Nadya hanya bisa menatap Kalen yang terus merintih lirih, bibirnya bergetar saat menyebut nama Rania dalam kepedihan yang mendalam. Ada kesedihan yang begitu pekat dalam suaranya, seperti jeritan seorang pria yang kehilangan separuh jiwanya dan kini hanya terombang-ambing dalam kehampaan."Aku tidak sempat meminta maaf padanya," bisiknya, nyaris seperti angin yang berhembus di malam sunyi.Nadya merasakan hatinya mencelos. Ia bisa merasakan beratnya beban yang mengungkung pria itu, rasa bersalah yang tak kunjung sirna dan terus menggerogoti jiwanya. Tanpa berpikir panjang, Nadya menarik tangan Kalen, lalu membawanya ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Kalen bersandar di dadanya, tangannya perlahan mengusap punggung pria itu dengan lembut, mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya."Kau bisa meminta maaf besok ke makam Rania, kalau memang rasa bersalah itu terus menghantuimu," ucap Nadya, suaranya selembut angin yang berusaha menenangkan lautan yang bergelombang.Heni
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Kalen membuka matanya.Seketika, sensasi nyeri menusuk kepalanya seperti ribuan jarum yang menekan pelipisnya. Ia mendesis pelan, memijat keningnya dengan frustasi."Ah! Lagi-lagi mabuk berlebihan," keluhnya, suara seraknya terdengar memenuhi ruangan yang masih remang-remang.Namun, bukan hanya rasa sakit di kepala yang kini menyergapnya. Ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai kembali, membuat tubuhnya seketika menegang.Ia terperanjat.Mata Kalen membelalak saat kesadaran menghantamnya seperti gelombang pasang yang datang tiba-tiba."Astaga! Apa yang telah kulakukan?"Dengan panik, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, jari-jarinya dengan cepat menelusuri aplikasi CCTV yang terhubung dengan kamera keamanan di rumahnya.Ia menahan napas, jantungnya berdegup kencang saat mulai memutar rekaman dari semalam.Gambar pertama yang muncul adalah dirinya sendiri, duduk di meja bar dapur, menenggak satu botol wine sendiri
“Kau yakin, Kalen?” tanya Nadya dengan nada penuh keterkejutan. Matanya menatap lelaki itu dengan ekspresi ragu, seakan apa yang baru saja didengarnya hanyalah ilusi semata.Kalen mengangguk mantap, wajahnya tak menunjukkan keraguan sedikit pun. “Ya. Anggap saja ini permintaan maafku atas kesalahan semalam.”Ia menyelipkan tangannya ke dalam saku celana, lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam pekat yang tampak begitu eksklusif.Dengan gerakan tenang, ia menyodorkannya ke arah Nadya. “Pakailah. Gunakan ini untuk membeli keperluanmu, atau jika kau ingin membelikan sesuatu untuk Melvin, itu terserah padamu.”Mata Nadya membulat, mulutnya sedikit terbuka, nyaris menganga karena terkejut. Ada apa dengan Kalen pagi ini?Sikapnya terasa begitu aneh, jauh berbeda dari biasanya. Apakah kepalanya terbentur sesuatu saat mabuk semalam?“Tidak, Kalen. Tidak perlu—”Namun sebelum Nadya sempat menyelesaikan ucapannya, Kalen sudah lebih dulu meraih tangannya, lalu dengan lembut menaruh kartu i
“Apa yang membuatmu tidak yakin, Nadya?” tanya Shopia dengan nada lembut, namun penuh penekanan.Nadya menundukkan kepala, menatap ujung sepatunya seolah bisa menemukan jawaban di sana.Ia menelan salivanya perlahan, merasakan kegelisahan yang mengendap di dalam hatinya.“Banyak hal yang harus aku pertimbangkan, Shopia,” jawabnya lirih. “Dan aku tidak yakin Kalen mau kembali padaku. Harga diriku akan semakin rendah setelah ditolak olehnya nanti.”Shopia mendengus pelan, lalu terkekeh kecil. “Tapi, kau masih mencintainya, kan?” tanyanya, matanya berbinar penuh keyakinan.“Kau bahkan belum mencobanya, tapi sudah menyerah lebih dulu.” Ia menggeleng-gelengkan kepala, seolah tidak habis pikir dengan ketakutan Nadya.Kemudian, dengan nada lebih tajam, ia melanjutkan, “Apa kau ingin kehilangan Kalen untuk kedua kalinya, hm?”Nadya terdiam. Kata-kata itu menembus hatinya seperti sembilu yang menusuk tanpa ampun. Dadanya terasa sesak, bukan karena tidak memiliki jawaban, tetapi karena ia sendi
“Hai, Kalen!”Suara ceria itu membelah keheningan ruang tamu yang dipenuhi aroma kopi.Kalen, yang tengah duduk santai di sofa sembari membaca majalah bisnis edisi terbaru, mengangkat kepalanya.Matanya yang tajam menatap sosok yang baru saja datang dengan senyum ramah di wajahnya.“Hai, Amora. Kau sudah kembali?” ucap Kalen dengan nada datar, namun masih menyiratkan ketertarikan.Amora—gadis muda dengan rambut panjang yang tergerai lembut, mata penuh semangat, dan wajah yang sekilas mengingatkan pada sosok yang pernah sangat dicintai Kalen—menganggukkan kepalanya.“Ya,” jawabnya dengan nada ringan.“Kali ini aku benar-benar tinggal di sini, Kalen. Kuliahku sudah selesai, dan aku akan membuka usaha di sini.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya, mencerminkan kegembiraannya yang tulus.Kalen mengangguk-anggukkan kepala, tangannya tetap memegang majalah yang tadi ia baca. “Kau ingin bertemu dengan Melvin?” tanyanya kemudian. “Dia sedang tidur di kamarnya.”Amora menoleh sekilas ke arah
Amora menoleh cepat ke arah Shopia, lalu tatapannya beralih pada sosok wanita yang berdiri di samping sepupu Kalen itu.Matanya menyipit, meneliti dengan saksama seolah berusaha mengenali wajah yang terasa asing baginya.Namun, satu hal yang pasti—dia tahu siapa Shopia. Maka, wanita lain yang berdiri di sana pastilah seseorang yang selama ini merawat Melvin.“Ini Nadya. Ibu susu Melvin sekaligus pengasuhnya,” Kalen angkat bicara, memperkenalkan Nadya tanpa banyak basa-basi.Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat Amora terdiam sejenak.“Ibu… susu?” Amora mengulang kata-kata itu dengan nada terkejut. Alisnya sedikit berkerut, seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya.Nadya yang menyadari keterkejutan itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan dengan ramah.“Ya. Aku Nadya. Ibu susu Melvin. Senang bertemu denganmu,” ucapnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.Amora melirik tangan yang terulur itu. Sejenak ia
Uhuk! Uhuk!Nadya sontak tersedak minuman yang baru saja diteguknya. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Hah?” suaranya terdengar parau di antara batuknya yang belum mereda.Ia segera menoleh ke arah Kalen yang hanya menatapnya datar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Shopia, berharap itu hanya gurauan belaka.Tapi melihat ekspresi tenang Shopia, Nadya sadar bahwa itu adalah kenyataan yang harus diterimanya.“Apa kau… menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian, seolah tak yakin ingin mendengar jawabannya.Kalen, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh dan menatap lurus ke dalam mata Nadya. “Menurutmu?” tanyanya balik dengan nada yang sulit diartikan.Nadya mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu… karena itu terserah padamu,” jawabnya dengan santai, meskipun hatinya terasa aneh setelah mengucapkannya.Shopia yang menyaksikan interaksi keduanya hanya bisa menepuk dahinya pelan.Sementara Kalen mendengkus kecil lalu membuang m
Bar kecil itu dipenuhi suara dentingan gelas dan obrolan samar dari para pelanggan. Lampu redup temaram menciptakan suasana yang hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menguar dari sosok pria yang baru saja masuk.“Oh, Kalen. Apa yang membuatmu datang kemari?” Julian, yang tengah bersandar di balik meja bar, menatap pria itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia tak menyangka Kalen akan muncul di tempat ini, seorang diri, tanpa diundang.Kalen menghela napas kasar sebelum menjawab, “Aku butuh vodka sekarang.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, seolah-olah ia kelelahan, atau mungkin putus asa.Julian melirik John yang duduk di ujung bar, seakan meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya mengangkat bahu ringan. Tak ada yang tahu pasti apa yang tengah terjadi dengan Kalen.“Baiklah.” Julian menghela napas dan mengambil sebotol vodka dari rak. “Satu botol vodka untuk Kalen yang datang tanpa diundang.”Tanpa banyak basa-basi, Kalen meraih botol itu dan langsung meneg
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan