"Nic, kita harus bicara."Nicholas menegakkan punggungnya saat mendengar nada mendesak dari Friska di seberang saluran telepon. Sudah beberapa hari ini ia sedikit mengabaikan pacar pura-puranya itu karena sibuk membantu sang paman sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Tidak mengejutkan jika Friska kemudian mencapai puncak kesabarannya."... Oke?" Nicholas menyahut. "Di telepon saja?""Yah. Kamu sedang susah diajak bertemu. Aku tidak keberatan."Nicholas meringis sekalipun Friska tidak bisa melihatnya, merasa bersalah."Oke, Fris. Ada apa?"Hening sejenak di seberang saluran telepon."Soal pesta amal akhir pekan ini," kata Friska perlahan. "Menurutmu, kita bisa ... bersandiwara lebih jauh?""Pesta amal?" ulang Nicholas. Keningnya mengernyit sejenak, sebelum kemudian matanya melebar.Ah, dia melupakan pesta amal yang diadakan keluarga Subagja karena belakangan sibuk mengurusi masalah-masalah yang ada.Namun, tidak mungkin ia tidak hadir di pesta tersebut. Itu adalah ajang besar untuk p
"Kamu sedang melihat apa?"Nicholas menoleh saat Friska berbisik padanya. Tampaknya wanita itu melihat ekspresinya berubah. Friska kemudian mengikuti arah pandang Nicholas, tapi Dion sudah menghilang."Fris, kamu tunggu--""Aku ikut kamu," potong Friska langsung. Ia menatap Nicholas lekat-lekat. "Paling tidak, jangan tinggalkan aku di sini, Nic."Benar juga. Kalau Nicholas meninggalkan Friska di sini, yang ada wanita itu akan menjadi bulan-bulanan orang. Sekalipun Friska bisa mengurusi dirinya sendiri seperti tadi, tapi tetap saja lebih baik menghindari masalah yang tidak perlu."Oke." Nicholas mengangguk, langsung mengambil keputusan. "Ayo kita keluar."***"Wah, aku tidak tahu kalau kamu masih merokok."Dion menoleh saat mendengar suara familier itu. Teman lamanya, Aletta, sekaligus wanita gila yang membuatnya turut gila bersamanya belakangan ini muncul dengan langkah anggun. Rambut cokelatnya sedikit melambai tertiup angin."Kamu mau mati muda ya?" lanjut wanita itu."Tutup mulutmu
"Hei." Nicholas berucap pada asistennya di seberang saluran telepon. "Aku ada tugas untukmu."Pria itu melihat ke arah Dion dan Aletta dari balik pilar terlebih dahulu sebelum melanjutkan, "Cek setiap transaksi atau apa pun yang melibatkan Dion Pradana dan Aletta, wanita yang kemarin terlihat di CCTV." Ia diam sejenak. "Iya, mantan paman Kaisar."Sesungguhnya, Nicholas tidak tahu ia harus mulai dari mana. Bagaimana Dion dan Aletta bisa bekerja sama, tentang hubungan keduanya, dan sudah terlibat sejauh mana mereka sekaligus apa motivasi keduanya--Nicholas tidak tahu.Namun, Nic harus memulai dari suatu tempat."Oh ya. Kamu sudah menemukan informasi baru dari CCTV yang kuberikan kemarin?" tanya Nicholas sembari mengamati Dion dan Aletta.Sepasang matanya mengernyit saat melihat satu sosok lain menghampiri dua orang itu dan terkejut saat mengenalinya sebagai Dominic Romero, raja dunia hiburan yang terkenal."Aletta kan model sekaligus artis. Apa dia ada hubungan--" Pemikiran Nicholas ter
"Pakai kata itu di nama kontakmu, biar lebih jelas."Embun tertegun, sebelum kemudian ia merasakan senyum muncul di bibirnya. Pipinya juga terasa sedikit panas, akibat ucapan Kaisar tersebut."Iya." Embun menanggapi dengan suaranya yang lembut. "Nanti aku simpan begitu."Di seberang saluran telepon, Kaisar tersenyum kecil."Kamu sedang apa?" tanya Kaisar lagi.Kali ini, Embun lah yang menghela napas."Aku baru saja mencoba untuk mengurus administrasi, agar bisa lekas pergi dari sini. Tapi tidak bisa." Istri Kaisar itu mengeluh. Ia juga bercerita pada Kaisar kalau sepertinya memang orang-orang di sana memenjarakannya agar tidak bisa pergi sebelum Dion kembali.Kaisar mendengarkan dengan saksama. Masih ada senyum kecil di bibirnya karena penuturan Embun yang menggebu-gebu. Namun, di sisi lain, ia juga merasakan kejanggalan.Sebenarnya apa motivasi Dion menghilang?Bukankah pria itu menginginkan istrinya? Tapi kenapa dia justru tidak kembali saat Kaisar tidak sedang bersama Embun?Ditam
