Di suatu tempat, Faniya baru selesai mengatur barangnya. Saat ini dia ada di desa terpencil yang tak mungkin ditemukan oleh Kayasaka. Faniya lari, karena dia tau ini yang terbaik untuknya dan mantan Boss nya itu. Di rumah sederhana peninggalan orang tuanya ini, Faniya akan memulai hidup baru. Meski dia harus merelakan sebagian perasaannya pada Emilio yang dia kenal beberapa bulan ini. "Sepertinya aku harus membeli bahan makanan, aku juga harus mulai menemukan pekerjaan baru untuk bertahan hidup." Faniya bergumam, hidupnya memang tak mudah. Dia adalah gadis yatim piatu yang terlahir dari keluarga sederhana. Setelah orang tuanya meninggal, Faniya memutuskan untuk merantau dan berhasil mendapatkan pekerjaan. Namun kali ini dia terpaksa merelakan semuanya karena dia rasa ini adalah hal yang memang harus terjadi. Tak apa, mungkin Tuhan punya takdir lain untuknya. "Sepertinya besok aku harus mulai berbelanja." Faniya bergumam sebelum mematikan lampu kamarnya dan memilih tidur. Se
"Alyssa?" Emilio menarik tangan Naya, memeluknya tanpa kata. Kayasaka, Geraldine dan orang-orang yang ada di meja itu terkejut. Termasuk Naya, orang yang ditarik oleh Emil ke dalam pelukannya. "Aku merindukanmu, Lyss." Naya merasa terkejut. Siapa pria ini? Kenapa dia memanggilnya dengan nama lain? "Emilio! Jaga sikapmu!" Geraldine sang bibi menegur. Emilio melepaskan pelukannya pada Naya, namun dia tak berhenti menatap wanita itu intens. Mata biru Emilio terlihat penuh akan kerinduan, tangannya bahkan tak lepas dari bahu Naya, seolah meyakinkan kalau gadis di depannya ini nyata dan bukan ilusi yang selalu pikirannya ciptakan. Naya malah kian terkejut dengan nama yang baru saja Geraldine katakan. Emilio? Diakah si pemeran utama cerita ini?! Kenapa dia ada di sini?! "Kenapa tak mengabariku, sayang? Tahukah kau aku merindukanmu." Sekali lagi, Emilio seperti kehilangan akal di tengah desas desus yang dengan cepat menyebar ke seisi ruangan. Emilio dengan beraninya malah membelai
"Apa kau tak akan berhenti menatapnya?" Tanya Kayasaka judes. Sedari tadi memperhatikan Naya yang sibuk menatap wajah tampan Zavier tanpa henti. Gadis itu seakan baru bertemu Dewa Yunani yang ketampanannya tak tertandingi di muka bumi. "Lihatkan Noona? Hyung memang sensi sekali? Noona harus bersabar hidup dengan manusia seperti ini. Katakan saja jika suatu hari Noona bosan. Noona bisa tinggal bersamaku." Jawab Zavier malah nyengir. Memandang Naya yang jelas terpesona. Satu bantal sofa terlempar tepat mengenai wajah tampan Zavier. Membuat pemuda itu merutuk kesal menatap Kayasaka sang pelaku pelemparan dengan sengit. "Hey kenapa melemparnya? Kau ini tempramennya buruk sekali ya? Zaza pasti sakit." Kayasaka mendelik mendengar panggilan menjijikan itu. Panggilan yang Naya berikan pada Zavier beberapa menit yang lalu. Zavier sendiri tersenyum merasa ada yang membela. Lelaki itu lalu mendatangi Naya yang semula duduk tepat di sebrangnya. Dia mulai mengeluh manja pada Noona barunya
Faniya membuka matanya setelah seseorang memanggilnya dan menepuk pundaknya lumayan kencang. "Nona! Kau tertidur di bus ku!? Aku bisa dimarahi jika atasanku tau kalau aku tak suka mengecek bus malam hari. Cepatlah pergi Nona! Kau ini ada-ada saja!" Lelaki yang diduga sopir Bus itu terlihat marah-marah. Memaki Faniya yang tertidur di Busnya semalaman. Bukan hanya sopir bus itu, nyatanya Faniya saat ini juga terkejut. Semalam, dia hanya berniat pergi ke terminal depan untuk menyerahkan lamaran pekerjaannya. Tanpa diduga, Faniya nyatanya malah sampai ke kota ini lagi. Kota yang ingin dia tinggalkan. Bagaimana ini? Dia bahkan tak punya uang untuk kembali? Apa yang harus dia lakukan? Setelah berpikir, Faniya akhirnya memilih berjalan keluar dari Bus. Berjalan tak tentu arah dari terminal, mungkin Faniya bisa mencari tumpangan gratis untuk pulang kembali ke desanya. Sebelum dia bertemu dengan Kayasaka atau orang-orang yang mengenalnya. Di lampu merah, Faniya langsung menyebrang, ta
Sudah tiga hari setelah Gladys berkunjung ke rumahnya. Setidaknya Naya tau kalau reaksi tubuh Arranaya menunjukan trauma saat berdekatan dengan wanita itu. Dan sudah tiga hari ini Naya coba mengatasi traumanya. Karena sejatinya pemilik tubuh ini sudah berganti, jadi seharusnya tidak sulit mengganti ingatan baru tentang Gladys dan tak menyimpan memori lama yang mungkin mengerikan. Dan tepat tiga hari yang lalu, dia juga sempat membuka buku diary yang Arranaya tinggalkan. Buku yang sempat hilang saat Arranaya kecelakaan bersama Louis malam itu. Dan baru tiga hari yang lalu Louis kembalikan padanya. Di sana tertulis, kalau selama ini Gladys memperlakukan Arranaya dengan sangat buruk. Gladys kerap menyiksanya dan tak segan melukai gadis lemah itu. Entah kenapa, membaca itu semua membuat Naya ikut emosi. Dia seolah bisa merasakan perasaan tertekan dan depresi yang Arranaya rasakan. Dan setelah mengetahui fakta itu, dendamnya terhadap Gladys kian membumbung tinggi. Rasanya, Naya punya
Ada yang bilang sejauh apapun jarak. Dua orang yang ditakdirkan akan tetap bertemu. Dan itu terjadi pada Faniya dan Emilio yang saat ini malah bertemu di tempat yang tak terduga, rumah sakit. Emilio niatnya hanya ingin mewakili keluarganya untuk meminta maaf atas kecerobohan sepupunya sendiri, Eland Fernandes. Lelaki itu bahkan belum 24 jam di sini dan dia sudah membuat masalah. Eland malah menabrak orang di hari pertama kepulangannya dari luar negeri. Tapi Emilio tak menyangka kalau gadis yang sepupunya tabrak adalah Faniya. Gadis yang merupakan mantan sekretaris Kayasaka. Emilio kenal gadis dengan mata coklat itu karena bisnis. Dulu mereka sering bertemu untuk membahas pekerjaan sebelum hubungannya dengan Kayasaka memburuk. Setelahnya, Emil tidak tau keberadaan Faniya dan bahkan hampir melupakannya. "Kakak kau mengenalnya?" Emily menanyai Emilio yang hanya diam terkejut. Begitu juga Faniya yang mulai menetralkan ekspresi wajah setelah tau kalau Eland--orang yang menabraknya a
"Nyonya akan pulang?" Tanya Lusi pelayannya, yang langsung mendapat anggukan dari Naya. Setelah Kayasaka pergi, kini Naya bersiap menunggu Louis menjemputnya untuk pulang sementara ke rumah. "Apa perlakuan kami kurang baik sehingga Nyonya memilih pulang?" Tanya Bibi Marry khawatir, kini datang ke kamar membantu Naya bersiap. "Tidak Bibi, tentu saja tidak. Kalian sudah sangat baik padaku. Mana mungkin aku kabur hanya karena tak menyukai kalian?" Naya tersenyum, berpikir kalau pertanyaan Bibi Marry itu ada-ada saja. "Aku hanya ingin mengambil barangku yang sepertinya tertinggal dan lupa aku bawa di sana." Alibinya berbohong, dia tentu hanya ingin memastikan reaksi tubuhnya terhadap Gladys. Kalau perlu, dia akan melakukan pembalasan langsung sekarang. "Baiklah, Nyonya. Hati-hati saya harap anda cepat kembali." Ucap Bibi Marry sesaat setelah Louis datang dan sudah memanggil dari lantai bawah. Naya mengangguk, meninggalkan Lusi dan Bibi Marry. Lalu pergi bersama Louis menuju ke ru
"Noona! Apa kau di rumah?" Zavier berteriak begitu memasuki Mansion mewah Kayasaka. Lelaki itu berteriak seolah itu adalah rumahnya sendiri. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya? Kayasaka sedang ada di kantor sekarang. Jadi Zavier tak perlu repot-repot menjaga kesopanannya di rumah ini. "Maaf Tuan muda, apa anda sedang mencari Nyonya?" Tanya Bibi Marry yang datang ke ruang tengah setelah mendengar teriakan Zavier. "Iya Bibi. Apa Noona-ku ada di rumah? Aku harus menyampaikan sesuatu yang penting untuknya." Kata Zavier antusias. Tadi setelah pulang dari rumah sakit, otak jeniusnya mendadak punya ide cermelang untuk menghadapi situasi krisis saat ini. Bagaimana dia harus memberitahu Kayasaka soal Faniya tanpa perlu menyakiti Naya. Bibi Marry menggeleng pelan. "Saat ini Nyonya pulang ke rumahnya Tuan muda. Apa mungkin pesannya boleh dititipkan pada Bibi saja?" Zavier mengerutkan alis, pulang? Apa Noona-nya itu sudah tidak betah tinggal di rumah ini setelah ada insiden pembunuh
"Noona benar-benar akan pulang?" Tanya Zavier masih tak mengerti. Setelah dia dan Emily saling mengejar di koridor keduanya kembali dengan Naya yang sudah sibuk berkemas. "Hm, iya." Jawab Naya tanpa ragu, dia melirik Kayasaka yang tadi marah karena tak rela ditinggal pergi olehnya. Semua bujuk rayu lelaki itu bahkan tak mempan pada Naya yang tetap ingin pulang. Naya sendiri bersikukuh pulang dan tak bisa tinggal lebih lama di sini, karena bagaimanapun dia tidak mau menghilang tepat di depan orang-orang yang dia sayangi. "Padahal Kakak juga pulang besok 'kan? Kenapa kak Naya tidak menginap saja?" Itu Emily, ikut memerotes keputusan Naya. "Aku harus pulang karena harus menyiapkan sesuatu Lily. Aku ingin menyiapkan untuk menyambut kepulangan kakakmu." Jawab Naya dengan kerlingan jahilnya. Bohong. Naya bahkan tak tau masih bisa melihat Kayasaka hingga besok pagi atau tidak. "Biarkan saja. Kakak iparmu memang keras kepala. Toh besok aku tak akan pulang." Kayasaka berkomentar k
"Jadi apa yang kau inginkan Naya? Misimu sudah berhasil dan Novelnya sudah selesai." Naya yang masih tak percaya ditarik ke dimensi aneh ini hanya diam. Wanita itu belum menjawab apa pun, dia hanya tertunduk sembari mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana dia menghadiri pemakaman Zavier. Iya, Zavier. Tumbal novel ini ternyata bukan Kayasaka tapi Zavier. Malam itu, saat Kayasaka kecelakaan, Naya langsung menghubungi Emily karena Kayasaka membutuhkan donor darah secepatnya. Emily yang sedang bersama Zavier langsung bergegas menuju rumah sakit. Tapi di jalan mereka berdua dijegat oleh orang-orang suruhan Amretha. Orang yang sama yang merusak mobil Kayasaka dan membuatnya kecelakaan. Di tengah kekalutan itu, Zavier tertembak dan motornya kecelakaan tapi Emily selamat. Naya yang was-was karena Emily tak kunjung datang untungnya mendapat bantuan dari Emilio dan Alares yang ternyata mau mendonorkan darahnya untuk Kayasaka. Setelahnya, Emily datang ke rumah sakit dengan ber
Pagi harinya, Naya, Kayasaka, Zavier dan Emily sudah sarapan bersama di meja makan. Setelah pertemuan mengharukan kedua adik kakak itu, semalamam Emily dan Kayasaka bercerita, entah untuk meluruskan kesalahpahaman atau mengenang kebersamaan mereka. Akhirnya, Zavier dan Emily memilih menginap malam itu. Sehingga pagi ini mereka bisa sarapan bersama. Sarapan sederhana yang Naya buat dengan senang hati. "Bagaimana Hyung? Kau bisa cuti satu hari ini 'kan?" Tanya Zavier sebelum menyendokkan penuh sereal coklat ke dalam mulutnya. Pemuda itu sekali lagi membahas rencananya untuk mengajak ketiga orang di sekitarnya ini untuk ke taman hiburan bersama. Katanya, untuk merayakan keutuhan keluarga ini. "Aku bisa, tapi tanya dulu pada Noonamu, apa kondisinya memungkinkan untuk pergi ke taman hiburan. Dia pasti kelelahan karena kegiatan kami malam tadi." Na
Zavier menarik topinya lebih dalam. Masuk ke area kafe yang lumayan ramai siang itu. Setelah suasana hatinya sedikit membaik, pemuda itu memutuskan untuk pergi ke kafe mencari makanan karena di apartemennya tak ada apa-apa selain air dingin.Biasanya, Zavier akan pergi ke mansion Kayasaka dan memakan masakan bibi Marry atau mencoba pasta dan kue buatan Naya. Tapi saat ini dia ingin menikmati kesendiriannya. Zavier sudah tak membenci Kayasaka tapi dia juga masih canggung jika harus langsung bertemu lelaki itu. "Apa yang ingin anda pesan?" Tanya pelayan yang menghampiri Zavier di mejanya. Zavier melihat menu di tangannya, ada deretan makanan yang terlihat enak di sana. Tapi tatapannya terpaku pada pasta yang mengingatkannya pada sosok Emily. Ingatannya menerawang jauh saat dia dan gadis itu tinggal bersama untuk beberapa hari. Zavier ingat pernah mencuri pasta yang dimasak gadis itu, juga mencuri rasa manis dari bibir ra
"Kayasaka," panggil Naya pelan, wanita itu berdiri ketika suaminya baru saja membuka pintu setelah dari ruangan rapat. Naya memang sudah menunggu Kayasaka sedari tadi. Setelah menjamu Emilio dan Alares sebentar, Naya langsung ke sini menemui Kayasaka yang sekali lagi terlihat berantakan. Bagaimana tidak, luka terbesarnya kembali. Siapa yang bisa baik-baik saja? "Aku tidak memintamu ke sini. Kau seharusnya beristirahat saja di rumah." Kayasaka berkata dingin, Naya tersenyum maklum.Dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, wanita itu menghampiri Kayasaka di kursi kerjanya. Naya berdiri di belakang suaminya itu, memeluk leher Kayasaka dari belakang, lalu mengelus pundak suaminya pelan, sembari menenggelamkan kepalanya di sana. "Yaya kalau marah memang selalu berubah jadi kulkas ya?" Tanya Naya jenaka berusaha mencairkan suasana. Melihat suaminya masih tak merespons membuat Naya semakin ingin berusaha.
Seorang pemuda masih meringkuk dalam selimut. Mengabaikan dering ponselnya. Zavier, pemuda itu bahkan enggan membuka gorden, dia hanya membiarkan dirinya meringkuk dalam gelap. Dia tak ingin menemui siapa pun. Dia tak ingin mendengar apapun. Kepalanya masih berdenyut sakit akibat pengakuan Kayasaka semalam. Fakta gila yang menyangkut orang tuanya juga masih tak bisa dia percaya. Kamarnya ini menjadi saksi betapa kacau dan hancurnya Zavier. Remuk, Zavier benar-benar tak berdaya. Matanya melirik botol wine yang kosong di ujung karpet, setelahnya netranya berpendar menyusuri figura foto yang sudah menjadi kepingan di lantai kamarnya. Semestanya benar-benar sedang berantakan. Begitu juga dengan seisi kamarnya. Drrrrttt ... drrrtttt ....Ponsel Zavier bergetar lagi. Kali ini pemuda itu bergerak melihatnya, dia yakin itu pesan dari Noonanya karena wanita itu memang tak henti-henti meneleponnya d
Naya membuka matanya, tersenyum mendapati Kayasaka masih terlelap sembari memeluknya. Lelaki itu terlihat sangat tampan bahkan saat memejamkan mata. Bulu matanya lentik untuk ukuran seorang pria. Sedangkan itu rahangnya tegas dengan hidung mancung dan alis yang lebat. Naya mencintai pria ini, sangat. Terlepas dari seberapa tampan ia atau sekelam apa masa lalunya. "Misimu ..." "Misimu ... " "Misimu Naya ... " Naya memejamkan matanya. Kepalanya mendadak sakit dan pusing, ditambah suara-suara aneh yang mulai berdengung di telinganya, semacam panggilan peringatan. "Ke sini ... " "Ke sini ... " "Akh!" Naya meringis ketika suara itu seolah menekan kepalanya. Membuat rasa sakit di sana semakin membuatnya merintih. Kayasaka terbangun karena pergerakan tak nyaman dari Naya. Melihat istrinya merintih kesa
"Jadi bagaimana semuanya dimulai?" Tanya Naya penasaran. "Apa kau tau ini tanggal berapa?" tanya Kayasaka balik, membuat Naya meraih ponsel di meja kecil yang ada di depan mereka. Tubuhnya syok kecil, saat ponselnya menunjukkan tanggal 14. "Jadi selama ini ... setiap tanggal 14 kau menyembunyikan ke datangan Amretha Fernandes ke rumah ini dari semua orang?" Kayasaka senang istrinya cepat tanggap, tapi bukan begitu awal mulanya. "Bukan dia. Lebih tepatnya, kedatangan lelaki brengsek yang jadi suaminya. Ayahku." Kening Naya berkedut tak mengerti, Kayasaka melanjutkan, "setiap tanggal 14 ayahku itu selalu datang ke rumah ini untuk memberikan uang supaya aku bisa bertahan hidup. Tapi dari setahun yang lalu dia tak pernah datang dan malah Amretha Fernandes yang selalu datang ke sini mencarinya. Kesimpulan yang bisa aku tarik, lelaki itu menghilang. Walaupun sedikit rumit berhadapan dengan Amretha Fenandes tapi aku bersyukur, aku tak perlu menemui lelaki brengsek itu lagi." Kata
Kayasaka menatap Naya yang tertidur dalam pelukannya. Setelah makan malam, wanita itu terlelap begitu saja sembari terus memeluknya. Kayasaka menarik tangannya perlahan. Turun dari kasur dan menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Naya mengulet sebentar sebelum tertidur lagi dengan mencari posisi nyaman yang baru. Kayasaka sendiri memerhatikan itu dan mulai beranjak pergi ke ruang kerjanya sendiri yang ada di sebelah kamar tidur luasnya. Kayasaka merogoh kunci, membuka nakas di bawah meja kerjanya. Lelaki itu mulai mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah dokumen. Dokumen-dokumen yang selama ini dia simpan dengan sangat rapat. Kedatangan Amretha Fernandes memaksanya untuk kembali teringat dokumen-dokumen lama itu. Dokumen yang menjadikan Kayasaka lelaki brengsek yang tak pantas mendapatkan sebuah pengampunan atau kata maaf. Kehidupan normalnya bersama Naya, sering kali membuatnya lupa kalau dia adalah monster penghancur. Monster yang bersedia melakukan apa pun agar am