"Bukannya kamu yang menyuruhku kembali dengan segudang anak buahmu yang mengintai setiap gerak-gerikku di rumah Vina?" katanya, suaranya penuh ketegasan.Noah terdiam. Kata-kata Jasmine seperti tamparan yang menyadarkannya akan sesuatu yang selama ini ia tolak untuk diakui, dialah yang sebenarnya ingin Jasmine kembali. Namun, egonya yang besar menutupinya dengan sikap dingin dan tuduhan-tuduhan tak berdasar.Jasmine menyadari perubahan ekspresi Noah dan memanfaatkan momen itu. "Jangan bertingkah seolah-olah aku ini yang tiba-tiba datang tanpa alasan. Kau yang memaksaku kembali, Noah," katanya, matanya menyala dengan kemarahan. "Tapi sekarang kau malah memperlakukanku seperti orang asing yang harus kau awasi setiap saat."Noah meremas kedua tangannya di saku celana, mencoba menahan dirinya untuk tidak terpancing. "Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," elaknya.Jasmine tertawa sinis. "Oh, begitu? Seperti di Simpang Jalan Arthaloka? Kau masih ingat, Noah? Saat kau
Sebelum Jasmine bisa bereaksi, bibirnya tiba-tiba dilumat dengan kasar. Noah mencium Jasmine tanpa peringatan, menyalurkan semua emosi yang terpendam dalam sentuhan yang menuntut. Jasmine tersentak, tubuhnya membeku seketika.Butuh beberapa detik bagi Jasmine untuk kembali ke kesadarannya. Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Noah hingga pria itu sedikit terhuyung ke belakang. "Pulang sana!" serunya, napasnya memburu karena kejadian barusan.Noah hanya menatapnya dengan sorot mata kelam, masih belum berkata apa-apa.Jasmine mengepalkan tangannya, masih merasakan sisa sensasi di bibirnya yang kini berdenyut perih."Kau hanya menjadi beban mentalku, Noah," katanya dengan suara bergetar karena marah dan frustasi. "Aku tidak mau membuat Kak Zora cemburu. Dia terlalu baik untukku."Mendengar itu, ekspresi Noah berubah. Matanya berkilat tajam, ada sesuatu di dalamnya yang tidak bisa dijelaskan, campuran antara kemarahan, luka, dan sesuatu yang lebih dalam lagi.Tapi dia tidak mengatakan
Ryan mengerutkan kening. "Istri? Maksudmu, Jasmine?"Jasmine berusaha menarik tangannya dari Noah, tetapi pria itu menggenggamnya semakin erat.Ryan yang sudah kehilangan kesabaran langsung melayangkan pukulan ke wajah Noah. "Kau pikir bisa seenaknya menarik wanita seperti itu?"Noah yang terkena pukulan mundur selangkah, tetapi dia tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia membalas pukulan Ryan, membuat suasana semakin panas.Jasmine panik melihat mereka mulai berkelahi. "Sudah cukup! Jangan pukul lagi! Dia suamiku!" teriaknya.Ryan yang mendengar itu langsung membeku di tempat.Matanya membulat, menatap Jasmine dengan ekspresi tak percaya. "Apa yang kau katakan, Jasmine?"Jasmine menggigit bibirnya, tidak bisa berkata apa-apa.Noah tidak memberi Ryan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Dengan wajah penuh amarah, dia menggenggam tangan Jasmine lebih erat, menyeretnya menuju mobil.Pintu mobil dibanting dengan kasar, dan dalam hitungan detik, Noah melaju kencang meninggalkan kampus.D
"Aku sudah katakan dari awal, jangan pernah tertarik padaku… dan jangan pernah mencoba mengumpanku." Setelah mengatakan itu, Noah akhirnya melepaskannya dan kembali duduk di kursinya, tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat.Jasmine masih terdiam, jantungnya belum juga kembali normal. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Suasana di dalam mobil menjadi hening.Jasmine masih bisa merasakan panas di wajahnya setelah ciuman yang baru saja terjadi. Hatinya berdegup tak menentu, tetapi Noah tetap diam, menatap lurus ke depan dengan ekspresi sulit ditebak.Namun, yang membuat Jasmine semakin cemas adalah fakta bahwa Noah tidak membawa mereka pulang ke Raflesia Hills.Sebaliknya, pria itu terus melajukan Bentley hitamnya, menyusuri jalanan sepi yang semakin lama semakin jauh dari kota."Ke mana kita pergi?" tanya Jasmine akhirnya, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun dadanya masih terasa sesak.Noah tidak menjawab. Mobil terus bergerak, memasuki area dengan deretan pepohonan pinus
Namun, tanpa Jasmine sadari, Noah terkekeh kecil melihat tingkahnya yang konyol.Tak lama, Noah mendekatinya, menggenggam tangannya, dan menariknya masuk ke dalam vila."Istirahatlah," kata Noah dengan nada datar. "Aku tidak ingin berdebat. Aku akan memesan makanan dan minuman untukmu. Kasihan bayiku nanti kelaparan."Langkah Jasmine langsung terhenti. "Bayiku?"Matanya membulat, menatap Noah yang tetap bersikap seolah kata-kata itu bukanlah sesuatu yang besar.Seketika, rasa senang muncul di hati Jasmine. "Jadi dia menyuruhku istirahat karena peduli?"Namun, sebelum senyum di wajahnya benar-benar terbentuk, realita langsung menghantamnya seperti batu bata."Ternyata bukan aku yang dia pedulikan, tapi bayi yang ada di perutku." Jasmine mengumpat pelan, wajahnya menunjukkan ekspresi antara kesal dan frustasi.Sementara itu, Noah hanya meliriknya sekilas sebelum berjalan menuju meja di sudut ruangan untuk memesan makanan.Jasmine berdecak kesal, lalu duduk di sofa dengan wajah cemberut.
Wanita itu jelas berusaha mendekatkan diri pada Noah, mencari kesempatan untuk berbicara atau bahkan menyentuhnya. Setiap kali Noah tertawa atau berbicara dengan seseorang, Vanesia selalu berusaha masuk ke dalam percakapan, seolah dia ingin memastikan dirinya tetap menjadi pusat perhatian Noah."Astaga, wanita ini benar-benar tak tahu malu," gumam Jasmine pelan, menusuk potongan daging steak di piringnya dengan garpu seolah itu wajah Vanesia.Namun, yang membuat hatinya semakin tidak nyaman adalah kenyataan bahwa Noah tidak benar-benar menolak interaksi itu."Dia menikmati ini?" pikirnya, cemburu mulai menguasai pikirannya meskipun Jasmine mencoba menyangkalnya.Jasmine menghela napas panjang, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan di sekelilingnya. Namun, pandangannya tetap kembali ke arah Noah dan Vanesia.Hingga akhirnya, dia tidak tahan lagi. Tanpa sadar, Jasmine bangkit dari duduknya, menaruh serbet di atas meja, dan melangkah cepat menuju lapangan golf.Seke
Jasmine membalas dengan tatapan tajam, matanya seakan mengatakan segalanya. "Aku tahu, tapi aku tidak akan membiarkan wanita itu berpikir lain.""Aku hanya merasa sedikit heran, kau tak pernah sekalipun menunjukkan sisi ini sebelumnya," ujar Noah, sedikit terkejut dengan ketegasan Jasmine yang semakin jelas.Jasmine menatapnya lama, memastikan kata-katanya diterima dengan tepat. "Aku tidak akan lagi membiarkan siapa pun menganggap aku lemah atau hanya sekadar istri di sampingmu, Noah. Aku lebih dari itu."Noah akhirnya mengangguk pelan, mengerti apa yang sedang disampaikan oleh Jasmine. "Aku paham, sayang," katanya, suaranya lebih dalam dan penuh makna.Tapi dibalik kata itu Noah mengirim pesan, Jasmine segera membukanya : ”Ingat ini hanya permainan, terimakasih telah membantuku untuk menolak secara halus. Setidaknya tuan Bulharm , tidak akan berani membawa putri sulungnya lagi sebagai umpan bisnis.”Jasmine tersenyum puas, merasa bahwa langkah pertamanya dalam "perang" ini telah berh
Wanita itu yang sejak tadi menatap dengan penuh kecemburuan, merasa terancam dengan kehadiran Jasmine yang begitu mencuri perhatian. Ketika melihat kesempatan, Vanesia berusaha mendekati Jasmine, membawa segelas minuman."Jasmine, coba minum ini. Minuman Velmoré Royal tahun 1987. Kualitas terbaik untuk acara seperti ini," kata Vanesia dengan senyum yang terkesan paksa.Namun, sebelum Jasmine sempat meraih gelas itu, Noah yang berada tidak jauh dari mereka langsung bergerak cepat. Dengan gesit, dia mengambil gelas dari tangan Vanesia, menjauhkan minuman itu dari Jasmine."Noah?" Jasmine terkejut melihat Noah tiba-tiba begitu sigap.Noah menatap Vanesia dengan tatapan tajam. "Jasmine tidak akan meminum ini. Velmoré Royal 1987 terlalu keras untuknya. Meskipun rasanya manis, kadar alkoholnya sangat tinggi," jelas Noah tegas, dengan sedikit nada waspada.Vanesia, yang merasa tersinggung dengan penolakan itu, menatap Noah dengan ekspresi marah, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia
Noah berdiri di ambang pintu kamar hotel, memandang ke arah Jasmine yang duduk diam di sudut tempat tidur. Posisi tubuh Jasmine sedikit membungkuk, matanya tertunduk, seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya keheningan yang mengisi ruangan.Langkah kaki Noah terasa berat ketika ia mendekati tempat tidur, perasaan ragu menggelayuti setiap gerakannya. Begitu dekat, ia perlahan berlutut di depan Jasmine, memegang kedua tangan Jasmine dengan hati-hati, seolah takut jika ia terlalu keras, semuanya akan hancur."Jasmine," suara Noah terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Aku sangat egois. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, tapi aku... Aku hanya takut."Jasmine tetap terdiam, tidak mengangkat wajahnya. Tidak ada reaksi dari dirinya. Hanya hening yang terasa semakin tebal di antara mereka. Noah merasa cemas, namun dia terus memegang tangan Jasmine dengan penuh harap, berharap wanita itu akan menatapnya, memberi ke
Suasan itu akhirnya mencair ketika Juan membuka suara.Juan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sepertinya aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjemput Jasmine. Aku hampir berpikir harus mengantarnya pulang sendiri."Nada suaranya terdengar santai, tapi Noah bisa merasakan sindiran halus di dalamnya.Noah tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak benar-benar hangat. "Terima kasih karena sudah menemani istriku, Juan. Tapi sekarang, dia akan pulang denganku."Jasmine bisa merasakan ketegangan di antara kedua pria itu. Ia tahu Noah sedang menahan diri.Jasmine pun buru-buru melangkah ke arah mobil dan membuka pintu. "Ayo pergi, Noah."Noah tidak langsung masuk. Ia masih menatap Juan sejenak sebelum akhirnya berkata,"Jangan mengganggunya lagi, Juan."Juan tersenyum tipis. "Aku tidak pernah mengganggunya. Aku hanya member
Jasmine mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Angin malam berhembus pelan, membuat lampu-lampu jalan berpendar lembut di kejauhan."Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya."Benarkah?" Juan menyipitkan matanya, seolah mencoba menembus kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata Jasmine. "Kalau kau baik-baik saja, kenapa aku merasa ada kesedihan di matamu?"Jasmine terkesiap. Kata-kata Juan begitu menusuk, seolah menggali sisi hatinya yang selamaini ia coba tutupi.Jasmine menghela napas dan menatap Juan dalam-dalam. "Aku hanya menjalani hidupku sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, Juan."Juan tersenyum miris. "Jadi kau benar-benar akan terus bersama Suamimu?"Jasmine menggigit bibirnya. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti.Juan mengejutkan di kalima
Jasmine kembali ke hotel sendirian. Langkahnya terasa ringan di luar, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah kenapa, mendengar Noah akan menemui Zora membuatnya sedikit tidak nyaman.Ia duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya di cermin. Tangannya mengusap perutnya yang mulai membesar. "Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh. Seperti yang Noah bilang, kita hanya terikat dalam kontrak."Tapi... benarkah hanya kontrak?Sementara itu, di tempat lain, Noah tiba di apartemen Zora. Wanita itu sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi serius. Sebotol wine terbuka di meja, tapi gelas di depannya masih penuh. Sepertinya, ini bukan pertemuan biasa."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Noah langsung.Zora menatapnya dengan mata tajam. "Kau mulai berubah, Noah."Noah menyandarkan punggungnya, ekspresinya tetap datar. "Aku tidak mengerti maksu
”Bagaimana Noah kenapa kau diam? Apakah aku juga orang asing bagimu?” ulang Jasmine, menatap Noah tajam.Noah menoleh padanya, menatapnya dengan intens. Lalu, senyum kesal tersungging di bibirnya. Jasmine tahu dia sengaja mengumpan Noah untuk bertindak, dan pria itu akhirnya menanggapinya."Awalnya, aku tidak suka keberadaanmu," aku Noah, dengan jujur. "Tapi ternyata kamu berbeda."Tanpa peringatan, Noah mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Jasmine singkat, membuatnya terkejut.August yang melihat itu langsung tertawa. "Wow, wow. Apa aku harus pergi agar kalian bisa menikmati waktu berdua?" godanya.Jasmine hanya bisa menunduk, sementara Noah kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai, seolah tidak terjadi apa-apa.Tapi dalam hatinya, Jasmine tahu... ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka. Sesuatu
August mengeluarkan sebotol wine terbaiknya dari rak kayu di sudut ruangan. Ia tersenyum sambil menunjukkan botol itu ke arah Jasmine."Sebagai tamu kehormatan, kau harus mencoba ini, Jasmine. Ini koleksi spesialku, hanya aku sajikan untuk orang-orang yang berarti bagiku," katanya dengan bangga.Jasmine tersenyum sopan, tapi sebelum ia sempat menolak, Noah dengan cepat mengangkat tangan, menghentikan August."Dia tidak bisa minum, August," suara Noah terdengar tegas. "Jasmine sedang hamil. Saat ini sudah di bulan ke 5."August mengerutkan kening, lalu tatapannya bergeser pada Jasmine sebelum kembali menatap Noah dengan ekspresi penuh pemahaman."Begitu rupanya," gumam August sambil mengembalikan wine itu ke tempatnya. "Baiklah, aku akan membuatkan sesuatu yang lebih cocok untuk ibu hamil. Jus segar dan beberapa makanan ringan. Aku tahu wanita hamil sering merasa lapar, apalagi ji
Jasmine menatap takjub ke arah meja yang dipenuhi berbagai hidangan laut. Aroma gurihnya begitu menggoda, dan tampilan setiap hidangan tampak begitu menggugah selera.Matanya berbinar saat ia menoleh ke arah August. "Ini semua terlihat luar biasa. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Bisa kau jelaskan satu per satu?" tanyanya antusias.August tertawa kecil sebelum mulai menunjuk ke beberapa hidangan di hadapannya. "Ini adalah grilled lobster dengan saus lemon butter, yang di sebelahnya itu paella seafood khas Mediterranean. Lalu, ada king crab dengan saus pedas, dan ini hidangan spesialku, scallop dengan saus krim truffle."Jasmine mengangguk penuh kagum. "Semuanya terlihat lezat," gumamnya.Noah yang duduk di sampingnya tersenyum tipis. "Daripada hanya mengagumi, lebih baik kau langsung mencicipinya."Tanpa ragu, Jasmine mulai mencicipi satu per satu. Setiap gigitan terasa begi
Jasmine menatap Noah dengan serius, suaranya tegas, tidak menyisakan ruang untuk perdebatan."Ingat, Noah Dirgantara. Aku tidak ingin mengambil posisi Zora. Aku hanya ingin kita menikmati kebersamaan ini selama kita masih terikat dalam kontrak. Jika kau melakukan hal yang tidak kusukai terhadap Zora, jangan salahkan aku jika aku akan meninggalkanmu selamanya."Noah menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit ditebak. Matanya yang tajam seperti meneliti setiap sudut wajah Jasmine, seolah mencari celah untuk membantah. Namun, akhirnya, ia menghela napas panjang dan mengangguk."Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu. Sampai bayi kita lahir, kita akan kembali ke kehidupan semula, sesuai perjanjian. Soal takdir setelahnya, itu urusan nanti."Jasmine tersenyum kecil, merasa lega dengan jawaban itu. Ia tahu Noah bukan tipe pria yang mudah menurut, tetapi setidaknya kali ini, ia berhasil m
Mata Noah menajam. Ia tahu ada sesuatu di balik ucapan Jasmine. “Jasmine… apa yang Zora katakan padamu?”Jasmine tidak menjawab. Sebaliknya, ia menarik selimut dan membenamkan wajahnya di dalamnya. “Tidak ada.”Namun, Noah tidak akan membiarkan itu berlalu begitu saja. Ia menarik tubuh Jasmine ke dalam pelukannya, memaksanya menatap matanya. “Zora mengancammu?”Jasmine masih terdiam, tetapi Noah tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya.’Pria itu mengepalkan tangan. Rasa marah mulai membakar dadanya. Jika Zora berani menyentuh Jasmine atau bayinya, ia tidak akan tinggal diam.Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Jasmine lebih dulu berbisik, “Noah… jangan lakukan sesuatu yang bodoh…”Noah menatapnya dalam, lalu menghela napas. Ia tahu bahwa Jasmine takut.Deng