“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.”
“Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?”
Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum.
Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya.
“Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh.
Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman.
“Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan.
Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas.
“Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi.
Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya.
Nicholas tersenyum canggung dan menjauhkan tubuhnya dari Kaisar. Keengganan Kaisar untuk menolak membuat pria itu mengambil kesimpulan bahwa benar, pamannya itu memang sudah menikah.
Sebenarnya Nicholas merasa kasihan dengan pamannya itu. Di zaman modern seperti ini dia masih harus mengalami perjodohan. Akan tetapi, sejauh yang Nicholas tahu, Kaisar memang tidak pernah memiliki kisah asmara.
Sepanjang hidup Kaisar, paman Nicholas itu mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan, sampai-sampai Nicholas merasa bahwa mungkin pamannya ini lupa jika usianya sudah terlewat cukup untuk menikah. Oleh karena itu, Nicholas pikir pilihan kakeknya untuk menjodohkan Kaisar ada benarnya juga.
‘Semoga Paman bisa bahagia dengan istri barunya,’ pikir Nicholas seraya berusaha kembali fokus dengan rapat di depan mata.
Di saat yang bersamaan, Embun memasuki apartemen Kaisar. Pandangannya memerhatikan sekeliling apartemen.
Apartemen ini seolah menggambarkan kepribadian maskulin sang pemilik. Terlihat sangat rapi, bersih dan terawat.
Interior ruangannya dicat warna monokrom dan kebanyakan furniturenya berwarna hitam. Terasa dingin dan kaku, seperti sifat Kaisar.
Di ruang tamu berdinding abu-abu itu, terdapat satu set sofa hitam berbahan kulit beserta mejanya. Sebuah lukisan bergambar abstrak dengan ukuran cukup besar, tergantung di dindingnya.
Di ruang keluarga terdapat sofa bed abu-abu dan lemari hitam yang berisi buku-buku tebal di sudut ruangan, serta sebingkai foto keluarga besar Kaisar yang digantung di dindingnya.
Embun menggeser pintu kaca yang dia yakini tempat balkon berada. Pemandangan kota terpampang dari balkon yang terdapat dua kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja kecil di tengahnya.
Embun kembali melangkahkan kakinya ke dalam apartemen. Dilihatnya ada tiga kamar di ruangan itu. Gadis itu melangkahkan kakinya ke salah satu kamar yang ukurannya tampak lebih kecil dibanding satu kamar di sebelahnya.
Ini pasti kamarnya.
Diseret Embun koper miliknya ke kamar tersebut.
Setelah meletakkan kopernya, Embun meninggalkan kamar dan menuju dapur. Sepertinya Kaisar jarang makan di rumah. Tak ada satu pun peralatan masak terdapat di sana.
Embun berpikir mulai saat ini dia harus memasak untuk Kaisar. Bagaimanapun juga, Embun telah menjadi istri Kaisar dan secara tidak langsung menumpang di rumah Kaisar, jadi dia harus melayani pria itu.
Alhasil, gadis itu pun memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah.
Embun beranjak ke kamarnya, mengambil ponsel dan menghubungi Friska, teman baiknya, untuk menemaninya berbelanja.
“Hari ini kamu tidak ke kafe?” tanya Friska ketika mereka sudah bersama dan berjalan di supermarket untuk memilih bahan-bahan belanjaan.
“Tidak, aku baru saja menikah hari ini.”
"Apa? Menikah? Dengan siapa? Kamu gila, ya?!” teriak Friska yang membuat Embun buru-buru membekap mulut gadis di sampingnya itu. Suaranya yang cukup nyaring membuat beberapa orang di sekitar melirik ke arah mereka.
Embun tahu tidak bisa merahasiakan hal ini dari Friska, maka ia menceritakan semuanya dengan jujur pada sahabatnya itu. Dimulai dari ibu mertua kakaknya yang menyindir Embun, lalu tanpa sengaja Embun ditawari menikah dengan anak dari pelanggan setianya di kafe, dan pernikahannya dengan Kaisar yang langsung terjadi pagi tadi.
“Kamu sungguh sudah gila, ya, Embun? Menikah dengan pria yang tidak jelas. Kamu belum mengenalnya ataupun tahu latar belakang lelaki itu seperti apa!” Friska sedikit meninggikan suaranya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Embun berani mengambil keputusan penting seperti itu.
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut
Perlahan Embun menghampiri Kaisar yang tengah duduk di sofa dengan tenang dengan kaki bersilang. Punggung pria itu tampak sedang menyandar nyaman di sandaran sofa. Lelaki itu memandangi kedatangan Embun dengan tajam, membuat gadis itu menelan ludah ketika melihat wajah suaminya itu terlihat sangat masam. Tak ada senyum tersungging di bibir Kaisar. Wajah kaku dan dingin seperti yang dilihat Embun tadi pagi saat pertama kali bertemu. Apakah suaminya itu marah padanya karena dia baru saja pulang? Ada rasa tak enak menjalar di hati Embun. Dia bersalah karena sudah pulang lebih lambat dari suaminya itu. “Maaf, saya pulang terlambat,” cicit Embun mencoba memecah kebekuan di antara mereka. Tak ada respon apa pun dari Kaisar. Langkah kaki Embun mengitari sofa dan duduk di seberang Kaisar, sambil menaruh bungkusan makanan yang dia bawa dari luar ke atas meja kaca di hadapan mereka. “Waktu pulang tadi saya melewati kedai martabak yang terkenal. Jadi saya beli satu untuk kita makan berd
“Kamu … tidak bisa lebih hati-hati lagi?” tanya Kaisar pada akhirnya sebelum melepaskan pegangannya dari pinggang Embun. Embun pun tersenyum tak berdaya, agak malu karena kecerobohannya. “Maaf, terburu-buru.” Setelah melepaskan Embun, Kaisar pun meraih botol air yang dia jatuhkan ke lantai untuk kemudian dilap dengan tisu, dibuka segel penutup botolnya, dan diberikan kepada Embun. Hal yang sama dia lakukan pada botol air satu lagi yang akhirnya dia teguk sendiri hingga tersisa setengahnya. “Terima kasih,” ucap Embun sembari meneguk air tersebut. Jujur, jantungnya masih berdebar keras karena kedekatannya dengan Kaisar tadi. Ditambah dengan perlakuan manis memberikan dan membukakan botol air oleh pria tersebut, Embun tak tahan untuk mengulum senyum malu. Ada perasaan aneh di hatinya. Guna menghalau perasaan di hatinya, juga memecah suasana canggung, Embun langsung memulai topik pembicaraan baru. “Kaisar, saya sudah membeli cincin pernikahan seperti yang kamu minta. Tapi, belum sa
“Apa itu penting?” tanya Kaisar dengan wajah tenangnya. Embun terdiam sesaat. Tangannya saling meremas seolah sedang memikirkan sesuatu. “Jika kamu dan Papa memang berasal dari keluarga konglomerat, kurasa akan sulit untuk saya menerimanya,” ucap Embun pelan. Kaisar memusatkan perhatiannya pada Embun. “Kamu tidak senang jika kami berasal dari keluarga seperti itu?” Embun meraih botol air mineralnya di atas meja, diteguknya air itu beberapa kali. Embun memainkan botol air mineral yang ada di genggamannya, setelahnya barulah dia menjawab pertanyaan Kaisar. Embun menghela napas sebelum menjawab, “Kehidupan keluarga konglomerat adalah kehidupan yang tidak kumengerti. Saya sudah menyukai kehidupan sederhana yang tenang ini.” Ada jeda dari ucapan Embun untuk beberapa saat. “Jadi, saya hanya berharap kamu bukan berasal dari keluarga Rahardja yang di pesta tadi.” Embun tersenyum tipis. Kaisar diam menatap Embun, cukup lama hingga Embun tidak bisa membaca pikiran dan ekspresi pria di
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi