Siang itu, Kalen tengah fokus menelaah laporan di ruang kerjanya ketika pintu diketuk pelan. Ia mengangkat kepala dan berseru, “Masuk.”Pintu terbuka, dan seorang pria paruh baya masuk dengan langkah ragu. Matanya menatap Kalen penuh haru dan keraguan. Kalen sempat terdiam beberapa detik.Ia mengenali wajah itu—meski sudah lebih tua dan ditelan waktu. Itu adalah Evan, ayah kandungnya, yang sudah belasan tahun tak pernah lagi muncul dalam hidupnya.Kalen segera berdiri. Namun tak ada pelukan, tak ada sapaan emosional. Hanya tatapan tenang dan senyum kecil yang susah ditebak.“Apa kabar, Pa?” tanya Kalen dengan suara tenang. Terlalu tenang untuk pertemuan sebesar ini.Evan menelan ludahnya pelan, lalu menghampiri Kalen. “Aku… baik, Nak. Dan kau? Aku dengar banyak hal buruk menimpamu.”Kalen mengangguk, masih tersenyum samar. “Aku baik-baik saja. Aku bisa melewati semuanya.”Evan menghela napas berat. Ia duduk di kursi di depan meja Kalen, lalu menunduk sejenak.“Kalen,” ucapnya kemudian
Langit sore itu cerah, menyambut acara yang sudah lama dipersiapkan dengan penuh cinta.Sebuah ballroom mewah di hotel bintang lima dipenuhi balon-balon berwarna biru dan putih, dengan dekorasi bertema langit dan awan yang manis.Di tengah ruangan, sebuah panggung kecil dihias dengan foto-foto Melvin sejak bayi hingga kini berusia satu tahun. Musik lembut mengalun, membuat suasana menjadi hangat dan penuh kebahagiaan.Para tamu undangan berdatangan satu per satu. Beberapa di antaranya adalah rekan bisnis Kalen, para pengusaha ternama yang membawa serta keluarga mereka.Mereka menghampiri Melvin yang digendong Nadya, memberi ucapan selamat dan hadiah-hadiah mewah. Melvin tertawa-tawa dengan polosnya, seolah menikmati perhatian yang tercurah untuknya hari itu.Tak lama kemudian, Kalen melihat sosok yang tak asing memasuki ruangan.Evan, bersama istrinya Amanda dan putri mereka, Ansley, yang kini berusia tujuh belas tahun, turut hadir. Mereka membawa sebuah kotak kado besar yang dibalut
Setelah pesta ulang tahun Melvin yang meriah berakhir, malam pun turun dengan tenang. Nadya dan Kalen baru saja tiba di rumah setelah menempuh perjalanan singkat dari hotel.Meski lelah, wajah mereka masih menyimpan sisa kebahagiaan dari acara yang berlangsung begitu indah.Melvin sudah tertidur pulas di kamar, kelelahan setelah dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.Di ruang keluarga yang tenang dan temaram, Nadya duduk di samping Kalen di sofa. Ia menggenggam sesuatu di pangkuannya—sebuah album foto yang baru saja ia siapkan selama berminggu-minggu.“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” ucap Nadya pelan.Kalen menoleh, memandangnya dengan alis terangkat. “Apa itu?”Nadya menyerahkan album foto berwarna biru langit dengan sampul lembut berukir nama Melvin.“Berikan ini pada Melvin nanti… saat dia sudah cukup dewasa. Mungkin saat usianya sepuluh tahun. Aku ingin dia tahu kebenaran.”Kalen menatap album itu dalam diam. Jari-jarinya menyentuh permukaannya dengan hati-hati,
Pagi itu, Kalen tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen di ruang kerjanya yang sepi.Jemarinya menari di atas papan ketik, suara ketikan bergema di ruangan yang hanya ditemani denting jam dinding dan dengung lembut AC.Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Ferdy, mertuanya, masuk dengan langkah berat. Wajahnya tegang, matanya menyimpan kabar yang tak mudah disampaikan.“Kalen,” panggil Ferdy pelan.Kalen mendongak. “Pa?” Ia tersenyum tipis, lalu kembali pada dokumennya. “Ada apa, Pa?”Ferdy menarik napas dalam-dalam. “Aku harus memberitahumu sesuatu.”Kalen menghentikan ketikannya, menoleh. Sorot mata Ferdy membuatnya langsung merasa tidak enak.“Nala… ibumu… dia meninggal,” ucap Ferdy dengan nada pelan.Kalen terdiam. Kedua matanya membeku, wajahnya tak menampilkan ekspresi apa pun, tapi tubuhnya jelas menegang.“Kenapa… dia meninggal?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Kecelakaan?”Ferdy menggeleng perlahan. “Bunuh diri. Di sel. Polisi baru mengabariku beberapa menit sebelum Nala dinya
Usia Melvin sudah menginjak dua tahun. Malam ini, sebuah pesta ulang tahun mewah digelar di halaman belakang rumah keluarga kecil itu.Lampu-lampu gantung berkelip lembut di antara ranting pohon, dekorasi balon warna pastel menghiasi tiap sudut, dan meja panjang penuh makanan tampak ramai oleh para tamu undangan yang tertawa dan berbincang hangat.Namun, pesta ini bukan hanya sekadar perayaan ulang tahun Melvin. Ada satu hal lain yang diam-diam membuat malam ini begitu berarti bagi Nadya, sang ibu: Melvin telah resmi berhenti menyusu.Sebuah tonggak penting dalam perjalanan keibuannya, dan secara emosional, itu terasa seperti naik satu anak tangga menuju kematangan sebagai seorang ibu.Di tengah tawa para tamu dan denting musik yang lembut dari pengeras suara, Nadya duduk di meja makan utama, berdampingan dengan sang suami, Kalen.Wajahnya bersinar dalam balutan gaun hijau toska yang sederhana namun anggun, rambutnya disanggul rapi, dan di tangannya segelas jus jeruk dingin yang tampa
“Siapa yang mengira jika jodoh Amora adalah John? Dan sekarang, mereka sudah memiliki anak perempuan yang sangat cantik.”Suara riang Shopia memecah suasana sore yang hangat di ruang keluarga itu. Nada suaranya penuh semangat, seperti tak percaya pada kisah cinta yang baru saja terukir di antara mereka.Matanya berbinar, seolah masih menyimpan rasa takjub yang belum juga pudar.Shopia tak henti-hentinya mengoceh tentang Amora dan John yang tiba-tiba menikah dan kini telah dikaruniai seorang anak perempuan.Lahir tiga bulan lalu, bayi kecil itu membawa kehangatan baru dalam lingkaran keluarga mereka, membuat semua orang tercengang bukan main.Seperti cerita yang muncul tiba-tiba dari buku dongeng yang tak pernah mereka duga akan menjadi nyata.Amora menerbitkan cengiran sembari menggendong putri kecilnya yang sedang terlelap, wajah mungil itu bersandar di bahunya dengan damai.Sentuhan tangan Amora pada punggung bayinya terlihat begitu lembut, penuh kasih.“Aku pun tidak menyangka jika
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan