Ilona menatap Bu Sari dengan penuh harap. Wanita tua itu sudah seperti ibu sendiri baginya. Dari awal, Bu Sari selalu menyambut mereka dengan hangat, membela Ilona dari gosip tetangga, dan bahkan merawat Yumi seperti cucunya sendiri. Jadi ketika mereka harus pindah, ada perasaan berat yang menggelayuti hati Ilona."Maafkan kami, Bu," ucap Ilona lirih.Bu Sari tersenyum lembut. "Ibu paham. Tapi kalau sudah pindah, sering-seringlah main ke sini, ya?"Ilona dan Egar mengangguk serempak. Mereka tentu tidak akan melupakan wanita baik hati itu. Namun, mereka juga sadar bahwa tidak mungkin selamanya tinggal di rumah kontrakan ini. Mereka butuh tempat tinggal yang bisa menjadi milik mereka sendiri, tempat yang akan menemani mereka hingga masa depan.Namun, keesokan paginya, sebelum mereka sempat mencari lokasi untuk membangun rumah baru, Bu Sari datang membawa kabar mengejutkan."Ibu pikir-pikir, lebih baik rumah ini dijual saja ke kalian," katanya tenang.Ilona dan Egar saling berpandangan
“Ilona, kami tidak menyangka loh kamu ini memanfaatkan bu Sari yang sudah tua agar menjual rumahnya. Kamu tega sekali sih seperti ini, padahal beliau sangat baik sama kamu,” ujar salah satu tetangga, Bi Asih, saat Ilona sedang membeli sayur pagi ini di lapar mamang sayur.Ilona berdiri kaku di depan lapak sayur, tangan gemetar saat meraih tomat yang hendak dimasukkannya ke dalam kantong. Tuduhan Bi Asih menusuk hatinya seperti pisau tajam. Ia tidak pernah memanfaatkan Bu Sari, apalagi sampai merayunya agar menjual rumah dengan harga murah."Apa maksudnya, Bi?" tanya Ilona dengan suara bergetar, meski ia berusaha tetap tenang.Bi Asih melipat tangannya di dada. "Kamu merayu Bu Sari agar menjual rumah dengan harga murah, kualat loh sama orang tua yang sudah baik sama kamu. Kalau bukan karena Bu Sari, mungk
“Bu, sudahlah bukan salah Mila.”“Pasti karena dia!”Udara masih terasa dingin, tetapi suasana di depan lapak mamang sayur sudah menghangat oleh perdebatan yang baru saja terjadi. Ilona menghela napas panjang, lalu mendekat dan memeluk Bu Sari dengan erat. Wanita tua itu masih terlihat marah, tapi perlahan genggaman tangannya yang menegang mulai melemah."Bu, sudah. Jangan marahi Mila. Mungkin dia hanya tidak mau rumahnya dijual," ujar Ilona lembut, mencoba menenangkan Bu Sari.Mamang sayur yang sedari tadi menjadi saksi bisu hanya melanjutkan aktivitasnya, menata sayur-mayur yang mulai berkurang. Perdebatan antar ibu-ibu memang sudah menjadi pemandangan biasa baginya."Tidak bisa dibiarkan!" suara Bu
Ilona berdiri mematung, nafasnya tertahan di tenggorokan. Kata-kata Mila masih terngiang di kepalanya—pindah hari ini. Bagaimana mungkin? Rumah kontrakan yang baru bahkan belum siap, mereka belum menyepakati harga, apalagi sempat membersihkannya.Dan kalau harus pindah dengan membawa dua anak kecil, rasanya itu sangat sulit. Kasihan anak-anaknya akan terkena debu. Dan apakah mereka harus mengungsi ke hotel?Ilona hanya bisa menghela nafas berat."Mila! Kau gila?" bentak Bu Sari dengan wajah memerah, tidak percaya dengan permintaan putrinya.Mila menatap tajam, kedua tangannya bersedekap. "Apa? Ibu tega mengatakan aku gila hanya karena wanita ini?! Ibu benar-benar sudah berubah!" tuduhnya dengan nada penuh emos
Mobil bak terbuka melaju pelan di jalanan berdebu, membawa Ilona dan anak-anaknya menuju tempat yang akan menjadi rumah mereka selanjutnya. Angin sore yang mulai sejuk menyapu wajah mereka, membuat rambut Yumi sedikit berantakan. Gadis kecil itu menatap Ilona dengan mata bulat penuh kebingungan.“Kita mau ke mana, Ma?” tanyanya polos, kedua tangannya memeluk boneka kelinci kesayangannya.“Kita akan ke rumah kita yang baru, Nak,” jawab Ilona dengan suara lembut.Yumi mengernyitkan kening. “Rumah baru?”“Iya, sayang.” Ilona mengusap kepala putrinya, berusaha memberikan ketenangan meskipun hatinya sendiri dipenuhi dengan berbagai perasaan.Di belakang mereka, Egar mengendarai motor
Senja merayap perlahan di langit, meninggalkan semburat jingga yang menghiasi cakrawala. Di teras rumah yang sederhana itu, dua sosok itu kini berdiri berhadapan—Bu Sari, wanita tua dengan tubuh ringkih, dan Mila yang tampak sedang menatap ibunya dengan sinis.Padahal Ilona sudah pergi, tapi Mila masih saja belum terima begitu saja. Dia belum puas, apalagi melihat ibunya yang tampak begitu bersedih atas kepindahan Ilona dan keluarganya.“Iya, aku kan anak yang Ibu buang,” kata Mila ketus, tangannya terlipat di depan dada, matanya tajam menatap ibunya.“Saat aku pergi, ibu gak sedih berlebihan seperti ini. Tapi, saat orang yang baru ibu kenal ibu sangat sedih. Bahkan kabarnya ibu selalu ajak anaknya main, menganggap anaknya itu sebagai cucu sendiri. Tapi, beda dengan anakku,” sambung Mil
Sementara itu, di rumah kontrakan yang baru keluarga Ilona dan Egar…Ilona menatap sekeliling ruangan dengan napas yang sedikit tersengal. Rumah baru mereka masih penuh dengan kardus dan koper, sebagian besar belum dibongkar.Namun, hal pertama yang ia pikirkan adalah memastikan kamar mereka siap untuk malam ini. Setidaknya, ia ingin Yumi dan Gana bisa tidur dengan nyaman. Dia mengeluarkan pakaian Yumi dan Gana di tempat yang mudah dijangkau. Karena, anak-anak pastinya akan lebih sering berganti pakaian.“Sayang, biarkan saja dulu. Pelan-pelan saja, jangan terlalu capek. Kamu harus istirahat,” suara Egar terdengar lembut dari belakangnya.Ilona mengangguk sambil mengusap keringat di pelipisnya. “Iya, ini cuma bersih-bersih sedikit untuk kamar. Da
Kring! Kring!Suara telepon yang berdering keras membuat Ilona buru-buru menghentikan aktivitasnya di dapur. Ia baru saja selesai menggoreng telur untuk Yumi ketika melihat layar ponselnya. Nama Bu Nining tertera di sana, salah satu tetangganya di rumah kontrakan yang lama.Hatinya mendadak berdebar. Apa yang terjadi? Kenapa pagi-pagi begini Bu Nining menelepon? Dan itu tidak biasanya, kemarin juga bu Nining sempat membantu Ilona beres-beres barang sebelum pindah dadakan itu."Assalamualaikum, Bu Nining," sapa Ilona begitu menggeser ikon hijau di layar.Namun, suara panik langsung menyambutnya. "Ilona, Bu Sari masuk rumah sakit!"Ilona nyar
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan