Jasmine menatap Juan dengan perasaan campur aduk. Sudah lama ia tidak melihat pria itu, dan kini ia berdiri di depan pintu rumah ini, rumah yang bukan benar-benar miliknya, dalam kehidupan yang tidak benar-benar ia inginkan.“Juan?” Jasmine mengerjap, suaranya terdengar lebih seperti bisikan.Juan tersenyum miring, berjalan mendekat dengan langkah santai. “Kau terlihat terkejut.”“Tentu saja,” Jasmine bangkit dari kursinya, tatapannya penuh pertanyaan. “Apa yang kau lakukan di sini?”Juan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku kebetulan ada urusan di kota ini dan berpikir untuk mampir. Kudengar banyak hal terjadi padamu, Jas.”Jasmine menggigit bibir bawahnya, merasa tidak nyaman dengan tatapan pria itu. “Aku baik-baik saja.”Juan mengangkat alisnya. “Benarkah?” Matanya menelisik ke arah sekeliling ruangan, seolah ingin menilai sendiri kebenaran kata-kata Jasmine. “Kau tidak terlihat seperti seseorang yang baik-baik saja.”Jasmine mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya,
Noah menarik tubuh Jasmine mendekat, bibirnya menekan lembut tetapi penuh emosi di atas bibir Jasmine.Jasmine ingin menolak, tetapi tubuhnya membeku, tangannya masih terkunci dalam genggaman kuat pria itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kejutan, tetapi juga karena kebingungan yang melanda hatinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Noah akhirnya melepaskan genggamannya dan menatapnya dalam-dalam. "Jangan biarkan dia datang lagi," suaranya dalam, nyaris seperti bisikan yang berat.Jasmine menggigit bibirnya, menahan ribuan kata yang ingin ia ucapkan. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Noah sudah melangkah pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi yang semakin dalam.***Hari-hari berlalu dengan cepat. Kehamilan Jasmine memasuki bulan ketujuh, perutnya semakin membesar, tetapi pikirannya justru semakin kacau.Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena kehamilannya tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di antara dirinya, Noah, dan Zo
Satu minggu telah berlalu sejak Jasmine melahirkan, tetapi dia masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa nyeri, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia harus menyerahkan anaknya sendiri kepada Zora.Dia tahu sejak awal bahwa ini akan terjadi, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan hati seorang ibu untuk perpisahan semacam ini. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat Dursilla menggendong bayi itu dengan penuh kebanggaan, tidak menyadari bahwa bayi itu bukanlah anak Zora.“Anak ini benar-benar mukjizat,” ucap Dursilla dengan suara bahagia. “Aku tahu Zora akan berhasil memberikan keturunan untuk keluarga Dirgantara.”Jasmine mengepalkan selimutnya erat-erat. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin berteriak bahwa itu adalah darah dagingnya sendiri, tetapi dia hanya bisa menahan air matanya. Ini bagian dari kesepakatan. Dia sudah menandatangani kontrak ini sejak awal.“Kau lihat, Jasmine?” Zora menyeringai sambil menepuk lengan Jasmine dengan
Jasmine duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sudah beberapa hari sejak ia melahirkan, dan dalam beberapa jam lagi, ia akan meninggalkan tempat ini. Seharusnya ini adalah momen di mana seorang ibu membawa pulang bayinya, tapi bagi Jasmine, ini adalah momen di mana ia harus benar-benar melepaskan.Pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. “Nona Jasmine, ini dokumen kepulangan Anda. Anda sudah diperbolehkan pulang hari ini.”Jasmine mengambil dokumen itu dengan tangan gemetar. Ia mengangguk, berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa remuk. “Terima kasih.”Begitu perawat keluar, pintu kembali terbuka. Kali ini, Zora masuk dengan ekspresi puas. “Waktunya pergi, Jasmine.”Jasmine menarik napas panjang. “Aku tahu.”Zora tersenyum sinis. “Jangan terlalu sedih. Aku akan menjaga bayi
Jasmine menggenggam erat mantel di tubuhnya, menatap kosong ke arah rumah besar keluarga Dirgantara yang masih dipenuhi tamu-tamu pesta. Dari luar, suara tawa dan musik masih terdengar. Mereka merayakan sesuatu yang menurut dunia adalah kebahagiaan, tetapi bagi Jasmine, itu adalah awal dari penderitaannya.Tubuhnya masih lemah pascapersalinan, namun ia tidak punya pilihan lain. Udara dingin menusuk kulitnya, seolah ingin mengingatkannya bahwa dia sekarang sendirian. Tidak ada lagi tempat yang bisa ia sebut rumah.Tidak ada lagi keluarga yang bisa ia andalkan. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah kesepakatan yang mengikatnya dalam kebisuan.Pikirannya masih melayang ketika tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan."Jasmine?" Jasmine menoleh dan melihat Juan berdiri beberapa meter darinya. Pria itu menatapnya dengan alis berkerut, ekspresi penuh keheranan bercampur kekhawatiran.&
