Jonathan menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak, Nala. Ini bukan kesalahan yang bisa dimaafkan begitu saja. Kalen telah mempermalukan aku, merusak reputasiku, dan membuangku seperti sampah.”Sorot mata Jonathan semakin kelam. “Sekarang giliranku yang akan membuangnya ke jurang kehancuran.”Nala merasakan tubuhnya melemas. Ia gemetar, matanya mulai memanas karena ketakutan yang begitu besar menyelimuti dirinya.“Tidak! Jangan lakukan ini, Jonathan! Aku tidak bisa membiarkan kau menghancurkan anakku!” suaranya bergetar, hampir menangis.Jonathan hanya menatapnya dengan tatapan dingin. “Salahkan saja Nadya.”Nala terperanjat. “Apa?”“Wanita itu pembawa sial dalam hidup Kalen.” Jonathan menyeringai. “Kalau saja dia tidak kembali dalam hidupnya, aku mungkin tidak akan sekejam ini. Dia melakukan itu karena Nadya.”Nala memejamkan matanya erat, mengutuk keberadaan Nadya dalam hati. Ia menggertakkan giginya sebelum membuka mata kembali.“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini.” Nala berb
Pagi yang seharusnya berjalan seperti biasa berubah menjadi bencana bagi Kalen. Langkahnya tergesa-gesa menuju kantor setelah menerima telepon dari Gery, asistennya. Suaranya di telepon terdengar panik, dan Kalen tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.Begitu memasuki ruang kerjanya, Gery sudah berdiri menunggunya di depan pintu dengan wajah cemas."Apa yang terjadi?" tanya Kalen, suaranya tegang.Gery menelan ludah sebelum menjawab, "Database kita tiba-tiba hilang, Tuan. Saya sudah mencoba mengaksesnya berkali-kali, tapi semuanya kosong."Mata Kalen membola. Tanpa membuang waktu, ia segera duduk di depan komputer dan menyalakannya.Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, mencoba membuka folder tempat mereka menyimpan seluruh proyek penting. Namun, kenyataan pahit menamparnya—semuanya hilang. Bersih tanpa jejak."Sial!" Kalen mengumpat, tangannya menjambak rambutnya sendiri.Napasnya memburu saat dia kembali mengetik, mencoba berbagai cara untuk memulihkan data yang hilang. "Ini tid
Satu minggu telah berlalu.Nadya menggigit jarinya, berdiri di ambang pintu rumah dengan gelisah. Sudah tujuh hari Kalen tidak pulang, tidak ada kabar selain berita yang terus memberitakan kejatuhan saham KL’s Group.“Kau tidak mau pulang lagi, Kalen? Sudah satu minggu ini kau tidak ada kabar. Aku mencemaskanmu di sana.”Hatinya berdegup kencang, pikirannya kalut. Ia tak habis pikir bagaimana seseorang tega melakukan ini pada Kalen. Peretasan ini benar-benar menghancurkan segalanya dalam sekejap.Ia menatap ponselnya, layar penuh dengan berita yang terus mengabarkan penurunan saham KL’s Group. Sejak peretasan itu terjadi, saham perusahaan merosot tajam. Beberapa investor menarik diri, membuat situasi semakin buruk.“Astaga! Saham KL’s Group kian anjlok setiap harinya,” gumamnya dengan tangan gemetar.Nadya tahu betapa keras Kalen bekerja selama ini untuk membangun bisnisnya. Selama setahun terakhir, perusahaan itu berkembang pesat, menjadi salah satu yang terkuat di industrinya. Dan k
Suasana di ruang rapat terasa begitu tegang. Beberapa klien duduk dengan ekspresi serius, menunggu penjelasan dari Kalen dan tim hukumnya. Mereka merasa dirugikan akibat masalah yang sedang menimpa perusahaan Kalen.Kalen duduk di ujung meja panjang, ditemani Ferdy di sebelah kanannya serta beberapa kuasa hukum yang siap membantunya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memulai pembicaraan.“Terima kasih telah datang ke sini. Saya tahu situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan dan ketidaknyamanan bagi Anda semua,” kata Kalen dengan suara tegas namun tetap tenang.Seorang klien bernama Leonard menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Kalen tajam. “Bukan hanya ketidaknyamanan, Tuan Kalen. Kami mengalami kerugian besar. Pembatalan kontrak secara mendadak dan serentak seperti ini membuat bisnis kami kacau. Bagaimana Anda menjelaskan ini?”Kalen menatap mereka satu per satu sebelum menjawab. “Saya ingin menegaskan bahwa saya tidak pernah melakukan pembatalan kontrak secara mendadak. S
Malam itu, suara tawa kecil Melvin memenuhi ruang tamu. Nadya duduk di lantai, tersenyum lebar ketika melihat bayinya yang baru saja mulai belajar merangkak.Matanya berbinar penuh kebahagiaan, merasa bangga karena Melvin semakin tumbuh besar dan sehat.Di balik pintu, Kalen berdiri memandang pemandangan itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.Dua minggu penuh ia habiskan untuk mengurus perusahaannya, berusaha menyelesaikan kekacauan yang ditimbulkan oleh peretas sialan itu. Kini, akhirnya, ia bisa pulang.Wajahnya tampak berantakan—kumis dan jenggot sudah mulai tumbuh tipis, menandakan betapa kerasnya ia bekerja tanpa sempat memikirkan dirinya sendiri.Namun, semua rasa lelah itu seolah lenyap saat melihat keluarga kecilnya ada di sana, menunggunya pulang.“Nadya...” panggilnya lirih.Nadya menoleh dengan cepat, matanya langsung membulat saat melihat Kalen berdiri di sana. Tanpa berpikir panjang, ia langsung bangkit dan berlari ke arahnya.“Kalen!”Begitu sampai, Nadya langsung me
Pagi itu, Kalen baru saja selesai menyesap kopi hitamnya ketika ponselnya berdering. Nama Ferdy tertera di layar. Ia segera mengangkat panggilan itu.“Ada kabar, Pa?” tanya Kalen tanpa basa-basi.Di seberang sana, suara Ferdy terdengar berat. “Aku baru saja mendapat laporan dari Robin. Hacker yang menyerang perusahaanmu ini bukan orang sembarangan. Sistem keamanannya sangat kuat, bahkan Robin pun kesulitan melacaknya.”Kalen memijat keningnya dan menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela. “Aku sudah menduganya. Aku yakin orang yang melakukan ini adalah Jonathan. Dia pasti ingin balas dendam karena aku telah memasukkannya ke penjara.”“Tapi kau tidak punya bukti kuat, bukan?” sahut Ferdy, menebak pikiran Kalen.“Sayangnya, tidak,” Kalen mengakui dengan suara pelan.Keheningan menyelimuti percakapan mereka untuk beberapa saat. Lalu, terdengar suara tuts keyboard d
Di dalam ruangan yang penuh dengan layar monitor menyala, suasana tegang menyelimuti setiap orang yang ada di sana. Jonathan berdiri dengan wajah merah padam, kedua tangannya mengepal di atas meja kayu yang baru saja ia gebrak dengan penuh amarah.Napasnya memburu, dan matanya menatap tajam ke arah salah satu anak buahnya yang berdiri gemetar di hadapannya."APA KAU TIDAK MENGHAPUS PERMANEN DATA ITU?!" Jonathan menggeram, suaranya bergemuruh memenuhi ruangan.Pria di depannya menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. "S-sudah, Tuan Jonathan... Saya sudah menghapus semuanya, tak tersisa satu pun..."Jonathan menyipitkan mata. "Lalu kenapa Kalen berhasil mengakses data itu lagi?!" bentaknya lebih keras, tangannya hampir saja menggapai kerah baju pria itu.Pria itu hanya terdiam, tak sanggup berkata-kata. Ia sendiri sebenarnya tahu penyebabnya, namun jika ia mengungkapkannya, Jonathan pasti akan semakin marah kepadanya.Suasana hening sejenak, hingga suara lain terdengar dari sudut ruangan
"Jadi, Jonathan yang telah meretas data di perusahaanmu?" tanya Nadya, suaranya sarat dengan keterkejutan.Mata Nadya terpaku pada layar televisi di depannya. Wajah Jonathan terpampang jelas di sana, mengenakan seragam tahanan oranye dengan tangan terborgol. Berita tentang penangkapannya memenuhi layar, sementara suara reporter mengiringi tayangan itu.Kalen yang duduk di sampingnya mengangguk pelan. Matanya tajam menatap layar televisi, seolah memastikan bahwa Jonathan benar-benar telah tertangkap."Aku sudah mencurigainya sejak lama," ucapnya akhirnya. "Aku tahu dia punya motif untuk menghancurkanku. Aku sendiri yang membuatnya membenciku."Nadya mengalihkan pandangannya dari layar televisi ke wajah Kalen yang tegang. "Kau sengaja?" tanyanya, bingung.Kalen mengangguk lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam. "Aku ingin dia lengah. Aku ingin dia berpikir bahwa dia bisa menang, bahwa dia bisa menjatuhkanku. Tapi aku selalu selangkah lebih maju darinya."Nadya menelan ludah.
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan