Sementara itu, di rumah kontrakan yang baru keluarga Ilona dan Egar…
Ilona menatap sekeliling ruangan dengan napas yang sedikit tersengal. Rumah baru mereka masih penuh dengan kardus dan koper, sebagian besar belum dibongkar.
Namun, hal pertama yang ia pikirkan adalah memastikan kamar mereka siap untuk malam ini. Setidaknya, ia ingin Yumi dan Gana bisa tidur dengan nyaman. Dia mengeluarkan pakaian Yumi dan Gana di tempat yang mudah dijangkau. Karena, anak-anak pastinya akan lebih sering berganti pakaian.
“Sayang, biarkan saja dulu. Pelan-pelan saja, jangan terlalu capek. Kamu harus istirahat,” suara Egar terdengar lembut dari belakangnya.
Ilona mengangguk sambil mengusap keringat di pelipisnya. “Iya, ini cuma bersih-bersih sedikit untuk kamar. Da
Kring! Kring!Suara telepon yang berdering keras membuat Ilona buru-buru menghentikan aktivitasnya di dapur. Ia baru saja selesai menggoreng telur untuk Yumi ketika melihat layar ponselnya. Nama Bu Nining tertera di sana, salah satu tetangganya di rumah kontrakan yang lama.Hatinya mendadak berdebar. Apa yang terjadi? Kenapa pagi-pagi begini Bu Nining menelepon? Dan itu tidak biasanya, kemarin juga bu Nining sempat membantu Ilona beres-beres barang sebelum pindah dadakan itu."Assalamualaikum, Bu Nining," sapa Ilona begitu menggeser ikon hijau di layar.Namun, suara panik langsung menyambutnya. "Ilona, Bu Sari masuk rumah sakit!"Ilona nyar
Ruangan perawatan Bu Sari terasa sunyi sesaat setelah Ilona muncul di depan pintu. Namun, ketegangan segera mencuat saat suara Mila yang nyaring memecah keheningan."Wah, anaknya sudah datang nih!" seru Mila dengan nada penuh sindiran.Ilona mengerutkan kening, dadanya bergetar menahan emosi yang sudah sejak tadi mendidih. Ia sudah mendengar cerita dari Egar tentang sikap Mila yang dingin terhadap kondisi ibunya. Namun, mendengarnya langsung seperti ini tetap saja membuat hatinya panas."Apa maksudmu, Mila?" tanyanya tajam.Mila menyilangkan tangan di dadanya, ekspresi di wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang jelas. "Ya jelas! Kau kan anaknya Ibu. Jadi seharusnya dari tadi pagi kau yang ada di sini, menjaganya!"Ilona mengg
Suasana di dalam ruangan perawatan Bu Sari masih dipenuhi keheningan setelah kepergian Mila. Wanita tua itu menatap kosong ke arah jendela, matanya redup seolah menahan sesuatu yang tak bisa diungkapkan."Dia pasti sudah pergi," gumamnya lirih.Namun, Ilona menggeleng. "Aku tidak yakin, Bu. Mila adalah anak Ibu. Semarah apa pun dia, pasti ada sedikit kekhawatiran dalam hatinya melihat kondisi Ibu."Bu Sari hanya terdiam. Dalam hatinya, ia berharap kata-kata Ilona benar. Namun, kenyataan selama ini membuatnya pesimis. Mila telah lama berubah, dan entah kenapa kebencian itu semakin membesar sejak kehadiran Ilona.Ilona menghela nafas panjang. "Aku akan menyusulnya, Bu."Bu Sari menoleh dengan raut cemas. "Biarkan saja."
Ilona bergegas masuk ke ruang perawatan, napasnya memburu. Kegelisahan mengguncang hatinya saat melihat perawat dan dokter bergerak cepat di sekitar ranjang Bu Sari."Apa yang terjadi, Pak?" tanyanya panik pada Pak RT yang berdiri di dekat pintu."Entahlah, tiba-tiba nafasnya sesak!" jawab Pak RT dengan wajah penuh kecemasan.Ilona merasa tubuhnya melemah. Ia ingin mendekat, ingin melihat keadaan Bu Sari lebih jelas, tetapi langkahnya terhenti ketika suara dingin Mila menyelusup ke telinganya."Kau tidak boleh masuk lagi!" kata Mila, matanya menatap tajam ke arah Ilona."Mila!" bentak Pak RT, tak percaya dengan sikap wanita itu.Namun, Mila hanya mengangkat bahu dan melangkah masu
Umur memang tidak bisa ditebak. Saat waktunya tiba, tak ada seorangpun yang mampu menghindar.Di kamar yang temaram, Ilona duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam erat sebuah cincin emas kecil di tangannya. Cincin itu adalah pemberian terakhir dari Bu Sari untuk Yumi—kenang-kenangan yang kini terasa begitu berat untuk disimpan.Air mata kembali mengalir di pipinya. “Sayang, nenek sudah meninggal,” bisiknya lirih kepada Yumi yang sedang terlelap. Ia tak ingin membangunkan putrinya, tetapi rasa sesak di dadanya tak bisa ia redam.Kesedihan yang melanda begitu mendalam. Ilona teringat bagaimana dulu ia kehilangan ibu angkat yang telah merawatnya sejak kecil. Rasa kehilangan itu seperti menghantamnya lagi, mengoyak luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Namun kini, setidaknya ia tidak sendirian.
Ilona duduk diam di samping jenazah Bu Sari. Wajah wanita tua itu tampak damai di bawah kain putih yang menutupinya. Ilona ingin mengingatnya seperti ini, wajah lembut penuh kasih yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat.Ilona masih teringat saat kemarin di rumah sakit, bu Sari menggenggam tangannya erat. Mungkin itu adalah sebuah firasat dari beliau yang akan pergi untuk selama-lamanya.Di pangkuannya, Yumi menggeliat kecil, lalu mendongak dengan mata polosnya yang penuh rasa ingin tahu."Mama, nenek kenapa?" tanyanya lirih. Matanya terus menatap wajah bu Sari, mungkin dia heran, mengapa neneknya hanya diam dan memejamkan matanya, sedangkan banyak sekali orang yang mengelilinginya.Ilona menarik napas panjang, lalu mengusap lembut rambut anaknya. "Nenek sudah meni
Sejak kematian Bu Sari, Ilona tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Mila pun tampaknya lega dengan kepergiannya. Bagi Mila, Ilona hanyalah bayangan dari masa lalu yang tidak ingin lagi ia lihat.Hari terus berlalu. Ilona dan Egar menjalani hidup mereka dengan penuh perjuangan. Hingga akhirnya, setelah enam bulan berjuang, mereka bisa memiliki rumah sendiri.Rumah yang mereka bangun, akhirnya selesai. Sesuai dengan hunian impian Ilona, dia akan menjadikan rumah itu menjadi tempat ternyaman dan surga untuk keluarga kecilnya.Egar menatap Ilona dengan penuh kasih, tangannya menggenggam erat jemari sang istri. "Sayang, akhirnya kita bisa pindah ke rumah kita sendiri," ucapnya, senyum lembut menghiasi wajahnya.Ilona tersenyum, ada rasa bangga di hatinya, akhirnya
Mila duduk di sudut ruangan yang gelap, lututnya ditarik hingga menyentuh dadanya. Tatapannya kosong, bibirnya terus bergetar seolah menggumam sesuatu yang tak bisa dipahami siapa pun. Ilona menatapnya dengan perasaan campur aduk—sedih, kasihan, dan juga heran."Sayang, kita bawa ke rumah sakit aja," ujar Egar pelan, suaranya penuh keprihatinan.Ilona menoleh ke arah suaminya, kemudian kembali memandang Mila. Meski kondisinya sudah separah ini, Mila tetap saja membencinya. Ia bahkan langsung mengusir Ilona begitu mengenalinya. Padahal, tidak ada lagi orang yang peduli padanya selain Ilona sendiri.Semua tetangga sudah kewalahan menghadapinya, menurut tetangga, Mila bukan hanya berdiam diri di dalam rumah. Dia mengganggu tetangga, berteriak-teriak di halaman."Sehar
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan