“Mon, tolong suruh Cha buatin madu lemon di dapur ya, Nina lagi sakit jadi dia gak bisa bantu hari ini,” ucap Mayang pada menantunya yang tengah berjalan menuju ke area ruang tamu tempat Abimanyu tengah menerima tamu penting yang akan berinvestasi di perusahaan mereka.Monika langsung mengangguk saat Mayang mengatakannya karena sejujurnya Monika sudah lama tidak melihat di anak angkat kesayangan itu, hidupnya sangat tenanh di rumah ini semenjak Chalista pindah dari sini, tapi hanya satu yang membuatnya merasa aneh yaitu Rafael.Malah semenjak Chalista pindah dia jadi lebih sering lembur di kantor, apa mungkin hanya perasaannya atau tidak tapi Monika sangat frustasi memikirkan takut perutnya semakin membesar dan rencana yang telah dia rancang menjadi gagal.Monika menemukan adik iparnya di dapur tengah berkutat dengan gelas untuk the yang akan dia buat, dia memperhatikan lekuk tubuh gadis itu dan mengernyit. “Kamu gendutan, ya, Cha?” celutuk Monika tiba-tiba membuat Chalista menjadi ge
“Cha, perasaan kamu kok gendutan ya setelah pindah ke apartement baru,” celetuk Mayang saat dia sedang ada di bandara untuk liburan keluarga ke Bali.Chalista yang merasa sangat tegang karena tiba-tiba mamanya membahas itu hanya tersenyum palsu sebisa mungkin dia menyembunyikan kegelisahannya karena perutnya semakin membesar. Chalista langsung melihat ke arah Monika yang juga menatapnya dengan tatapan aneh. Anehnya perut Monika tak sebesar Chalista walaupun dia tau Monika juga sedang hamil, apa mungkin karena usia kandungan Chalista lebih besar daripada Monika?Kenapa Mayang hanya memperhatikan perubahan tubuh Chalista dibanding menantunya, Monika?“Ehm, iya Ma soalnya aku sekarang sering lembur jadinya pas subuh makan lagi deh, kayaknya aku bakal gendutan tapi gak papa yang penting aku gak setres Ma,” jawab Chalista sambil terawa cengengesan, dia sengaja mengatakan kalau dia akan menjadi gendut kedepannya agar Mayang bisa mempersiapkan diri jika melihat dia berubah nanti.“Tapi kok k
Saat ini Chalista sedang ada di dalam pesawat kelas utama karena memang keluarganya memerlukan privasi mengingat putra mereka sangat terkenal ditambah juga menantunya yang juga merupakan model ternama di tanah air.Chalista sejak tadi berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya tapi rasanya perutnya sangat tidak nyaman dan Chalista mulai merasa mual.Dengan cepat gadis itu berlari ke arah toilet pesawat dan memuntahkan seluruh isi perutnya, dia merasa sangat tidak nyaman.“Huek…..huek…” Chalista benar-benar muntah dan langsung membasuh wajahnya. Namun, tepat sebelum dia ingin muntah kembali sebuah tangan memegangi rambutnya agar rambutnya tidak ikut kotor dan basah.Chalista hanya tersenyum saat mengira yang memegangi rambutnya adalah Rafael karena tadi saat dia berjalan keluar dia tak sengaja melihat Rafael dari dalam kursinya sedang bekerja jadi pasti Rafael yang sedang membantunya.Chalista tak memiliki niatan untuk menoleh karena dia masih menyelesaikan kegaitan mualnya yang tak beru
Rafael berhenti di depan pintu toilet pesawat itu saat dia mendengar dengan sangat jelas suara Chalista di dalam sana dengan seorang pria. Rafael meremas tisu yang dia bawa karena emosi yang dia rasakan.Rahangnya langsung mengeras saat tau Chalista bertemu pria lain di pesawat ini. Rafael tau dia tak punya hak untuk marah tapi kenapa rasanya dia sangat marah hingga ingin menghancurkan semua hal yang dia lihat detik ini juga.Rafael tak langsung masuk saat dia mendengar itu tapi dia menunggu agar bisa mendengar semua pembicaraan Chalista.“Siapa pria yang diajak berbicara? Apa itu pacar yang dia katakan waktu itu?” tanya Rafael pada dirinya sendiri karena dia sangat ingat saat Rafael ingin mengajak Chalista menikah dia langsung menolak dan mengatakan dia sudah punya pacar.“Apa ini pacarnya? Tapi kenapa bisa pacarnya ada di pesawat ini juga?” Rafael tanpa sadar mengernyitkat alisnya.Sementara itu Chalista yang kini menatap mata Abian yang masih menatapnya dengan penuh cinta membuatny
“Awh! Raf…sakit!” lirih Chalista saat Rafael menarik tangannya dengan begitu keras melewati kabin pesawat menuju ke kabin kelas utama tempat Chalista tadi berada. Rafael langsung menutup pintunya dan ikut masuk di sana di ruangan yang sangat sempit itu dengan rahang yang mengeras.“Siapa pria itu?” tanya Rafael langsung tanpa basa basi, tatapannya terlihat menggelap membuat Chalista sangat takut. Sejak awal sebenarnya Chalista memang sangat terintimidasi dengan aura dingin yang dipancarkan pria ini saat awal dia diadopsi seakan-akan tatapan Rafael bisa menembus tubuhnya saking tajamnya sehingga Chalista tak pernah berusaha mendekatii pria ini karena memang Rafael terlihat sangat menakutkan.Sampai kejadian tragis malam itu, saat Rafael tanpa sengaja merenggut keperawanannya dan sekarang Chalista berakhir mengandung anak pertama pria dingin ini.“Dia pilot pesawat ini seperti yang bisa kau lihat tadi,” ucap Chalista berusaha meluruskan keadaan karena memang benar Abian adalah seorang
“A-pa yang kau katakan?” cicit Chalista dengan suara pelannya. Chalista yakin dia salah dengar. Tidak mungkin seorang Rafael Nathan Adijaya yang paling dingin ini mengatakan Chalista cantik bukan?Oh, dalan mimpipun Chalista tak pernah memikirkannya.Tapi apa barusan yang dia dengar?Saat menyadari tatapannya hanyut menatap Chalista, Rafael langsung mendorong pelan gadis itu agar menjauh darinya sambil membuang wajahnya. Rafael benar-benar terlihat seperti orang yang tengah kelepasan.“Bukan apa-apa aku hanya mengatakan ternyata semua wanita terlihat cantik,” dusta Rafael sambil membuang wajahnya membuat Chalista tersenyum jahil.“Oh, ya? Rasanya aku tidak mungkin salah dengar ada yang memujiku dan mengatakan aku cantik. Bukankah hanya ada aku di sini? Wanita mana yang kau maksud, Rafael?” tanya Chalista kini beralih mengerjai Rafael dengan menggunakan nada yang sama seperti yang digunakan pria itu.Rafael yang merasa Chalista tengah menjahilinya langsung menatapnya dengan tatapan int
Chalista dan Rafael baru bisa bernapas lega saat pramugari yang lewat membawa makanan itu kini sudah pergi, Rafael mengusap rambut Chalista yang berjongkok di bawah dengan pelan.“Hey, sudah aman sekarang,” bisik Rafael membuat Chalista langsung berdiri cepat.“Ekmm.” Chalista berdehem pelan untuk menyembunyikan kegugupannya karena posisi berbahaya mereka tadi, wajahnya pasti sudah memerah karena malu sekarang.Rafael terkekeh pelan membuat Chalista langsung menatap horror ke arah pria itu. Sungguh, melihat Rafael dari jarak sedekat ini sangat jauh berbeda dengan Rafael mode CEO di kantornya yang sangat dingin dan penuh perintah.Chalista heran kenapa bisa Rafael berubah secepat itu, apalagi sekarang melihat pria tampan ini terkekeh pelan membuat bulu kuduknya naik karena membayangkan Pak Rafael yang terkekeh seperti itu, bukan Rafael mode bertanggung jawab karena sudah mengamili seorang gadis seperti sekarang.Chalista tersenyum pelan. “Apa yang lucu?” tanyanya penasaran.“Aku menyur
“Ahh…..apa itu tadi…aku dan Rafael benar-benar melakukannya,” lirih Chalista sambil bersandar di kursi pesawatnya yang cukup luas itu karena memang Chalista ada di tipe kelas utama.Rafael sudah pergi beberapa menit yang lalu meninggalkan bekas percintaan mereka di sini bahkan Chalista masih bisa mencium aroma tubuh pria itu. Semburat merah langsung muncul di wajah gadis itu tatkala dia mengingat bagaimana nakalnya dia tadi menggoda Rafael.“Arghhhh aku pasti sudah gila!” Chalista menepuk wajahnya sambil merem melek karena pikirannya tak bisa beralih dari Rafael. Ah, Chalista benar-benar sudah jatuh kedalam pesona pria itu.Namun, Chalista langsung terdiam ketika dia mengingat Rafael memanggilnya dengan kata ‘sayang’ saat mereka bercinta. Terhitung sudah dua kali Chalista mendengarnya pertama kali saat insiden yang mengejutkan itu dan yang kedua tadi. “Apa mungkin Rafael membayangkan berhubungan dengan gadis pujaan hatinya itu?” Chalista bermonolog sendiri.Mendadak suasana hatinya be
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak