“Dengan Tante Embun? Yang benar saja!”Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir pikiran aneh tersebut dari kepalanya.Sang paman jarang sekali terlibat masalah dengan orang, sekalipun sikapnya datar senantiasa seperti itu. Yah, memang Kaisar lebih sering bertemu dengan orang-orang untuk urusan bisnis, tapi–“Oh, Paman tidak bersikap terlalu formal pada Tante Embun, kan?” ucap Nicholas. Namun, dengan segera, ia menepis pikiran buruknya lagi. “Tidak mungkin. Aku lihat ekspresi Paman tiap kali menyingggung soal bekal dari Tante Embun.”Pria muda itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Kaisar.Saat sudah berada di kantornya, barulah Kaisar membuka pesan tersebut.[Tenang saja, Paman. Serahkan semuanya padaku. Paman Kaisar istirahat saja.]Suami Embun tersebut mengizinkan Nicholas untuk membantunya, sebab Kaisar percaya pada kemampuan Nicholas. Meskipun keponakannya itu masih sangat muda, tapi ia adalah pemuda yang cerdas. Nicholas hanya perlu diberik
“Nicholas, cucu Surya Rahardja yang itu, bukan?”Mendengar itu, ibu Friska langsung menoleh ke arah Nicholas dengan ekspresi terkejut. Dari situ Nicholas menduga bahwa tampaknya Friska tidak mengatakan apa pun terkait latar belakang Nicholas kepada keluarganya.Oleh karena itu, saat ini Nicholas tengah tersenyum canggung sembari berkata, “Senang bertemu dengan Anda sekalian.”Rombongan itu terkesiap, kemudian hening selama beberapa saat sebelum semuanya kembali berebutan mengajak Nicholas mengobrol.“Astaga~ Pantas saja wajahmu tidak asing. Ternyata keluarga Rahardja yang itu!”“Benar kamu pacarnya Friska? Sudah berapa lama?”Nicholas masih saja tampak canggung, tapi ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu selihai mungkin. Sementara, ibu Friska masih saja terdiam di sampingnya, seakan tidak percaya bahwa ia melewatkan informasi terpenting tersebut.Bagaimana tidak? Saat itu, Friska memang hanya mengatakan padanya bahwa, “Kenalkan, ini Nic. Pacarku.”Awalnya, Bu Nin
“Lima puluh?”Embun terkejut ketika mendengar jumlah peserta yang mendaftar kelasnya. Jumlah itu adalah dua kali lipat dari keseluruhan siswa yang ada di kelas hariannya. Oleh karena itu, pada akhirnya kelas Embun dibagi menjadi dua kelas, otomatis mengambil waktu Embun lebih banyak daripada hari=hari biasanya.Itu adalah salah satu sebab Embun memutuskan untuk menginap selama beberapa hari di sini, alih-alih pulang setiap hari ke apartemen.“Ini bulan keduamu di sini, kan, Embun?” ucap Gina, salah satu rekan Embun di sana. Wanita muda yang tampaknya berusia sekitar 25 tahun tersebut jugalah yang bersedia membagi kamarnya dengan Embun selama beberapa malam. “Bagaimana menurutmu?”“Sejauh ini, semua tampak oke,” jawab Embun disertai senyum.Gina tertawa ringan. “Yah, nanti kutanya lagi ya setelah kamu mengajar di masa liburan ini.”Benar, Bulan kedua Embun bekerja di situ bertepatan dengan liburan sekolah, yang biasanya akan membuat tempat itu dikunjungi oleh banyak anak-anak dan remaj
“Kenapa aku memikirkan ini sekarang?” Embun menatap gadis cilik yang sedang bersamanya sementara gadis cilik itu sedang menyodorkan sepiring pancake dan sendok pada Embun. “Ayo dimakan, Kak!” ucap gadis cilik itu, membuat Embun tersenyum dan mencoba hidangan buatan si koki kecil. Namun, di otaknya, dia ada pikiran lain selain menganalisis rasa dari apa yang baru saja Embun makan. Kira-kira, bagaimana sikap Kaisar di sekitar anak kecil ya? Jelas, Embun tahu kalau Kaisar tidak mengharapkan anak karena obrolan itu sama sekali tidak pernah disinggung oleh Kaisar sebelumnya, sejak mereka menikah dan sepakat tentang apa yang mereka harapkan dari pernikahan ini. Toh, Papa Surya juga tidak menekan mereka. Beliau sudah memiliki cucu dari kakak-kakak Kaisar, jadi tidak ada tekanan. Akan tetapi, Embun penasaran. Jika dihadapkan dengan anak kecil, bagaimana Kaisar akan bersikap. “Bagaimana, Kak? Enak?” Si gadis cilik itu tampaknya menunggu reaksi Embun. Karenanya, istri Kaisar tersebut te
Beberapa hari yang lalu .... “Paman harus hati-hati. Pria itu tampaknya memang benar-benar mengincar Tante Embun.” Kaisar yang mendengar kalimat dari Nicholas itu sampai harus menghentikan aktivitasnya mengecek surel. “Maksud kamu?” tanya suami Embun tersebut. Nicholas bangkit dari sofa yang ia duduki dan berjalan menghampiri sang paman. Keduanya sedang berada di ruang kerja Kaisar di apartemen. Awalnya, Nicholas hanya berniat menyerahkan beberapa berkas sembari bertamu, menyapa tantenya. Namun, ternyata Embun sedang tidak ada di sana. Pada akhirnya, Nicholas beristirahat sebentar di sana sembari menemani pamannya yang, menurut Nicholas, sedang tampak menyedihkan. Pria muda itu kemudian menyodorkan tablet di tangannya yang sedang menampilkan sebuah foto dan berita terkini hari ini. Kaisar mengalihkan fokusnya dari layar laptop dan melihat foto yang sedang ditunjukkan oleh Nicholas. Itu adalah potret Henri Pradana dan putra tunggalnya, Dion. Kaisar kemudian kembali mengarahkan
“Ada keperluan apa Anda di sini?”Kaisar menatap Dion selama beberapa saat tanpa mengatakan apa pun. Sebagian dari dirinya memikirkan hal remeh yang tidak penting seperti kenyataan bahwa ini adalah pertama kalinya Dion menyapa Kaisar. Sebelumnya, pemilik DairyDeluxe ini mengabaikan Kaisar secara terang-terangan dan hanya berfokus pada Embun.Sekarang, putra tunggal Pradana itu menyapa Kaisar? Tepat saat ia akan menemui Embun?Benar kata Nicholas. Kaisar patut waspada pada pria ini.“Ini sedang masa liburan. Apakah Pak Kaisar juga sedang berlibur?” tanya Dion lagi, terdengar ramah. “Kalau begitu, mari saya ajak berkeliling. Saat ini memang sedang ramai, tapi Pak Kaisar bisa dapat keuntungan khusus, kalau ikut saya.”Kaisar mengamati setiap gerak-gerik Dion yang masih mencoba mengajaknya mengobrol. Putra tunggal Pradana itu terlihat amat santai saat mengobrol dengan Kaisar, seakan-akan mereka berdua adalah teman baik.“Tidak, terima kasih.” Akhirnya Kaisar membalas. “Saya masih ingin di
“Dia mengobrol dengan Dion?” batin Embun. Ia sedikit terkejut dengan perkembangan tersebut karena sepengetahuan Embun, Kaisar tidak suka segala jenis hal yang berhubungan dengan Dion.Kaisar bahkan menginterogasinya saat suaminya itu tahu kalau Embun bekerja dengan Dion.Jadi, kenapa sekarang mereka terlihat akrab mengobrol?Ralat, ada yang aneh. Sepertinya yang terlihat santai hanyalah Dion. Sementara Kaisar, masih seperti biasa, dengan wajah datarnya.“Kak Embun, Kak Embun! Aku nggak mau satu kelompok sama dia!”Perhatian Embun yang tertuju pada Kaisar terpaksa harus teralihkan ketika seorang anak menarik ujung bajunya, meminta perhatian Embun. “Ya?” Embun berucap lembut, akhirnya memberikan fokusnya pada anak kecil tersebut. “Aku nggak mau satu kelompok sama dia!” ulang anak itu sambil menunjuk ke arah seorang gadis kecil yang terdiam di pojok ruangan, seperti sedang menghindari keramaian. “Dia dari tadi diam terus. Sombong banget!” Embun mengalihkan fokusnya, mengikuti arah yan
“Embun. Hei.” Panggilan itu membuat Embun membalikkan badan dan mendapati rekannya di belakangnya. “Hei.” Embun tersenyum pada Kia. “Ada apa?” “Aku harus pergi sekarang. Ada kelas lain di sore hari dan aku harus istirahat dulu sebelum bersiap.” Embun mengedarkan pandangan ke sekitar. Semua anak-anak tampaknya sudah dijemput oleh orang tua masing-masing, kecuali Kia. “Oke. Aku akan menunggu sebentar lagi sampai orang tua Giselle menjemput,” ucap Embun. Toh, ia tidak keberatan. Lalu dengan suara pelan, ia menambahkan, “Mereka sudah tahu kalau kelas berakhir sekarang, kan?” “Semua orang tua menerima jadwal, jadi seharusnya mereka tahu,” balas Kia. Ia menghela napas. “Maaf sudah menyusahkanmu, Embun. Terima kasih banyak.” “Sama-sama.” Embun mengangguk. Usai Kia pergi, wanita itu kembali menoleh pada Giselle. “Hei,” panggilnya lembut. “Keberatan kalau aku menunggu di sini bersama kamu?” Perlahan, Giselle menggeleng. “Milkshakenya enak?” tanya Embun kemudian. Ia berusaha mengajak
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi