“Kak, menurutku itu tidak perlu.”
“Hanya untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu pernikahanmu ke depannya akan seperti apa. Ini juga untuk kebaikanmu.” Rindang mencoba menjelaskan.
Sebagai wanita yang sudah menikah, Rindang lebih paham tentang hal itu. Apalagi jika menjadi istri yang tidak memiliki penghasilan, sertifikat rumah seperti itu akan menguntungkan.
Walaupun Embun memiliki penghasilan sendiri, tetapi setidaknya kehidupannya bisa terjamin dengan baik jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Kurasa aku tidak akan meminta hal itu pada suamiku, Kak.” Embun berusaha menolak permintaan Rindang.
“Baiklah kalau kamu tidak mau, tapi kalau begitu kakak juga tidak jadi memberikan restu untuk pernikahanmu.”
Embun menatap Rindang tidak percaya, lalu detik berikutnya menghela napas. “Baiklah Kak, aku akan coba bicarakan dengan Kaisar.” Embun bisa melihat Rindang tersenyum senang atas ucapannya.
Ada perasaan bersalah di hati Embun melihat Rindang tersenyum seperti itu, karena sebenarnya Embun hanya berpura-pura mengiyakan permintaan Rindang. Ia lakukan karena tidak ingin membuat Rindang khawatir dan bisa secepatnya mengizinkan Embun pergi dari rumah kakak iparnya.
Embun tidak akan mengikuti saran Rindang untuk meminta memasukkan namanya pada sertifikat rumah Kaisar. Kaisar sudah mau memberikan tempat tinggal dan memberinya nafkah adalah suatu hal yang bagus, dan ia tidak ingin meminta lebih daripada itu.
Namun, jika nantinya Kaisar sendiri yang menambahkan namanya di sertifikat rumah, ia juga tidak akan menolak. Karena meskipun ini pernikahan tanpa cinta, mereka tetap adalah suami-istri yang akan tinggal bersama seumur hidup.
“Kapan kamu akan mengenalkan suamimu pada Kakak?” Rindang tiba-tiba bertanya saat Embun selesai berkemas.
“Aku belum bisa pastikan, Kak. Suamiku ini sangat sibuk, hari ini saja dia ada perjalanan bisnis ke luar kota,” kilah Embun. Embun hanya belum siap mengenalkan Kaisar pada siapa pun, lagipula belum tentu Kaisar mau bertemu dengan keluarganya.
Daripada memberikan janji yang sulit ia tepati, lebih aman menjawab seperti itu, pun Kaisar sepertinya memang sibuk.
“Suamimu sudah pergi dinas ke luar kota di hari pernikahannya?”
Rindang tidak percaya, suami Embun sepertinya tidak perhatian pada adiknya sendiri. Bisa-bisanya lebih memilih pekerjaan dibanding istrinya sendiri?
“Dia juga terpaksa, Kak. Lagi pula, dia berjanji akan pulang secepatnya. Nanti, setelah sudah pulang, aku akan pertemukan dia dengan Kakak ya.”
Walau tidak rela, tapi Rindang hanya bisa memercayai adiknya.
Setelah berpamitan pada Rindang, Embun pun pergi menuju tempat tinggal Kaisar.
Siang itu jalanan tidak terlalu ramai, tetapi Embun membutuhkan waktu satu jam untuk tiba di komplek apartemen Kaisar.
Embun bisa melihat komplek apartemen ini adalah komplek apartemen mewah, dan ketika melihat sekeliling, Embun sadar ia belum tahu di lantai dan unit berapa apartemen Kaisar.
Embun berhenti di dalam lobi lalu duduk di sofa. Ia mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk menghubungi Kaisar.
Kaisar melihat ponselnya di atas meja menyala.
[Embun Prajaya]
Melihat nama Embun, pria itu menjulurkan tangan dan sempat berniat untuk mengangkatnya. Namun, teringat dirinya sedang menghadiri rapat, Kaisar pun berakhir menolak panggilan itu.
Sudah menjadi kesepakatan bersama di perusahaan itu bahwa ketika rapat sedang berlangsung, siapa pun yang menghadirinya tidak boleh melakukan panggilan untuk urusan pribadi. Demi menghormati peraturan rapat itu, maka Kaisar pun tidak mengangkat telepon Embun.
Akan tetapi, tak lama ponsel Kaisar kembali menyala. Lantas alih-alih menerima panggilan itu, Kaisar langsung mengirimkan pesan.
Ting!
Satu pesan dari Kaisar masuk ke ponsel Embun.
[Ada apa?]
Tanpa menunggu jeda, Embun membalas pesan dari Kaisar.
[Saya sudah di lobi apartemenmu. Tapi saya tidak tahu nomor unit dan di lantai berapa.]
Ting! Pesan baru kembali masuk.
[Penthouse. Lt. 50].
Setelah tahu unit dan lantai apartemen suaminya, Embun gegas berdiri dari duduknya. Dia membawa semua barang-barangnya menuju lift khusus yang menghubungkannya ke unit apartemen Kaisar.
Ketika Embun sudah berada di depan pintu apartemen, dia pun menggunakan kartu akses dan kode sandi dari Kaisar untuk membuka pintu.
Ting!
[Sudah bisa masuk?]
Satu pesan dari Kaisar kembali masuk ke dalam ponsel Embun.
[Sudah.]
Tidak lama pesan dari Embun dibalas kembali oleh Kaisar.
[Perlu bantuan?]
Sudut bibir senyum agak terangkat melihat tawaran Kaisar.
[Tidak apa-apa. Lagipula jika saya butuh bantuanmu sekarang, memangnya kamu bisa langsung pulang secepatnya?]
Tidak lama berselang sebuah notifikasi pesan masuk kembali ke ponsel Embun.
[Tidak.]
Embun tertawa kecil membaca balasan pesan dari Kaisar. Embun sama sekali tidak merasa tersinggung dengan jawaban suaminya itu.
Merasa tidak perlu membalas pesan pria itu lagi, Embun pun hanya membalas dengan emoji tertawa sekaligus menangis dan sebuah jempol.
Kaisar menatap layar ponselnya. Lelaki itu tanpa sadar tersenyum tipis saat melihat dua buah emoji yang dikirimkan Embun. Belum pernah ada yang berani membalas pesannya hanya dengan emoji, dan wanita itu melakukannya, jadi ini membuatnya merasa aneh.
Tahu dirinya tidak perlu membalas lagi pesan dari Embun, Kaisar pun menutup ponselnya.
Pria itu belum mengenal Embun dengan baik. Dia hanya mengetahui Embun sebatas dari cerita sang ayah setiap ayahnya kembali dari kafe langganannya, yang mana kemudian Kaisar tahu kafe itu adalah milik Embun.
Kaisar hanya berharap agar Embun tidak merepotkannya. Karena dia tidak akan memiliki waktu untuk meladeni Embun.
Kaisar meletakkan kembali ponselnya ke atas meja dan hendak lanjut mendengarkan rapat yang sempat ditinggalkannya sesaat tadi.
Namun, ketika Ķaisar mendongak, semua orang di ruangan meeting itu sedang menatapnya dengan tatapan penasaran yang tinggi.
“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.” “Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?” Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum. Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya. “Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh. Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman. “Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan. Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas. “Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi. Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya. Nicholas tersenyum cang
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut
Perlahan Embun menghampiri Kaisar yang tengah duduk di sofa dengan tenang dengan kaki bersilang. Punggung pria itu tampak sedang menyandar nyaman di sandaran sofa. Lelaki itu memandangi kedatangan Embun dengan tajam, membuat gadis itu menelan ludah ketika melihat wajah suaminya itu terlihat sangat masam. Tak ada senyum tersungging di bibir Kaisar. Wajah kaku dan dingin seperti yang dilihat Embun tadi pagi saat pertama kali bertemu. Apakah suaminya itu marah padanya karena dia baru saja pulang? Ada rasa tak enak menjalar di hati Embun. Dia bersalah karena sudah pulang lebih lambat dari suaminya itu. “Maaf, saya pulang terlambat,” cicit Embun mencoba memecah kebekuan di antara mereka. Tak ada respon apa pun dari Kaisar. Langkah kaki Embun mengitari sofa dan duduk di seberang Kaisar, sambil menaruh bungkusan makanan yang dia bawa dari luar ke atas meja kaca di hadapan mereka. “Waktu pulang tadi saya melewati kedai martabak yang terkenal. Jadi saya beli satu untuk kita makan berd
“Kamu … tidak bisa lebih hati-hati lagi?” tanya Kaisar pada akhirnya sebelum melepaskan pegangannya dari pinggang Embun. Embun pun tersenyum tak berdaya, agak malu karena kecerobohannya. “Maaf, terburu-buru.” Setelah melepaskan Embun, Kaisar pun meraih botol air yang dia jatuhkan ke lantai untuk kemudian dilap dengan tisu, dibuka segel penutup botolnya, dan diberikan kepada Embun. Hal yang sama dia lakukan pada botol air satu lagi yang akhirnya dia teguk sendiri hingga tersisa setengahnya. “Terima kasih,” ucap Embun sembari meneguk air tersebut. Jujur, jantungnya masih berdebar keras karena kedekatannya dengan Kaisar tadi. Ditambah dengan perlakuan manis memberikan dan membukakan botol air oleh pria tersebut, Embun tak tahan untuk mengulum senyum malu. Ada perasaan aneh di hatinya. Guna menghalau perasaan di hatinya, juga memecah suasana canggung, Embun langsung memulai topik pembicaraan baru. “Kaisar, saya sudah membeli cincin pernikahan seperti yang kamu minta. Tapi, belum sa