"Nomor yang Anda tuju, sedang tidak bisa dihubungi...."Aletta tersenyum miring saat ia tidak bisa menghubungi nomor Dion. Namun, sejujurnya, ia tidak terkejut. Ia sudah berpikir bahwa pria pengecut itu tidak akan sanggup mendampingi semua rencananya.Akan tetapi, ia agak terhibur juga saat mendapati kejutan bahwa Dion akan melarikan diri secepat ini.Wanita berambut cokelat itu mengetikkan sesuatu di ponselnya, kemudian tersenyum lebih lebar saat mendapatkan balasan."Wah, wah." Ia tertawa kecil. Ekspresinya tampak licik dan sedikit gila.Kemudian, Aletta mengeklik chatroom dirinya dan Embun. Semua foto dan pesan yang ia kirimkan pada Embun tempo hari tidak dibaca.Dan sekarang, Aletta tidak bisa melihat foto wanita itu, membuatnya yakin bahwa Embun sudah memblokir nomornya.Sekali lagi, Aletta tertawa. "Tidak semudah itu, Embun~" ucapnya dengan nada manis yang memuakkan.Sebenarnya, ia pun sudah mengantisipasi hal ini. Aletta punya sederet rencana cadangan, jika memang salah satunya
"Ck, dasar tidak becus!"Lidya mematikan televisi yang menampilkan pemberitaan soal kebakaran pilot project Asthana. Seharusnya, sudah tidak ada lagi berita-berita seperti ini sejak konferensi pers beberapa hari silam.Dan lagi, memangnya yang seperti ini tidak bisa dibereskan oleh orang-orangnya!? Sungguh tidak berguna.Ah, kecuali ada yang--"Nyonya Lidya, kami menemukan bukti bahwa Aletta terlibat dalam kebakaran kemarin.""Apa!?" Lidya langsung menoleh pada bawahannya saat ia mendengar hal itu. Ada ekspresi tidak percaya di wajahnya yang ayu, sebelum digantikan oleh ekspresi kemarahan. "Wanita itu!"Sial, ia membayarnya untuk memisahkan Embun dan Kaisar, bukan untuk menghancurkan perusahaan."Dasar tidak becus!" Bagi Lidya, semuanya sangat bodoh dan tidak berguna. Ia teringat laporan yang disampaikan oleh anak buahnya tempo lalu.Embun dan Kaisar justru sedang bulan madu di kaki gunung, hah? Kenapa justru mereka makin lengket? Apa yang Aletta lakukan dengan uang satu miliar yang
"Siapa...?"Nicholas mengernyit. Ekspresinya makin tampak heran saat ia melihat Dion dibawa oleh sosok berpakaian serba hitam tersebut kembali ke pintu utama dan masuk ke dalam sebuah van hitam.Segera, pria muda itu menitahkan pada para anak buahnya untuk menyelidiki van tersebut. “Temukan pria itu segera. Dan lekas kabari saya.”Nicholas kembali melihat ke arah layar besar di sana. "Diculik?" gumam Nicholas, berpikir keras. Dari gerak-gerik Dion, tidak mungkin ia memang sengaja mau masuk ke dalam van tersebut. "Tapi oleh siapa? Dan kenapa?"Rasanya tidak mungkin, kecuali Dion memang memegang kelemahan pihak tertentu dan pihak tersebut lebih kuat dari pada dia.Nicholas mengurut dahinya, ia memikirkan setiap kemungkinan yang ada, hingga sepasang matanya melebar. “Atau, jangan-jangan…” Dibenaknya kini timbul satu nama yang mungkin saja menculik Dion. Namun kemudian ia meragukan asumsinya sendiri. “Tapi, kalau benar begitu, Aletta tidak mungkin melakukannya sendirian, kan?”Kalau m
“Apakah urusanmu sudah selesai, Kaisar?” Setelah membereskan semua barang-barangnya, kini Embun dan Kaisar sedang berjalan beriringan keluar dari gedung belajar. “Hampir,” ujar Kaisar seraya tersenyum tipis. Embun lantas menatap suaminya itu yang terlihat ‘cukup berantakan’. Kaisar yang ia kenal selalu bercukur setiap pagi, wangi, dan selalu berpakaian rapi. Tapi kali ini, kesan itu benar-benar menghilang. Kaisar tampak sudah tidak bercukur berhari-hari, kemejanya terlihat kusut, rambutnya sudah mulai sedikit panjang. Matanya bahkan terlihat menghitam. Dengan perlahan Embun menyentuh ujung rambut Kaisar, hingga membuat pria itu menghentikan langkahnya. "Rambutmu sudah mulai panjang..." Kaisar terdiam, sepertinya agak tak menyangka bila istrinya memperhatikan hal tersebut. "Kupikir tidak akan terlalu terlihat." Tangan Embun kemudian turun ke wajah Kaisar. Menelusuri pipinya yang ditumbuhi rambut, mengusap area bawah mata Kaisar yang terlihat menghitam. Embun mena
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi