Menulis kata hantu pada malam hari memang ada sensasi tersendiri, ya. T_T Ketika menulis naskahnya, aku terjaga sendiri karena keluarga sudah tidur. Seram. Aku ikut merasakan yang Fayola ceritakan. Mana malam sudah sunyi dan beberapa lampu di rumah dipadamkan untuk menghemat listrik. Pantulan sinar laptop di bingkai kacamata saja aku pikir ada roh halus. Wakakaka .... XD Selamat pagi, teman-teman. Semoga hari ini menyenangkan, ya. ♡ Salam sayang, Meina H.
Sebentar saja, aku kembali ke apartemen. Fay sudah selesai makan dan siap untuk berangkat. Dia sudah memasukkan sarapan bagianku ke sebuah kotak makanan. Aku tersenyum menerimanya. Setelah mengantarnya ke tempat kerja dan menciumnya, aku pun ke kantor. Aku menyelesaikan pekerjaan sebaik dan secepat mungkin sebelum konsentrasiku buyar. Ketika tidak ada hal yang bisa aku lakukan, aku membuka peramban dan memilih salah satu lomba yang baru saja diumumkan dan memperhatikan setiap syaratnya sebelum memutuskan untuk ikut serta. Kegiatanku itu cukup untuk membuat aku melupakan apa yang aku lihat pada rekaman CCTV di ruang keamanan pagi tadi. Merasakan perutku berulah, aku menuju toilet dan menyegarkan diri. Aku terpaksa singgah ke apotek untuk membantu mengurangi rasa mualku. “Apa yang terjadi?” tanyaku kepada Fay. Dia menunggu aku di halte, tidak seperti kebiasaannya. Namun melihat keadaan pekarangan kantornya, aku mengerti. “Mereka protes dengan dipilihnya Trici sebagai manajer,” jawabn
~Fayola~Gila. Aku sampai tertidur dalam keadaan duduk. Yang paling parah, aku terlambat bangun! Aku tidak mau mendapat masalah di tempat kerja dengan manajer baru itu. Jadi, aku bergegas mandi dan meringis melihat kondisi bahu kiriku.Tidak punya waktu untuk mengurusnya, aku segera mandi, berpakaian, dan menuju ruang makan. Galang terlihat santai dan segar, apa hanya aku yang ketakutan semalaman? Aku melihat ke sekitar kami. Keadaan apartemen normal saja seperti biasanya. Lalu apa yang terjadi pada malam hari?Aku tidak bisa menahan diri lagi ketika dia menekan bagian tubuhku yang sakit itu. Benar saja. Dia bersikap berlebihan dengan memeriksa keadaan pundakku yang memar. Tidak cukup sampai di situ, dia mengolesinya dengan gel yang terasa sejuk di kulitku.“Kita benar-benar akan terlambat, Lang,” kataku, mencoba mengalihkan rasa tidak nyaman akibat tiupan napasnya pada kulitku. Jaraknya dekat sekali dengan dada kiriku. Bagaimana kalau dia sampai mendengar detak jantungku?“Kalau kamu
“Pasti hantunya sudah pergi dari rumah, makanya wajah kamu kembali sesegar biasanya.” Nidya merangkul lenganku saat kami memasuki lobi bersama.“Bukan hantu. Tangan Galang terluka pagi ini. Sepertinya ada penjahat yang masuk ke apartemen, lalu dia memukulnya dengan tinjunya.” Mati aku. Mengapa aku keceplosan memberi tahu Nidya tentang masalah kami?“Oh, ya? Itu berbahaya sekali! Apa tidak ada sekuriti di gedung itu? Mengapa mereka tidak bekerja dengan baik mengawasi setiap apartemen pada waktu penghuninya tidur?” tanyanya khawatir.Benar juga. Sudah berhari-hari ada masalah di apartemen kami. Jika benar ada orang yang masuk tanpa izin, mengapa para petugas yang mengawasi CCTV tidak melakukan tindakan apa pun? Galang sampai harus menangani masalah itu sendiri.“Galang pasti sudah bicara dengan mereka. Yang penting, keadaan sudah damai lagi.” Aku sengaja menutup pembicaraan agar tidak semakin keceplosan.“Bagus. Jangan lupa, besok anakku ultah. Tante kesayangannya harus memberikan kado
Setelah berbincang dengan serius mengenai perusahaan, mereka kembali kepada suami mereka. Para pria itu membutuhkan bantuan, karena anak-anak mereka meminta sesuatu yang tidak bisa mereka berikan. Aku tersenyum melihatnya.Aku duduk di sisi Galang. Dia memberikan sebotol minuman kepadaku. Percakapan tadi mampu mengalihkan pikiranku dari banyaknya anak-anak di tempat ini. Tidak seperti saat di Bali, di mana aku tidak bisa mengendalikan emosiku lagi.“Tante!” sapa Ezio. “Mama memanggil. Ayo!” Dia menarik tanganku, maka aku mengikutinya. Aku menoleh ke Galang. Dia mengangguk pelan.Nidya meminta aku untuk membawakan baki berisi pisau dan beberapa piring kecil, sedangkan dia mendorong troli berisi kue ulang tahun yang sangat besar bergambar tokoh kartun kesukaan Ezio. Semua orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun.Dia meniup lilin dan memotong kue dengan bantuan mamanya. Orang pertama yang mendapatkan potongannya adalah sahabatku itu, lalu papanya. Dia memberikan kue ketika kepada adi
Aku menggeleng pelan melihat Mama begitu antusias menyambut tamu undangannya. Padahal itu adalah bel dari lobi. Butuh izin penghuni untuk menerima tamu dari luar. Galang sengaja membuat peraturan sekalipun keluarga kami yang datang, sekuriti harus meminta izinnya. Siapa tahu ada yang berpura-pura menjadi keluarga kami.Mama mendekati konter dan menyiapkan teh dalam teko. Dia membawanya pada baki ke meja depan sofa. Kemudian dia kembali dan mengambil keranjang berisi beberapa bungkus roti. Siapa tamu yang dia undang untuk datang ke sini?Ketika Galang kembali bersama dua orang yang dinanti itu, aku tertawa kecil. Apalagi Mama segera menarik tangan Bunda ke balkon, membawa cangkir dan roti masing-masing, lalu menutup pintunya kembali. Kami tidak akan bisa mendengar apa pun yang mereka bicarakan di sana.“Sikap Mama sangat aneh.” Galang duduk di sisiku. Dia tidak melepaskan pandangannya dari kedua ibu kami. “Sejak pagi tadi, senyum itu tidak hilang dari wajahnya.”“Kalau dari percakapan
Galang menjemput aku sedikit lebih lama, tetapi aku tidak mengeluhkannya. Mungkin dia mendadak punya pekerjaan dan tidak sempat mengirim pesan kepadaku. Dia sudah sampai dengan selamat itu sudah cukup. Aku menerima helm darinya, memakainya, lalu duduk di jok belakang. Hari ini benar-benar hari yang panjang dan aneh bagiku. Tidak biasanya ada begitu banyak drama dan masalah di tempat kerja dalam satu hari. Semuanya terjadi sejak manajer baru itu diangkat. Aku jadi rindu dengan manajer lama kami yang baik hati. “Fay, pegangan yang erat!” seru Galang membuyarkan lamunanku. “Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Jangan banyak tanya! Pegangan!” Aku segera menurutinya dan dia menancap gas sehingga sepeda motornya melaju dengan kencang. “Galang! Apa yang kamu lakukan!?” teriakku panik. Peganganku pada tubuhnya semakin kencang. “Tutup matamu! Kita akan segera sampai!” katanya. Tanpa menunggu dia mengatakan itu, aku sudah menutup mataku. Kecepatan kendaraan itu tidak lagi membuat aku takut. D
~Galang~ Dibandingkan dengan anak-anak Mala, Fay memang lebih akrab dengan kedua anak Nidya. Mungkin karena dia dekat dengan ibu mereka, jadi Ezio dan Athena juga suka berada di sisinya. Bahkan kue yang secara simbolis diberikan kepada keluarga terlebih dahulu, diberikan untuk istriku. Sebelum kami menikah, aku sering menemani dia datang ke acara di rumah Nidya. Mulai dari acara ulang tahun, syukuran, atau kunjungan duka karena ada yang sakit atau meninggal. Namun kedua anak itu tetap lebih suka bersama Fay daripada aku. “Om adalah suami Tante Yola, ya?” tanya Athena yang berdiri di dekatku. Dia mengamati tubuhku baik-baik. “Apa Om baik kepada Tante Yola?” “Tante Yola mau menikah dengan Om, tentu saja karena Om baik,” jawabku. Dia mengangguk pelan. “Benar juga. Kalau Om baik, aku juga mau berteman dengan Om.” Dia pun mengulurkan tangan kecilnya kepadaku. Aku menerimanya. “Kita teman.” “Memangnya kamu masih ingat nama Om?” tanyaku, menguji memorinya. “Ingat, dong. Om Galang. Yang
Aku tidak siap dengan benturan itu sehingga terpukul mundur, tersandung kakiku sendiri, dan terduduk di lantai. Bokongku jatuh pada posisi yang salah sehingga terasa sakit. Aku sengaja tidak menggunakan tangan untuk menahan tubuhku agar tidak patah. Sial. Kalau aku tidak terkejut, aku akan jatuh tanpa melukai diri sendiri. Seseorang memekik melihat darah, barulah aku merasakannya. Cairan merah pekat itu menetes dari lubang hidungku. Seorang pelayan datang dan memberikan sebuah handuk bersih kepadaku. “Pak, tolong, jangan buat keributan di sini.” Aku mengangkat kepala dan melihat seorang petugas keamanan berdiri di depanku, melindungi aku. Aku melihat ke sekitarku. Beberapa penghuni yang berniat untuk olahraga, berenang, atau pergi ke sekolah dan tempat kerja mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Sial. Aku hanya mau kembali ke kamarku, lagi-lagi ada drama tidak penting. “Minggir! Pria berengsek itu sudah menggoda istriku! Minggir atau mukamu akan aku hajar juga!” ancam Doddy dengan
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se