Belum juga Anita bangun, dia sudah mendapat pesan dari Wira untuk mengantar Jaya ke sekolah. Jaya tidak mau pergi, jika bukan Anita yang mengantarnya. Hal ini membuat Anita pusing berkeping-keping. Mana dia juga punya keponakan cantik yang harus diantar tiap pagi.
"Ya ampun, beban bertambah lagi." Umpat Anita yang merenungkan nasibnya.
Setelah selesai sarapan pagi bersama Lilis, Anita berangkat membawa Lilis ke sekolah. Namun dia singgah ke rumah Jaya terlebih dahulu untuk membawa anak itu juga. Lilis yang melihat aunty nya melewati jalan berbeda, mulai berkomentar.
"Aunty! Kau salah jalan!" Teriak Lilis dengan keras.
"Tidak, ini jalan yang benar." Balas Anita.
"Benarkah?" Lilis kebingungan dan semakin bingung setelah Anita berhenti di depan sebuah rumah megah. Anita turun dan membuka pagar sambil menarik Lilis.
"Aunty, kita mau merampok di rumah orang?" Tanya Lilis yang tidak mau berhenti berbicara.
"Aunty mau memperkenalkan kamu dengan teman baru." Ujar Anita tersenyum ramah. Kebetulan, keponakan cantiknya satu sekolah dengan Jaya, namun berbeda kelas. Jaya satu tahun lebih tua dari Lilis membuat kelas Jaya lebih tinggi dari Lilis.
"Teman?" Tanya Lilis kebingungan. Wajah polos anak kecil itu, terukir indah di wajahnya.
Setelah berhadapan dengan Jaya langsung, Lilis saling menatap dan tak berkedip menatap Jaya. Lilis menjadi heran, sejak kapan auntynya kenal dengan anak sombong ini. Pasalnya, Jaya dikenal tidak mau berteman di sekolahnya dan selalu dijaga oleh pengawalnya.
"Dia teman yang aunty maksud?" Tunjuk Lilis tidak percaya.
"Kenapa? Kau tidak suka? Jaya ini luar biasa dan tampan." Bujuk Anita melihat tatapan keponakannya jengkel seketika. Begitupun dengan Jaya, dia melipat kedua tangannya dan mengalihkan pandangannya sambil memasang wajah cemberut.
"Jaya, ada apa?" Tanya Wira yang selesai menelpon dan melihat tatapan marah anaknya.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?" Tunjuk Wira ke arah Anita.
"Apa? Aku? Aku tidak bersalah." Bela Anita yang disambut anggukan oleh Lilis.
"Aku tidak mau, mama punya anak selain Jaya. Titik!" Teriak Jaya yang menekan perkataannya. Dua orang dewasa, Wira dan Anita terkejut bukan main. Dia tidak menyangka, Jaya mengatakan hal seperti itu.
"Aunty, dia anak aunty? Aunty punya anak diluar nikah? Apa nenek tahu?" Tanya Lilis yang mengamati wajah Jaya dan Anita bergantian.
"Ya ampun! Aunty benar-benar..." Lilis seketika menutup mulutnya dengan memasang wajah terheran-heran. Dia tidak menyangka dan merasa syok mengetahui rahasia Anita.
"Anak kecil! Jangan berpikir macam-macam." Bisik Anita mengingatkan.
"Hei! Kau benar anaknya auntyku? Sejak kapan?" Tanya Lilis sambil menarik tangan Jaya untuk berhadapan dengannya.
"Sejak lahir, aku anaknya mama. Jangan pernah rebut mamaku! Jaya tidak suka!" Jawab Jaya yang berteriak keras.
"Wah! Berarti aku sudah punya keponakan? Bahkan, keponakanku jauh lebih tua dariku. Kau mau aku kenalkan pada nenek? Dia pasti sangat terkejut ketika melihatmu. Mungkin dia langsung terserang penyakit jantung." Ujar Lilis berterus terang.
"Lilis! Jaga mulutmu!" Bentak Anita, tetapi keponakannya sangat keras kepala. Dia menghiraukan perkataan Anita dan tetap menatap Jaya.
"Kau bisa tinggal dirumahku bersama aunty. Aku bisa minta pengampunan pada nenek agar dia memaafkan kesalahannya dimasa lalu." Ujar Lilis.
Wira terdiam sejenak, mencoba mendengarkan perkataan keponakan Anita. Mata Jaya membulat saat tahu anaknya diajak tinggal dirumah pengasuh baru Jaya. Wira bahkan belum kenal betul, siapa Anita. Kenapa anaknya bisa memanggilnya dengan sebutan mama secara tiba-tiba?
"Mohon maaf, menyela pembicaraan kalian. Tetapi, Jaya punya rumah lebih besar dari rumah nenekmu. Jaya tidak akan tinggal dirumah orang lain." Sahut Wira dengan senyum dipaksakan.
"Kau pikir, aku juga mau melakukannya?" Bisik Anita sambil menaikkan alisnya.
"Aku mau kok, Pa! Aku harus tinggal dirumah mama, karena dia mamaku!" Ujar Jaya dengan riang. Dia menarik tangan Anita dan mengusapnya dengan lembut.
"Apa?" Wira dan Anita terkejut setengah mati. Dia tidak tahu jarus berkata apa. Tubuh mereka mematung dalam sekejap. Apa yang terjadi?
Sepulang sekolah, Anita masuk mengendap-endap ke rumahnya. Dia membawa Lilis dan Jaya bersamaan. Anita melarang mereka mengeluarkan suara dan berencana membiarkan Jaya tinggal dirumahnya tanpa sepengetahuan neneknya.
"Apa ini bukan rumah kita? Kenapa kita masuk seperti pencuri?" Tanya Jaya yang heran. Dia sedari tadi bingung melihat Anita waspada setiap kali berjalan.
"Husst! Kau tidak boleh berisik." Ucap Anita yang berbalik menghadap Jaya. Dia tidak seharusnya membawa anak itu ke rumahnya, tetapi dirinya sudah terlanjut mendapat pekerjaan sebagai ibu sambung Jaya. Jika berhenti mendadak, sayang gajinya yang nominalnya terlalu banyak untuk dirinya.
Anita menghela nafas lega saat berhasil masuk ke kamarnya. Dia mengunci pintu ketika Jaya dan Lilis tidak ketahuan. Anita lalu membuat janji dengan keponakannya yang punya mulut super cerewet agar tidak mengadu pada nenek.
"Tenang saja, aku orang yang selalu menepati janji. Lagian, aku tidak akan biarkan aunty di usir dari rumah ini karena punya anak diluar nikah." Jawab Lilis ketika ditanya untuk tetap diam.
"Apa nenekmu sangat kejam? Mamaku terlihat sangat takut padanya?" Tanya Jaya yang melihat Anita selalu khawatir.
Anita berbaring, bersitirahat sejenak dan membiarkan dua anak itu berbincang. Anita akhirnya tertidur tanpa dia sadari. Jaya dan Lilis melihatnya, langsung menarik selimut dan membalut tubuh Anita.
"Kau mau menemui nenek?" Tanya Lilis seketika. Dia menarik tangan Jaya bahkan sebelum Jaya merespon.
"Nenek! Nenek! Aunty punya anak diluar nikah!" Teriak Lilis yang berlari menuruni tangga. Jaya hanya diam.
Tidak lama, nenek Anita benar keluar dari kamarnya. Dia bingung melihat anak asing di belakang Lilis. Dengan cepat, Nenek Anita meraih tangan Jaya dan membawa anak itu duduk di sofa.
"Dia temanmu?" Tanya nenek Anita yang melihat seragam sekolah Jaya sama dengan seragam Lilis.
"Nek, dia cucumu juga. Dia anaknya aunty!" Ujar Lilis memberitahu.
Awalnya, nenek Anita tidak percaya. Namun melihat keseriusan Jaya dan Lilis, nenek Anita mulai percaya. Dia mendatangi kamar Anita dan menendang pintu kamarnya hingga orang tidur itu terpaksa bangun dengan terkejut.
"Jaya, Lilis, apa yang kalian..." Barusaja Anita ingin menegur kedua anak itu, mengira mereka yang melakukannya, wajah neneknya berubah menyeramkan dan menatapnya dengan kuat seolah Anita adalah mangsa yang sempurna.
"Nenek? Itu benar nenek? Aku tidak bermimpi kan?" Ucap Anita yang mengucap matanya untuk memastikan.
"Oh, karena itu kau tidak mau menikah? Diam-diam punya anak diluar nikah. Siapa lagi nama ayahnya tadi? Wira? Wah, kau benar-benar Anita!" Bentak nenek Anita yang berlari menghampiri Cucunya. Anita segera menghindar dan berusaha membujuk neneknya.
"Itu tidak seperti dugaan, Nenek. Jangan dengarkan kata Lilis dan Jaya. Aku bisa jelaskan semuanya, asal nenek bisa tenang dulu!" Teriak Anita yang masih menghindar dari neneknya. Mereka berputar di dalam kamar dan saling mengejar.
Di ruang tamu, Nenek Anita menatap tiga orang di depannya dengan tatapan menusuk, termasuk Anita. Cucu yang selama ini dijaga baik malah pulang membawa anak."Berapa usiamu?" Tanya nenek Anita menunjuk Jaya."Sepuluh tahun," jawab Jaya singkat sambil mengibas senyum manisnya."Ayahmu?""Aku tidak punya ayah, hanya papa yang menjagaku selama ini." "Umur papamu!" Teriak nenek Anita yang masih kesal dengan Anita. Amarahnya belum mereda."Papaku berumur sekitar empat puluh tahunan. Apa nenek mau bicara dengan papaku? Aku bisa menghubunginya," ujar Jaya menarik ponselnya dari saku celana."Tidak perlu, aku tidak tertarik. Papamu jauh lebih tua dari cucuku, bagaimana bisa.." Nenek Anita memegang kepalanya yang terasa nyut-nyut menyelesaikan masalah cucu kesayangannya. Dengan menghela nafas perlahan, nenek Anita berusaha menenangkan dirinya."Ayahmu rupanya sudah tua," sahut nenek Anita dengan suara ditekan. Hatinya tidak bisa menerima, cucunya yang masih lajang dekat dengan seorang duda me
Satu keluarga besar berkumpul di rumah nenek Anita. Kakak Anita, Yuni ikut pulang menemui sepupu dan bibinya. Mereka memang selalu membuat acara berkumpul setelah tiga bulan."Bu, cucu tersayang ibu belum juga nikah? Apa takut menikah karena akan seperti kakaknya?" sahut Umi, menantu kedua nenek Rani yang angkuh dan sombong. Suaminya bekerja sebagai asisten kantor hingga mendapat gaji yang tinggi membuat harga dirinya juga tinggi."Apa maksud kamu? Kalau punya mulut dijaga dengan baik!" titah Nenek Anita melirik dengan tatapan sinis. Selalu saja berkata seperti itu ketika datang ke rumah mertuanya."Kau harus punya sopan santun ketika bertemu mertua. Bukan karena Anita trauma dengan kerusakan rumah tangga kakaknya, tetapi dia tidak laku. Tidak ada lelaki yang minat dengannya." ejek Sulis, bibi Anita yang selalu membanggakan dirinya."lihat anakku, dia sudah cantik, punya suami polisi lagi. Aduh, kalau dibandingkan dengan Anita, mana bisa mengalahkan anakku?" ucap Sulis menunjuk anakny
Setelah membawa Jaya ke rumah Wira untuk sementara, kini Anita dihakimi sepupu dan bibinya ketika kembali. Mereka dengan sengaja menunggu Anita di depan ruang tamu dan langsung menyinggung Anita terang-terangan."Ya ampun, sudah lelah cari uang, sudah lelah merepotkan keluarga, kini bermimpi jadi isteri sang dudu yang kaya. Kalau aku, jelas tidak mau beda usia kan mereka?!" tanya Anjar, sepupu Anita yang paling cerewet."Itu bukan cinta yang tumbuh, mata yang bersinar ketika melihat uang. Dari dulu, Anita itu mirip banget sama kakaknya. Mau juga berhubungan dengan orang lebih tua darinya, setelah diceraikan nanti, baru sadar diri!" tambah Umi yang sengaja mengeraskan suaranya.Anita membanting pintu, lalu masuk dengan tatapan tajam mengarah pada semua orang yang duduk di sofa. Tangan Anita pun terlipat di depan dada dengan angkuh."Lagi nggak ada pekerjaan, emak-emak?" tanya Anita menaikkan kakinya di atas meja membuat para bibinya terkejut."Kamu selalu kurang ajar, tidak punya sopan
Pagi sekali, Lilis selesai bersiap dengan pakaian olahraga. Dia ingin ikut dengan Anita dan Yuni yang akan pergi ke pusat olahraga. Hari ini, Anita libur bekerja. Anita hanya mengirim pesan pada Wira jika dirinya akan sibuk hari ini."Tante! Jaya ikut nggak?" tanya Lilis sambil berbisik. Lilis tahu, neneknya tidak suka jika nama Jaya di ucap."Nggak, nenek bisa jantungan nanti kalau kau terus membahas Jaya. Sudah, biarkan saja Jaya menghabiskan waktu bersama papa nya!" jawab Anita yang mengambil air minum di kulkas.Wajah Lilis langsung murung, kepalanya menunduk membuat Yuni heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa sayang?" tanya Yuni sambil berjongkok menyetarakan tinggi tubuh Lilis. Wajah sedih anaknya semakin terlihat jelas."Anak tante nggak ikut kita olahraga, nanti Lilis main sama siapa disana?" ucap Lilis membuat Yuni tercengang."Lilis tahu nggak? nenek tidak suka jika kita bahas Jaya. Kemarin saja, Anita ketahuan habis dari rumah Jaya, hari ini dilarang keluar. Andai bukan
Air mata Anita tidak hentinya mengalir, hatinya semakin sakit di usir oleh neneknya. Bahkan Anita belum menjelaskan pun, Neneknya sudah masuk dan mengunci pintu. Yuni masih setia menemani adiknya di depan rumah nenek Anita."Aku akan bicara dengan nenek, kamu tetap disini. Aku yakin, nenek hanya kesal saja!" ucap Yuni yang berniat masuk ke dalam rumah, namun tangannya di tahan oleh Anita."Nggak apa-apa, Kak. Lebih baik kakak tidak perlu ikut campur atau kakak juga bisa di usir. Apalagi, si setan masih ada di dalam rumah. Mereka pasti akan memanas-manasi nenek lagi." ujar Anita yang mengusap air matanya."Lalu, kau sekarang mau kemana?" tanya Yuni."Aku tidak punya tempat lain selain tinggal dengan Jaya." jawab Anita. Mata Yuni membulat, setelah adiknya di usir, Anita semakin menjadi-jadi."Kalau nenek tahu, dia akan semakin marah. Dia melarang kami berhubungan dengan keluarga Jaya!" teriak Yuni tidak percaya dengan pengakuan Anita. Tetapi Anita malah tersenyum."Aku akan buktikan, ap
Malam hari yang panjang, semuanya tampan berbeda bagi Wira. Pemandangan lain yang belum pernah terjadi, malah dilihatnya malam ini. Senyum Jaya tidak hentinya bersinar ketika bermain dengan Lilis dan Anita. Wira diam-diam memperhatikan mereka dari kamera cctv yang dia pasang di kamar Jaya."Mereka tampak seperti keluarga!" ucap Wira tersenyum sambil fokus memperhatikan laptopnya dimana wajah Anita dan Jaya tidak hentinya membuat matanya takjub."Lilis senang punya sepupu kaya Jaya. Lilis juga mau, Jaya selalu jadi anak aunty!" ucap Lilis yang melompat di kasur super king Jaya."Tentu saja, aku sudah bilang diriku ini akan selalu menjadi anak mama, benarkan Ma?" tanya Jaya menoleh ke arah Anita. Tatapan dua anak itu terlihat polos membuat Anita terpaksa menyetujuinya."Jadi, kapan aunty ku punya hubungan dengan papa tua itu? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya selama ini?" tanya Lilis dengan mulut ceplosnya."Sebelum aku lahir tentu saja, karena itu aku jadi lahir kan? kalau tid
Anita panik sambil mengawasi Jaya dan Wira yang terbaring di depannya. Ayah dan anak itu masih belum sadar, wajahnya pucat pasi membuat Anita tambah khawatir. Tidak berselang lama, dokter pribadi keluarga Wira datang ke kediaman Wira tengah malam dibantu asisten Wira. Anita pun di usir dari kamar Wira bersama Lilis."Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Anita menatap lekat asisten Wira yang berdiri di depan pintu kamar. Wajah yang tampak menyeramkan dan tubuh gagah itu menatap tajam ke arah Anita sambil melirik Lilis yang berada di pelukan Anita."Aku tidak bisa membicarakan masalah pribadi pak Wira kepada sembarang orang, yang jelas pak Wira dan Jaya sering mengalami hal seperti ini. Itu semua karena kenangan buruk yang belum hilang dari ingatan mereka!" ujar asisten Wira yang bernama Rafael. Anita bahkan tidak tahu, Rafael bukan sembarang asisten, Rafael juga termasuk sepupu Wira."Kau serius, Paman? Apa Jaya pernah mengalami kecelakaan sejak kecil membuatnya trauma?"
"Sayang, kau sudah membaik. Bolehkan mama pergi sebentar menjenguk keluarga mama?" tanya Anita meminta izin pada Jaya. Namun wajah ceria Jaya langsung menghilang dan dengan cepat melipat kedua tangannya sambil menggeleng kepalanya."Oh, No. Kenapa lagi anak tersayang mama?" tanya Anita sambil membungkukkan tubuhnya menyetarakan tinggi badan Jaya."Mama nggak akan pergi selama-lamanya kan? Jaya takut banget jika Jaya tidak bisa melihat mama lagi!" ujar Jaya dengan mata sendu.Wira yang baru turun, termenung sebentar melihat anaknya yang begitu sedih padahal Anita hanya ingin pergi sebentar saja."Ya ampun, lebay banget. Kamu itu harus kuat, anak lelaki kan?" sahut Lilis yang jenuh melihat akting dua orang di depannya."Ma, Jaya benar nggak kuat ditinggali mama. Jaya boleh ikut?" tanya Jaya sambil memohon."Jangan gitu dong, kamu aja ke sekolah nggak kenapa mau ikut-ikut? Lebih baik istirahat sana biar cepat sembuh!" ujar Lilis."Nah, anak mama harus dengar apa kata aunty Lilis. Cepat s
"Jaya! Jaya!" Panggil Anita di bawah. Jaya langsung menoleh dan menghentikan langkahnya menuju papanya. Buru-buru Wira menyembunyikan laptop itu di dalam kamar Lilis."Selamat!" ucap Wira dengan lega. Hal menakutkan di dunia ini tidak jadi datang.Setelah memastikan Jaya sudah tidak ada diluar, Wira segera pergi darisana sambil membawa laptop Jaya. Dia memperhatikan laptop Jaya yang sudah rusak."Ini tidak bisa di perbaiki lagi. Apa aku harus membeli yang baru? Tetapi, Jaya akan tahu jika laptopnya rusak," guman Wira yang di penuhi rasa bersalah."Pak Wira! Bagaimana keadaan sekarang, sudah aman?!" tanya Rafael yang masuk ke ruang kerja Wira setelah bersembunyi tadi."Dasar kamu!" Wira melempar buku ke arah Rafael, begitu kesal anak itu baru muncul sekarang setelah membuat kekacauan."Maaf, bukan aku yang salah." bela Rafael."Iya, bereskan masalah ini cepat sebelum Jaya menyadarinya. Dia selalu memeriksa barang-barangnya sebelum tidur." kata Wira yang khawatir."Bagaimana caranya? In
Ah.. Ah.. Ah..Teriakan Yuni dari dalam kamar membuat Anita dan Wira tampak ragu membuka pintu. Mereka takut melihat adegan yang terlarang."Ya, sepupumu rupanya mesum juga. Apa dia menggoda kakakku hingga mengambilnya?!" tanya Anita sambil melirik Wira dengan tatapan merendahkan."Sepupuku yang salah? Bukannya suara kurang mengenakkan itu dari mulut kakakmu? Berarti dia sangat menikmati permainan sepupuku!" ucap Wira membalas."Ya, kakakku janda yang harga dirinya lebih tinggi dari yang kau duga. Bukan hanya itu, selama ini kakakku sangat menjaga dirinya, pasti sepupumu itu yang menggoda kakakku lebih dulu!" tunjuk Anita dengan tajam."Kakakmu yang salah, kenapa membawa sepupuku. Aku yakin sekali dan menjamin Rafael bukan sembarang lelaki. Dia itu masih perjaka selama ini!" jelas Wira yang emosi."Apa?! Kau yakin Rafael masih perjaka? Tadi saja dia membawa bra wanita, sekarang mulai bertingkah pada kakakku. Dia juga sudah melepas status perjaka nya itu!" umpat Anita dengan keras.Wir
Jaya berlari menuruni tangga mencari Wira. Anak itu tampak memutar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari wajah tampan Wira."Papa! Gawat! Darurat!" Jaya berteriak keras agar Wira segera memunculkan dirinya di hadapan anaknya.Tidak butuh waktu lima menit, Wira datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik melihat keadaan anaknya."Jaya! Kau kenapa nak? Apa sesuatu terjadi padamu?!" tanya Wira sambil memeriksa tubuh Jaya."Baik saja, tetapi hati Jaya yang sakit, Pah!" rengek Jaya."Hati Jaya?!" Alis Wira terangkat, terheran-heran mendengar jawaban Jaya."Iya benar. Mama akan pergi berkencan, dia sampai berdandan sangat cantik. Bagaimana jika mama mendapat calon papa baru yang tajir dan tampan, lalu punya anak juga yang lebih menggemaskan dari Jaya? Jaya sangat khawatir karena itu, Papa harus menahan mama agar tidak berkencan dengan duda lain." Jelas Jaya mengutarakan isi hatinya."Apa yang kau bicarakan?!" "Papa mau kehilangan Jaya? Tidak kan, kalau begitu turuti perka
Baru pagi hari, dua pasang mata saling melotot. Terlebih, Anita melipat kedua tangannya tidak mau kalah dari Wira."Mungkin wajahmu tampak menyeramkan, tetapi aku tidak takut denganmu sama sekali!" ucap Anita penuh percaya diri."Cihh, dasar perawan tua! Apa kau tidak tahu kesalahan mu padaku, ha? Kau mengajari anakku hal yang tidak seharusnya dia lakukan!" Bentak Wira dengan suara lebih keras lagi dari Anita."Siapa yang mengajarinya!" Sifat emak-emak Anita mendadak muncul. Tangannya berpindah posisi ke pinggangnya."Aku dari tadi memberitahumu, aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin malam. Aku tidur nyenyak di dalam kamar. Mana aku tahu, Jaya membuat ulah!" teriak Anita lebih keras lagi membuat Wira segera menutup telinganya."Suaramu terlalu keras, telingaku terasa mau pecah!" balas Wira yang menjauh sedikit dari Anita."Iya, kamu jangan terus menyalahkan aku. Bukan aku yang menyuruh Jaya untuk melakukannya. Aku ini orang baik dan selalu mengajari Jaya hal yang baik seperti seoran
Dua orang memasang mata mereka di depan layar komputer Wira. Anita menepuk meja sambil menghela nafas panjang, belum bisa memecahkan kode yang dibuat Jaya."Kenapa ini sangat sulit?!" ucap Anita mengeluh."Iya, kau sendiri yang mengajari Jaya. Dulu, dia lebih nakal dari ini, sekarang masih bertambah. Ajari yang benar sebagai ibu angkat, kau bisa tidak mendapat gaji!" ucap Rafael mengancam Anita."Aku?!" Anita menunjuk dirinya sendiri."Iya, siapa lagi." jawab Rafael dengan suara meninggi. Wajah Jaya memerah, tidak suka mamanya di bentak. Jaya langsung menendang buaya darat Rafael membuat Rafael merintih kesakitan sambil memegang buayanya."Paman, berhenti memarahi mamaku. Aku bisa menghilangkan buaya mu nanti agar kau tidak bisa punya anak dan tidak bisa menikah!" balas Jaya mengejutkan Anita dan Wira."Jaya! Bersikap sopan!" sahut Wira menatap tajam anaknya."Sopan? Hei! Kau tidak memberi anakmu hukuman? Dia memukulku dan hampir merusak keturunanku!" teriak Rafael menunjuk Wira."Ka
"Ayah Lilis?!" Yuni kaget setengah mati, tubuhnya langsung membeku di tempatnya."Kalian tidak bercanda?!" Kini Anita maju dan memastikan ucapan Jaya."Jaya tidak mungkin bercanda, Ma. Orang itu sendiri mengaku jika dia, ayahnya lilis!" jelas Jaya.Pagi ini, kondisi di rumah Wira begitu ramai. Pasalnya, Jaya dan Lilis tidak ke sekolah karena hari libur membuat mereka banyak bermain di rumah. Namun, Jaya tiba-tiba menghampiri Anita yang sedang berbicara dengan Yuni dan memberitahu kejadian kemarin. Tentu saja, dua bersaudara itu syok setengah mati."Kenapa wajah kalian terkejut begitu? Apa dia bukan ayahnya Lilis?!" tanya Jaya memasang wajah polosnya."Jaya! Kemari sebentar!" panggil Wira yang baru bangun. Dia melambaikan tangan pada anaknya yang tidak jauh darinya."Ma, aku ke papa dulu. Setelah itu, Jaya akan kembali melapor, Oke?!" ucap Jaya dengan senyum manis sebelum berlari ke pelukan Wira.Setelah mereka berdua pergi, Yuni mulai memperlihatkan ketakutannya. Dia tidak menutupnya
"To too!" tunjuk Jaya memberi kode rahasia pada Lilis. Akhir ini, Jaya dan Lilis membuat bahasa baru jika mereka dalam keadaan tidak aman.Sama dengan hari ini, tiba-tiba seseorang datang dan mengaku sebagai ayah Lilis."To too?! (Siapa dia)" tanya Jaya kembali mengulang perkataannya. "Non too! (Aku juga tidak tahu!)" balas Lilis sambil menggeleng kepalanya."Lilis, kamu baik-baik saja, Nak? Apa keadaan kamu selama ini tidak aman? Katakan pada ayah, karena ayah akan membawamu pergi jauh dari sini!" ucap Lelaki yang berdiri di depan Lilis. Masker diwajahnya dia lepas demi menyakinkan anaknya."Paman, aku tidak boleh sembarang pergi dengan seseorang. Mamaku memberitahu aku hal itu." ucap Jaya sambil mendorong orang tak di kenal itu menjauhi Lilis."Benar, akhir ini banyak kasus penculikan anak di bawah umur." ujar Lilis menambahkan."Tunggu sebentar, aku akan beri bukti jika diriku ini benar ayah kamu!" ucapnya yang mencari sesuatu di sakunya.Namun, seorang guru melihat kejadian itu d
Keadaan Jaya sudah membaik total, Jaya pun mendapat izin kembali ke sekolah. Pagi itu, Rafael yang di utus untuk mengantar Jaya dan Lilis. Awalnya, Jaya tidak mau dan memberontak. Dia ingin Anita ikut mengantarnya. Dengan lembut, Anita membujuknya."Jaya sayang, jangan seperti ini. Dengarkan kata mama, kau tidak boleh memasang wajah cemberut. Berangkat bersama paman Rafael saja!" ujar Anita sambil mengusap dengan lembut rambut Jaya."Kenapa mama tidak mau mengantarku?!" tanya Jaya semakin marah."Ya, kau tidak boleh marah dengan aunty ku. Kalau aku mengambil aunty ku kembali, kau tidak akan punya mama lagi!" sahut Lilis yang jengkel melihat sikap manja Jaya."Mama ada urusan sebentar, setelah pulang nanti baru mama bisa jemput!" ucap Anita dengan ramah."Baiklah, tetapi janji!" Jaya mengajukan jari kelingkingnya, Anita segera menautkannya. Keadaan menjadi aman. Setelah mobil Jaya pergi, Anita buru-buru memesan taksi lalu pergi tanpa mengatakan apapun. Wira sedari tadi memperhatikan
"Kondisi Jaya sudah semakin membaik, tetapi dia tidak berhenti memanggil mamanya! Aku sarankan, Jaya segera bertemu dengan mamanya!" Pinta Dokter pribadi keluarga Wiratman.Wira bernafas lega, anaknya sudah baik-baik saja. Jaya juga sudah sadar. Wira masuk menemui Jaya dengan senyum mengembang. Tetapi anak lelaki itu memurungkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya menandakan dirinya sedang kesal. "Jaya! Kau...""Sebaiknya papa keluar! Jaya nggak suka papa yang selalu bentak Mama! Apa papa tahu, Jaya begitu senang mama kembali menemui Jaya. Tetapi, malam itu papa memarahi mama membuat Jaya jadi marah! Jaya benci papa!" Teriak Jaya dengan suara keras mengagetkan Wira."Jaya, waktu itu..." Saat Wira berniat menjelaskan pada anak yang lebih pintar darinya, kedua telinga Jaya di tutup rapat membuat Wira menghela nafas kasar. "Baiklah, istirahat saja disini. Papa akan belikan kamu makanan yang enak!" ujar Wira sambil menepuk kaki anaknya sebelum bangkit. Jaya buru-buru membersihkan be