"Apa?" Mata Kalen membola, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu, John? Kenapa… Rania tahu semuanya?" tanyanya dengan suara bergetar, kebingungan terpancar di raut wajahnya.John menatapnya lekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya tenang tapi penuh makna. "Rania bukan perempuan polos, Kalen. Dia tahu bahwa kau masih mencintai Nadya."Pernyataan itu menghantam Kalen seperti pukulan telak. Ia menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak.Matanya kosong, pikirannya mendadak buntu, dan tangannya yang mengepal mulai gemetar.John melanjutkan dengan nada serius, "Selama ini, Rania diam-diam mencari tahu tentang pernikahan Nadya, bahkan membuntuti Jonathan. Dia ingin memastikan dugaannya benar—dan ternyata memang benar. Rumah tangga Nadya dan Jonathan tidak baik."Kalen mendongakkan kepalanya, menatap John dengan tatapan yang meminta penjelasan lebih lanjut."Rania berhasil membongkar perselingkuhan Jonathan dengan mantan kekasihnya. Jonathan tida
"Hi, Ma."Suara Kalen terdengar tenang, tapi ada ketegangan yang tersembunyi di dalamnya saat ia melangkah memasuki rumah Eliza.Ia berjalan mendekati ibunya dan duduk di hadapan wanita paruh baya itu, yang kini menatapnya dengan sorot mata tajam namun penuh kasih.Eliza mengulas senyum tipis, seperti sudah bisa menebak alasan kedatangan putranya kali ini."Ada apa, Kalen?" tanyanya, suaranya lembut namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.Kalen menatap ibunya, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak bisa ia bendung lebih lama lagi.Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya gelisah sejak ia berbicara dengan John."Kau pasti tahu semuanya, kan? Tentang Rania dan Nadya."Eliza diam, tapi Kalen bisa melihat perubahan di wajahnya."John sudah memberitahu sebagian padaku," lanjutnya, suaranya melemah, penuh dengan kegelisahan. "Dan aku ingin tahu sebagian lagi darimu. Tolong beritahu aku, Ma. Aku mohon."Ia hampir seperti memohon. Kalen tidak suka berada dalam pos
"Aku rasa begitu," ucap Eliza dengan nada berat, menatap putranya yang semakin terkejut dan marah."Mereka berdebat cukup sengit, bahkan Jonathan mengancam akan membunuh Rania jika dia berani menyebarkan berita perselingkuhannya ke media."Kalen memejamkan matanya erat, rahangnya mengeras, dan tangan yang mengepal semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih.Ada bara api yang menyala di dadanya, amarah yang tak tertahankan.Ingin rasanya ia menggeser rahang Jonathan hingga pria itu merasakan penderitaan yang sama seperti Rania—membayar lunas dengan nyawanya sendiri."Bajingan itu…," gumamnya dengan suara serak, matanya penuh dengan kobaran emosi yang hampir meledak.Eliza memandangnya dengan tenang, seolah memahami betapa hancurnya perasaan putranya saat ini."Sebaiknya kau temui dulu orang itu, Kalen. Dia adalah saksi kunci untuk mengembalikan kepercayaanmu pada Nadya."Kalen perlahan mengangkat kepalanya, matanya masih merah karena amarah yang membara.Namun, mendengar nama Nadya,
“Sebenarnya aku ingin. Tapi, aku tidak tahu dengan Nadya." Kalen menghela napas panjang, seolah ada beban berat yang tak terlihat, menggantung di dadanya."Bahkan hingga saat ini dia masih menganggap bahwa dia hanya pengasuh dan ibu susu Melvin, tidak lebih dari itu." Suaranya melemah, nyaris tenggelam dalam rasa frustasi yang semakin menyesakkan.Eliza menaikkan alisnya, menatap putranya dengan tajam. "Jadi, kalian masih saling memendam perasaan masing-masing?" tanyanya dengan nada datar, tetapi penuh penekanan.Kalen mengangguk perlahan, matanya menerawang ke arah jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Aku tidak yakin Nadya mau kembali padaku, Ma. Nadya terlihat masih tidak bisa membuka hati untukku."Eliza menghela napasnya, melihat putranya yang begitu tersiksa dalam ketidakpastian. "Kau belum bertanya, tapi sudah menyerah duluan. Perjuangkan kalau kau masih ingin kembali padanya, bukannya malah berhenti berharap dan membiarkan perasaan kalian terombang-ambing seperti ini.
Dua hari setelahnya, Kalen akhirnya berhasil menemukan kantor milik Robert. Bangunan megah dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya sore itu terasa begitu dingin di matanya. Bukan karena arsitekturnya, tetapi karena apa yang akan ia hadapi di dalam sana.Dengan langkah mantap, Kalen memasuki lobi dan berbicara dengan sekretaris Robert. Setelah konfirmasi, ia langsung diizinkan masuk ke dalam ruangan pria itu. Detik-detik menuju pertemuan ini terasa berat, tapi Kalen sudah bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.Ketika pintu terbuka, Robert sudah berdiri di balik meja kerjanya, menatapnya dengan sorot mata tajam.Pria itu tampak sedikit berbeda dari yang Kalen bayangkan—tidak segarang bayangannya, tetapi tetap memiliki aura dominan yang sulit diabaikan.“Dengan Kalen?” tanya Robert, lalu mengulurkan tangannya.Kalen menjabat tangan itu dengan erat. “Ya, aku Kalen. Salam kenal, Robert.”Robert mengulas senyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Senang bertemu denganmu, Kalen
“Sudah selesai bertemu dengan Robert-nya?”Suara Julian terdengar ringan, tetapi ada ketertarikan yang jelas dalam nada bicaranya saat ia melihat Kalen akhirnya duduk di sampingnya di sebuah bar kecil yang tak jauh dari kantor mereka.Udara malam bercampur dengan aroma alkohol dan asap rokok yang tipis, menciptakan suasana yang kontras dengan beban berat yang masih menggelayuti pikiran Kalen.Tanpa menjawab, Kalen meraih gelas whisky milik Julian, menyesapnya perlahan sebelum akhirnya mengangguk. “Sudah,” ucapnya pendek, matanya menatap kosong ke depan, seakan masih terjebak dalam percakapan yang baru saja ia lalui dengan Robert.Julian mengangkat alis, menunggu kelanjutan ceritanya.Kalen akhirnya bersuara, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan kepedihan yang terpendam. “Robert dijebak oleh keluarga angkatnya sendiri. Mereka menjanjikan akan menikahkannya dengan putri satu-satunya mereka, tapi ada perjanjian tak tertulis yang membuatnya harus merelakan nama baiknya tercoreng.”J
Kalen akhirnya kembali ke rumah setelah lebih dari dua jam bercengkerama dengan Julian dan John.Meskipun pada akhirnya, mereka tidak benar-benar memberikan solusi yang pasti, setidaknya mereka membantunya melihat segalanya dengan lebih jernih.Namun tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sebuah perasaan yang tidak kunjung hilang sejak pertemuannya dengan Robert.Saat ia membuka pintu, aroma masakan yang sedap langsung menyambutnya. Keakraban itu terasa begitu hangat, membuat jantungnya berdetak lebih tenang.“Hi, Kalen. Kau sudah kembali?” suara lembut Nadya menyapa, membuatnya menoleh. Wanita itu berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan apron dengan tangan yang sedikit berlumur tepung.Ada senyum lembut di wajahnya, tapi matanya masih menyimpan kehati-hatian yang belum benar-benar hilang.“Bagaimana perjalanan bisnisnya? Lancar?” lanjut Nadya, melangkah mendekat dengan tatapan penuh ketulusan.Kalen tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Ya, berjalan dengan lancar,” ucapny
Yunani.Udara pantai yang hangat menyambut kedatangan mereka di negeri para dewa ini.Kalen dan Nadya baru saja tiba di tempat yang telah lama menjadi impian Nadya—sebuah impian yang ia simpan bahkan sejak mereka masih bersama dulu, lalu hancur berantakan saat mereka berpisah.Kini, mereka kembali berdiri berdampingan, seperti mengulang kisah yang dulu sempat terhenti di tengah jalan.Nadya berdiri di balkon vila mereka, membiarkan angin laut membelai lembut wajahnya. Pandangannya terpaku pada hamparan laut biru yang membentang luas di hadapannya.Ombak bergulung perlahan, menyentuh garis pantai berpasir putih dengan irama yang menenangkan."Woah! Ternyata tempat ini memang sangat indah," ucapnya dengan mata berbinar, seolah tidak percaya bahwa ia benar-benar berada di sini.Kalen tersenyum kecil, matanya menatap Nadya dengan penuh ketulusan.Ia sengaja memesan vila yang berhadapan langsung dengan pantai, agar wanita itu bisa menikmati keindahan alam setiap kali membuka mata."Bagaima
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan