ingin mendengar jawaban dari istrinya yang menolak untuk satu malam bersamanya, tanpa Wiliam memikirkan sesuatu yang sudah dibuatnya sendiri. "Hari ini waktunya kamu sama Cici, jangan ada yang berubah dari jadwal para istri-istrimu, Wiliam. Kita akan tidur bersama besok malam." Vea menutup pintu dengan tersenyum melihat suaminya yang mulai mengerti sekarang. "Begitu ya, kamu benar aku malam ini bersama Cici, tapi aku tidak sabar bermalam denganmu istri mudaku." Wiliam segera naik ke lantai dua untuk masuk ke dalam kamar Cici yang sekarang tidak dikunci karena Cici tahu kalau Wiliam akan masuk malam ini. "Mas, kamu sudah selesai di bawah sama Vea dan Ayahnya?" Cici belum juga tidur di kamarnya menunggu suami masuk dan ingin mempertanyakan soal ayahnya Vea yang datang secara mendadak. "Sudah, kamu juga kenapa belum
"Kamu tau dia kurang ajar?" Wiliam bertanya pada istrinya yang sekarang menangis di dalam mobil karena mau dilecehkan asisten fotografer tadi. "Tau Mas. Dia selama ini selalu menggoda aku setiap sepi, tapi aku tidak pernah menanggapinya, cuma tadi aku tidak bisa memaafkannya lagi." "Kalau begitu aku minta kamu berhenti bekerja!" "Jangan egois Mas! Itu karir aku!" Cici menolak untuk berhenti bekerja karena itu adalah impiannya sejak dulu dan tidak ada yang boleh merusaknya. "Cukup Cici! Kamu tidak akan mengerti pria itu akan berbuat nekad sama kamu nantinya, kamu harus berhenti dulu sampai ada pekerjaan lain." "Aku tidak mau berhenti Mas! Aku tetap mau bekerja sesuai yang aku mau, jangan cuma karena Mas menolong aku tadi jadi bisa mengatur masa depanku." Cici marah pada Wiliam yang tidak memikirkan dirinya sudah berkorban menjadi istri ketiga demi cita-citanya ini tetapi sekarang harus berhenti bekerja. "Kita bicara di rumah, kamu akan bicara sama Silvi agar mengerti apa ya
"Masuklah," kata Wiliam yang sudah masuk lebih dulu ke ruang kerjanya. Vea terlihat mencemaskan niat Wiliam yang ingin bicara berdua di dalam ruangan tersebut. "Untuk apa kamu membawa aku ke ruangan ini? Jangan bilang kamu mau berbuat sesuatu!" "Tidak pernah terbesit olehku ingin melakukan sesuatu sama kamu, kita perlu bicara soal Cici, aku mendengar semua percakapan kamu sama Cici di kamar." "Astaga, kamu mendengarkan dari luar?" "Benar." Wiliam mengakuinya tidak mau menutupi kalau dirinya mendengar semua yang Vea bicarakan sama Cici termasuk mau merayunya untuk bisa setuju Cici bekerja kembali. "Jangan mencoba merayu aku soal pekerjaan Cici. Aku akan mencari tempat yang lain walaupun pekerjaan itu sama, jadi Cici tidak berhenti dari pekerjaannya. Dia tetap bisa bekerja sebagai model." "Benarkah?" Vea senang mendengar solusi yang diberikan Wiliam untuk Cici. Tetapi Vea masih belum percaya suaminya akan melakukan itu. "Benar, Vea. Kamu tidak perlu mencemaskan apa yang ad
Hari di mana keinginan Silvi memiliki seorang anak telah tiba bersama anak angkatnya yang sekarang loncat-loncat di atas tempat tidurnya. "Dia begitu ceria di sini, aku harus mempertahankan dia sama Mas Wiliam. Dengan begitu dia akan tetap jadi anakku." Silvi keluar dari kamarnya meninggalkan anaknya di dalam kamar untuk mengambil susu yang ada di lemari es. "Buatkan susu untuk anakku dulu, tapi tidak ada orang di dapur, yang lain pada kemana?" Silvi melihat Ria keluar juga dari kamarnya setelah mandi, dan menghampiri dirinya tanpa bertanya tentang anaknya. "Kak Silvi, sudah pulang ya?" "Iya, Ria. Kamu sendiri sejak kapan pulang?" "Sudah beberapa menit yang lalu, tapi aku lihat rumah sepi hanya ada asisten rumah tangga yang keluar dari rumah." Silvi mengambil susu yang ada di lemari es dan mengeluarkan bungkusnya yang baru saja dia beli itu. "Untuk siapa susu anak itu?" Ria berpura-pura belum tahu apa yang dilakukan Silvi. Dan sekarang Silvi mulai membicarakan ini sama R
"Aku tidak setuju kalau dia mengadopsi seorang anak sembarangan karena anak itu akan menjadi pewaris dari kekayaan aku." Wiliam masih mempertimbangkan walaupun dirinya sudah mengatakan pada Vea kalau dirinya akan setuju agar Silvi mengadopsi anak. "Aku mengerti Mas. Aku juga takut kalau anak adopsi itu akan menjadi bumerang untuk kita semua, tapi kita tidak bisa berpikir buruk dulu, lagipula anak itu masih kecil, pola asuh Kak Silvi dan kita semua termasuk Mas akan membawanya sama seperti kita, jadi aku rasa tidak mungkin anak itu berbahaya." Ria tetap setuju pada Silvi yang mau mengadopsi anak kecil yang tidak memiliki orang tua itu. "Baiklah, aku akan bicara juga sama Silvi maksud dan tujuannya mengadopsi seorang anak dan membawanya ke rumah ini, untuk apa dulu?" "Lakukan saja Mas. Aku sudah selesai makan, aku pamit mau ke kamar duluan." "Iya, boleh." Wiliam ditinggal sendiri di sana masih berhadapan dengan makanan yang dibuat oleh Ria dan pikirannya masih tertuju pada Silv
"Aku tidak mau!" Vea menolak untuk memberikan uang yang ada di dalam tempat kasir, dia tetap mau mempertahankan uang tersebut karena dia bisa bayar denda kalau uangnya di ambil penjahat itu. "Serahkan atau pisau tajam ini akan mengenai wajah mulus kamu!" "Silakan saja kalau kalian bisa melakukannya!" Vea keluar dari tempat kasir dengan melompatinya sangat tinggi sehingga mengenai kepala penjahat itu sampai terjatuh di lantai. "Kurang ajar!" Penjaga itu semakin murka pada Vea yang masih mencoba melawannya. Dan terlihat jika Vea sekarang mau melawan dengan tangan kosong. "Kamu yang kurang ajar! Masa uang orang mau diambil! Pergi kalian! Aku tidak takut sama kalian semua!" Saat Vea mencoba melawan dua orang penjahat yang ada di depannya, orang-orang yang ada di dalam gudang tidak mau membantu Vea karena takut nyawa mereka melayang. Dan akhirnya salah satu dari mereka mengunci gudang demi keselamatan orang-orang dan barang-barang yang ada di dalam bahkan salah satu kasir yang b
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki