Bahagia itu sederhana, katanya. Cukup melihat dia bahagia maka kita akan bahagia. Seperti kisah Kemal saat ini, dia merenung keluar jendela ruang baca kitab. Diluar sedang gerimis dan terlihat Nazila yang diberikan payung oleh seorang laki-laki.“Cemburu ya bang?” Fatah tiba-tiba muncul di sampingnya dan membuatnya kaget.“Astaghfirullah, tak kira kamu petir, Fat! Bikin kaget aja,” ucap Kemal mengelus dada.“Yaelah bang, adiknya sendiri disamain sama petir,” “Ya habisnya ngagetin, orang juga lagi fokus belajar,” kata Kemal menggeser ranselnya.“Halah, liat ukhti Nazila tuh, sok sok an fokus belajar. Bukunya aja kebalik!” sarkas Fatah tergelak menunjuk buku kitab milik Kemal yang sekarang kebalik.Kemal pun baru sadar kalau buku di depannya sedang terbalik. “Ya ini emang gayanya aja baca sambil kebalik, hitung-hitung latihan biar bisa baca kitab dari seluruh arah,” ujar Kemal selalu mencari alasan.“Iya dah bang, aku mah cupu!” keluh Fatah lalu beralih menatap ponselnya yang sedang be
Fahri melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menerobos jalanan dengan sangat cepat. Tak biasanya dia seperti ini. Namun rasa khawatirnya begitu besar untuk seorang Adiva. “Adiva,” panggil Ashraf saat tiba di tengah taman kota. Dia mencari-cari dan memangil Adiva.Fahri terus berlari mengelilingi taman kota. Tak kunjung juga dia temui sosok Adiva. Lalu fahri menelpon Dion dan menanyakan keberadaan Adiva.“Disini Fah, Deket lampu taman kota,” ujar Dion. Fahri pun langsung bergegas pergi ke sana.“Gus Fahri,” ucap seorang perempuan yang berada di samping Adiva. Dia merupakan teman kuliah Adiva.“Adiva kenapa?” tanya Fahri dengan raut khawatir.“Dia pelakunya,” tunjuk Dion pada Farhan yang tengah terduduk dipegangi oleh kedua teman Dion.“Farhan, kamu apakah Adiva?” tanya Fahri mendekati Farhan.“Ouh, ternyata sudah sedekat ini. Mantab juga rayianmu div, bisa menggaet Gus dingin dan cupu ini,” ucap Farhan memandang remeh pada Fahri.“Jaga ucapanmu Farhan,” teriak Adiva. Air mata
Semua menoleh ke arah sumber suara. “Jihan!” tampik Fahri melotot tajam.“Iya Abah sama ummah, Kak Fahri akan menikahi aku, hehe. Abah Ashraf merestui kan?” tanya Jihan memastikan. Jihan semakin maju ke depan mendekati Balqis dan Ashraf.“Jihan, kamu masih terlalu muda nak. Ya Abah setuju aja, tapi kak Fahrinya masih harus melanjutkan pendidikan dulu. Harus bisa membuktikan kalau dia bisa mencukupi keluarganya nanti. Mungkin kamu bisa menunggu sampai kak Fahrinya lulus kuliah dan punya pekerjaan yang jelas,” ujar Ashraf dengan tersenyum pada Jihan.“Abah,” cegah Fahri. Dia masih belum selesai menjelaskan semuanya. Namun sang Abah sudah terburu-buru menanggapi ucapan dari Jihan.“Sudah Fahri, Abah tetep pada keputusan Abah. Jihan masih terlalu muda, lebih baik kamus selesaikan dulu pendidikan kamu baru nanti kamu bisa menikahi Jihan. Jihan pasti mau menunggu,” imbuh Ashraf kembali.“Iya kak, benar kata Abah Ashraf,” ujar Jihan mengangguk cepat.Lalu Ashraf keluar meninggalkan ruangan i
Alya masih terus menangis di depan Fatah. Kemal mencoba melerai perdebatan mereka berdua. “Udah Fat, maafin aja,” kata Kemal menepuk bahu sang kembarannya.“Apaan sih bang, tau sendiri dia kan tadi buat malu banget,” gerutu Fatah. Emosinya masih belum hilang.“Ya gimana pun dia itu cewek fat, udah lah ngalah aja,” kata Kemal sebagai sang kakak yang harus benar-benar menjaga adiknya.“Hm,” ujar Fatah tetap pada pendiriannya.“Ya aku kan gak tau kalau kamu sebenarnya anaknya pesantren,” ujar Alya melililit baju blousenya. Wajahnya cemberut.“Hah? Maksudnya?” tanya Fatah bingung.“Anak pesantren? Ouh, anak pemilik pesantren,” kata Kemal membenarkan ucapan Alya.“Nah itu, hehe, lupa,” lirih Alya menampilkan senyumannya manisnya.“Typonya kebangetan banget!” sungut Fatah masih kesal.“Iya maaf maaf. Dimaafin kan? Ya udah temenan yuk,” ujar Alya lalu hendak menyalami Fatah.“Ish, udah tau masih aja kayak gitu. Pelupa tingkat akut mbak?” peringat Kemal menggeleng saat Alya hendak menyalami.
Setelah selesai dengan ujian di hari ini. Fatah dan Kemal keluar dari kelasnya. Wajah mereka berdua begitu lesu. Seperti selesai latihan kemiliteran saja. Padahal hanya ujian akhir semester, belum juga sidang skripsi. “Bang, enak banget kamu di semangatin sama doi,” ujar Fatah berjalan sempoyongan. Dia kemarin belajar sampai begadang. Biasa, sistem kebut semalam. Jadi ya gini, besoknya pasti capek banget karena kurang tidur dan otak seakan habis energi.“Itu cuma catatan pelajaran, Fat, kemarin aku emang minta ke Nazila,” ungkap Kemal.“Halah, boong terus, nanti dapat piring cantik,” ujar Fatah kesal. Kemal menonyor bahu Fatah.“Terus, kenapa?” tanya Kemal.“Ya gak papa lah,” jawab Fatah sewot. Sambil menendang kaki saudaranya dari belakang.“Nah, iri tuh, itu cewek kamu nyamperin, ehem,” goda Kemal membiarkan Fatah berjalan di depannya.“Cewek apaan dah!” kata Fatah terus berjalan menunduk. Dia belum menyadari kehadiran seseorang yang sangat-sangat dia hindari.“Hai Fatah ganteng!”
Adiva memegang pipinya. “Kamu jangan ikut-ikutan, ini urusan aku sama cowok kamu! tegur Adiva pada perempuan disamping Farhan.“Lo yang ngapain hah? Dia cowok gue, kenapa Loain tampar- tampar aja,” balas perempuan yang terlihat begitu muda itu.“Div, kamu apa-apa an sih! Kamu berubah tau gak semenjak deket sama Gus cupu itu,” ujar Farhan menahan pacarnya menjauh dari Adiva.“Lo yang apa-apa an sih Han, kamu yang nuduh aku. Cewek mana yang gak sakit hati dituduh hamil? Kamu ini katanya temenku Han, kok malah kayak gini sih,” lirih Adiva dengan air mata yang sudah menderai.“Halah, bilang aja kalau udah kayak gitu. Bener kan? Dasar cewek munafik. Aku kira kamu beda sama cewek lainnya, ternyata sama aja, atau bahkan lebih buruk?” gertak Farhan terus menerus memojokkan Adiva.“Farhan kamu jahat banget!” ujar Adiva menunjuk Farhan hendak memukulnya. Namun Farhan dengan siap siaga malah mendorong Adiva hingga tersungkur ke bawah.“Ayo dek, pergi dari sini, jangan deket-deket sama cewek gak
Fahri tetap mengikuti langkah Adiva yang semakin dipercepat. “Adiva awas ada motor!” pekik Fahri dengan khawatir.Bruk !!Sebuah motor ninja menabrak batas jalan. Beruntungnya motor itu langsung memutar arah saat sudah hampir menabrak Adiva yang menyebrang tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri.“Astaghfirullah, astaghfirullah,” lirih Adiva memegang jantungnya yang berdetak kencang. Nafasnya memburu, hampir saja dirinya tertabrak.“Adiva, kamu gak papa kan?” tanya Fahri dengan nafas ngos-ngosan. Fahri berjongkok sambil mengatur nafasnya.Adiva menggeleng cepat. Keadaan mereka sangat kacau. “Aduh, gimana ini?” keluh Adiva begitu takut saat seorang pengemudi menggunakan helm menghampirinya.“Lo ounya mata gak sih? Hampir saja gua nabrak Lo!” murka seorang laki-laki itu lalu membuka helmnya memperlihatkan wajahnya yang penuh amarah. Sebab bagian depan motornya menjadi lecet.“Ma- maaf Mas, maaf, saya benar-benar gak liat tadi,” ucap Adiva tak berani menatap wajah menakutkan laki-laki itu.“H
Suasana sore di pesantren Al Muhajirin begitu hening dan terkondisikan. Para santri dengan khusyuk menyimak dan mendengarkan disetiap penjelasan dari ustadz. Seperti saat ini, kelas madrasah Aliyah yang sedang diajar oleh Fatah. Hari ini jadwal Fatah untuk mengajar.“Sebenarnya saya merasa sangat kurang untuk menyampaikan ilmu di depan santri Al Muhajirin. Tapi gimana lagi ini permintaan dari Abah kyai sendiri, saya usahain saya akan menyampaikan dengan baik, jadi mohon bantuannya untuk mendengarkan sampai selesai,” ucap Fatah di depan kelas sepuluh madrasah Aliyah.“Qanaah itu merupakan sikap merasa cukup, menerima sesuatu yang sudah menjadi miliknya dan tak merasa kurang. Qonaah merupakan sikap mahmudah yang berarti sikap baik yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mempunyai sikap qanaah ini maka kita akan selalu merasa cukup dan tak merasa kekurangan. Kita akan selalu bersyukur atas semua hal yang ada dalam diri kita. Serta kita akan jauh dari sikap rakus at
Adiva mencoba melihat ke arah pintu, cahaya yang remang dan tak terlalu jelas. Adiva dapat mendengar suara itu dengan sangat jelas. “Kamu siapa?” tanya Adiva sedikit berteriak. Sosok perempuan itu semakin mendekat. Dia sekarang berada tepat di depan Adiva. Namun Adiva tak bisa melihatnya secara jelas. Sebab terbatasnya penerangan yang ada. “Kamu tidak perlu tau siapa aku,” ujar perempuan itu dengan suara lantang. Adiva mencoba membuka lagi tapi yang mengikat tangannya. Namun tetap saja itu percuma. Tapi itu terasa semakin erat mengikat tangannya. “Cepat lepaskan aku, ini sangat sakit,” keluh Adiva. Meringis kesakitan. Mana rasa lapar mulai mendesaknya. Dia bahkan tidak makan sedari pagi tadi. “Mimpi kamu, jauhin Fahri dulu, baru aku akan melepaskan kamu!” ancam perempuan itu memberi pilihan pada Adiva. Adiva menggeleng dengan cepat. “Nggak, aku gak mau, kenapa harus menjauhi Fahri? Memangnya kamu siapanya dia?” tanya Adiva dengan nafas memburu. Suaranya pun sudah mulai melemah. Di
Hari ini cuaca sedikit mendung, matahari tidak menampakkan diri. Tepat pukul delapan lewat tiga puluh menit, Yusuf memasuki sebuah tempat makan. Dia sedang ada kerjaan bisnis dengan teman lama nya. Jadi dia memutuskan untuk membahas pekerjaan nya sambil sarapan. Yusuf memakai baju lengan panjang polos, serta celana jeans hitam. Dia terlihat sangat tampan. Dengan alisnya yang tebal dan hidung yang mancung, menjadikan dia terlihat lebih tampan berkali-kali lipat.Yusuf langsung memesan nasi Padang, karena tempat ini terkenal dengan masakan padangnya yang enak dan lezat.Apalagi dipadukan dengan teh hangat, rasa nya tidak ada duanya.Hendra- teman bisnis Yusuf langsung menghampiri Yusuf. Mereka duduk dibangku pojok sebelah kiri."Pagi bro." Sapa Hendra."Alhamdulillah, akhirnya datang. Langsung pesan makan aja, hitung-hitung sambil sarapan." Tawar Yusuf kepada Hendra."Oke lah, sebentar." Akhirnya Hendra langsung memesan beberapa menu lauk nasi Padang.Setelah itu mereka langsung sarap
Semua menoleh ke arah sumber suara berasal. Adiva menutup mulutnya, dia barusan sadar dengan suaranya yang begitu keras barusan. Nazila menyenggol bahu Adiva. “Maaf Zil,” ucap Adiva. Nazila langsung menepuk dahinya. Beruntungnya di ruangan itu hanya ada Gus kembar dan beberapa pengurus senior. “Asih, Adiva, kok keras banget sih suara kamu!” tegur Nazila dengan ekspresi takut. “Aduh, beneran maaf loh, aku saking terkejut soalnya,” ujar Adiva menggigit bibirnya. Dia memang benar-benar tak sengaja. “Gimana ini dong,” lirih Nazila. Dia seperti malu dan ketakutan. “Ya udah kabur aja yuk,” ajak Adiva. Nazila pun mengangguk. Mereka berdua sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari meninggalkan ruangan itu. Namun ada seseorang yang menghentikannya. “Loh, mau kemana kalian?” tanya Fatah. Ketiga Gus kembar pun menghampiri kedua perempuan yang sama-sama sedang ketakutan itu. “Ini Gus, mau ke asrama putri,” jawab Adiva. Sementara Nazila menunduk dalam. “Loh, sebentar dulu Nazila. Ini ba
Pun dengan Layla yang bisa melewati segala macam ujian dalam mencintai seorang Abidzar Al-Ghifari. Ujian itu silih datang berganti, Layla semakin hari semakin tahu jika ujiannya bukan hanya sebatas ujian untuk dirinya namun juga untuk keutuhan rumah tangga nya. Karena disini sebenarnya mereka berdua sama-sama di uji. Di uji untuk saling bertahan, di uni untuk saling berjuang dan di uji untuk saling berkorban.Tidak ada yang sia-sia dalam sebuah perjuangan, dan disini Layla membuktikan bahwa ucapan nya kala itu untuk bisa mendapatkan hati Abidzar sudah terkabul. Dia bisa memiliki Abidzar seutuhnya, dan sampai mereka mempunyai seorang nak yang sangat lucu dan menggemaskan seperti mereka berdua tentunya "Iya Mas tau, dan Mas sudah menyadari itu sejak awal kita bertemu. Kamu sangat berbeda Humaira, kamu terlihat menenangkan dan hati ini langsung terpaut dengan kesabaran mu. Terima kasih telah kau bertahan hingga sejauh ini, dan maaf atas segala ketidak baikan yang kamu daoat selama kita b
Beberapa bulan kemudian."Mas." Panggil Layla saat Abidzar masih memasak untuk sarapan mereka berdua. Abidzar yang sadar sedang dipanggil, langsung tergesa-gesa untuk menghampiri istrinya itu. "Ada apa Humaira, kamu mau apa sekarang?" Tanya Abidzar langsung."Perutku sakit Mas, apa sudah mau keluar ya anak kita, aku harus gimana Mas?" Tanya Layla. Dan kangsung saja Abidzar berubah khawatir. "Loh, Layla, ya sudah ayo kita langsung menuju ke rumah sakit, kamu ini gimana sih kok masih ragu, ayo Humaira, tapi sebentar dulu Mas mau matyin kompor dan mau siap-siap. Tahan ya Humaira.""Cepat Mas." Pinta Layla dan langsung saja Abidzar bergegas dan setelah itu mereka langsung berangkat menuju ke rumah sakit terdekat. Abidzar mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan, dia tidak tega melihat Layla yang sedang merintih menahan kesakitan, dan benar saja sampai di rumah sakit Layla langsung dimasukkan ke ruangan khusus dan tertutup.Sebelum Abidzar memasuki ruangan itu, Abidzar menghubungi U
Namaku Abidzar, biasa dipanggil Abi atau Bi. Aku memutuskan untuk menuntut ilmu di salah satu pesantren besar yang ada di kota Jakarta. Namanya Pesantren Modern.Dari masa Tsanawiyah aku sudah disana, bahkan hingga masa Aliyah. Aku sangat ingin menjadi salah satu ustadz di pesantren modern.Setiap hari aku berusaha untuk tekun belajar, terutama belajar ilmu keagamaan. Cita-cita mulia ini juga berawal dari Abah ku, yang menjadi salah satu guru besar di dunia pendidikan terkemuka.Tapi aku ingin mengajar di pesantren saja, dimana aku bisa juga sambil mengabdi di pesantren tersebut.Ini no no no no no koi no no no no noSetiap hari ku lalui hari ini dengan semangat, tanpa lelah dan selalu ingin belajar. Aku harap dimasa depan semua ini dapat terbayar, semoga lelah ku ini menjadi Lillah. Insya Allah.Hingga tiba setelah kelulusan tes, dimana namaku terpampang paling atas. Sebagai ustadz, iya aku dapat mengajar di pesantren modern. Pesantren yang pernah mengajarkan ku banyak ilmu dan banya
Lailatul Jannah, gadis muda yang besar di kota Jakarta. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Doni dan Winda. Nama panggilan nya adalah Layla. Dia tumbuh di lingkungan yang baik. Saat berumur tiga belas tahun, dia melanjutkan pendidikan nya di salah satu pondok pesantren salaf di kota Jakarta. Nama pondok pesantren nya jalan Pondok pesantren Salaf Nurul Huda yang bertepatan di Jakarta Timur. Layla merupakan salah satu santriwati yang terkenal dengan sifat rajin nya. Dia santriwati yang berprestasi di banyak bidang, baik bidang keagamaan maupun bidang pengetahuan umum. Dia menghabiskan masa remaja di pondok pesantrennya. Delapan tahun dia disana untuk memperdalam ilmu keagamaan nya. Dia ingin menjadi salah satu juru dakwah untuk kaum perempuan di masa mendatang. Layla sangat fokus di kehidupan sehari-hari nya, dia tidak ikut pergaulan yang salah. Untuk itu setelah dia lulus jenjang SMA, dia diminta untuk mengajar di pondok pesantren nya sebagai ustadzah. Layla sangat bersyukur bisa
"Maryam!" Panggil seorang perempuan memakai daster dari dalam kamar sebelah di rumah itu."Iya Kak, ada apa?" Sahut seorang perempuan memakai Jilbab rawis berwarna hitam."Siapa yang nyuruh kamu buat lanjut kuliah? Nanti ngerepotin aja kalau butuh apa-apa, Kita ini keluarga miskin, bapak sama ibu juga udah ga kerja, harusnya kamu itu sadar diri." Firda- kakak kedua Maryam yang kini sedang memaki Maryam untuk tidak melanjutkan pendidikan nya ke jenjang lebih tinggi lagi.Maryam terkejut dengan sikap kakak perempuan nya itu, padahal dirinya sekarang bunuh dukungan, bukan hanya hinaan dan sebuah tuduhan. Maryam menatap kakaknya dengan mengiba, dirinya tidak seperti itu, dia ingin melanjutkan kuliahnya karena dia ingin mengangkat derajat keluarga nya itu lebih baik lagi, terutama untuk mengangkat derajat kedua orang tuanya."Ma- maaf Kak. Aku cuma mau mengejar cita-cita ku saja. Untuk urusan biaya nanti aku akan berusaha buat cari beasiswa, Insya Allah. Semua pasti dimudahkan kak." Maryam
Maryam hanya diam mendengar semua kata-kata yang terdengar pilu dari kakak perempuannya itu. Terlihat juga raut kecewa dari orang tuanya, kalau sudah begini apa yang harus Maryam lakukan. Maryam meminta maaf lalu kemudian tetap berjuang, atau Maryam terus bekerja hingga dia menabung banyak uang sampai keluarga nya bangga dan terbebas dari kekurangan, benar saja Maryam sekarang dilema."Maaf Bu, setelah gajian nanti Maryam lunasi hutang ibu. Dan setelah ini Maryam tidak akan menyusahkan lagi." Maryam mendekat dan duduk di depan ibunya. Lalu Kulsum, menghela nafas pasrah. "Sudah tidak apa-apa, tapi benar kata kakakmu, sebaiknya kamu jangan lanjut buat kuliah. Kita ini serba kekurangan, apalagi kalau kamu nanti kuliah sudah gak bisa kerja lagi. Kalaupun tetap kerja nanti takutnya kecapean.Maryam sadar, atau hanya sebatas mimpi. Satu-satunya orang yang Maryam anggap akan selalu mendukung ternyata juga sudah tidak yakin terhadap dirinya. Maryam tau diri, cukup, dia sudah tidak punya lagi