Jasmine berdiri di depan gerbang megah rumah keluarga Dirgantara, hatinya berdebar hebat. Sudah beberapa minggu sejak ia terakhir kali berada di tempat ini, dan kini ia kembali bukan sebagai bagian dari keluarga, tetapi sebagai seseorang yang dibutuhkan hanya untuk menyusui anaknya. Atau lebih tepatnya, anak yang sekarang diakui oleh dunia sebagai milik Zora.Tangannya menggenggam erat tali tas kecilnya, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu, kembali ke rumah ini berarti kembali menghadapi Zora, Dursilla, dan terutama, Noah.Gerbang besar terbuka secara otomatis, seolah menyambutnya. Namun, Jasmine tahu betul bahwa tidak ada sambutan hangat yang menunggunya di dalam.Begitu langkah kakinya memasuki pekarangan, seorang pelayan menyambutnya dengan kaku. "Silakan masuk, Nona Jasmine. Nyonya Zora sudah menunggu di dalam."Jasmine mengangguk pelan dan mengikuti pelayan itu. Setiap langkah terasa berat, seakan dirinya mel
Jasmine duduk di kursi di dalam kamar bayi, menggendong anaknya yang sedang menyusu dengan tenang. Setiap detik yang berlalu terasa berharga, karena dia tahu, momen-momen seperti ini akan selalu direnggut darinya begitu sesi menyusui selesai. Seharusnya, dialah yang merawat bayi ini, tetapi dunia tidak mengizinkannya.Pintu kamar terbuka tiba-tiba, dan suara langkah kaki cepat menggema di dalam ruangan."Apa-apaan ini?!" Suara Dursilla terdengar tajam, memotong keheningan.Jasmine tersentak, hampir saja refleks menarik bayinya dari pelukannya. Ia menoleh dan melihat wanita tua itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan. Dursilla berjalan mendekat, matanya menatap tajam ke arah Jasmine dan bayi yang sedang menyusu di pelukannya.“Kenapa dia yang menyusui bayi ini?” Dursilla melontarkan pertanyaan dengan nada dingin, matanya menyipit penuh kecurigaan.Zora
Malam di rumah keluarga Dirgantara terasa sunyi, tetapi tidak bagi Jasmine. Ia berjalan mondar-mandir di kamar yang diberikan kepadanya, pikirannya penuh dengan segala hal yang telah terjadi.Dursilla telah mencurigai sesuatu, meskipun Zora berhasil meyakinkannya untuk sementara. Namun, Jasmine tahu bahwa kebohongan ini tidak akan bertahan selamanya.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Dengan ragu, Jasmine membuka pintu dan mendapati seorang pelayan berdiri di sana dengan ekspresi tegang.“Nona Jasmine, bayi sedang rewel. Nyonya Zora meminta Anda untuk datang segera.”Jasmine menahan napas, lalu mengangguk. “Baik, aku akan ke sana.”Hatinya mencelos setiap kali ia harus menghadapi anaknya sendiri tetapi dalam status yang begitu menyakitkan. Ia tahu bahwa bayi itu merindukannya, dan itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia terus bertahan di tempat ini.&nb
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab
Sementara itu, Jasmine dan Noah kembali ke hotel mereka setelah menghadiri resepsi diplomatik kecil yang digelar di Konsulat Lioren. Jasmine merasa kelelahan, namun damai. Dunia tampaknya menyambut pidatonya dengan antusias. Belasan negara telah menyatakan niat bergabung dalam Koalisi Anti-Korupsi Korporat Dunia.Namun di lobi hotel, salah satu staf keamanan mendekati mereka.“Maaf, Ibu Jasmine. Mobil pengawal Anda terlihat mengalami kerusakan. Kami menyarankan Anda untuk naik kendaraan cadangan yang sudah disiapkan.”Kiara, yang datang bersama dari belakang, menyipitkan mata. “Mobil rusak? Tapi tadi pagi sudah dicek.”Noah langsung tanggap. “Tunda. Kita tetap di sini sampai tim teknis kita periksa langsung.”Sementara staf itu berlalu, Jasmine berbisik, “Perasaanmu juga tidak enak?”Noah mengangguk. “Sangat.”Tiga puluh menit kemudian, laporan datang. Salah satu baut rem ken
Jasmine berdiri. Langkahnya mantap menuju podium. Cahaya lampu menyorot wajahnya, dan ribuan mata tertuju padanya.Ia membuka pidatonya dengan suara yang tenang tapi tegas.“Terima kasih atas kesempatan ini. Nama saya Jasmine Jorse. Hari ini, saya tidak hanya berbicara sebagai pemimpin sebuah perusahaan, tapi sebagai saksi dari bagaimana sistem keuangan yang tidak terawasi bisa menghancurkan keluarga, kepercayaan, dan masa depan.”Ia berhenti sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.“Saya lahir dari darah seorang industrialis yang jujur dan seorang ibu yang mencintai keadilan. Mereka dibunuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sistem yang membiarkan korupsi tumbuh di balik nama-nama besar.”Hening. Beberapa orang mulai menegakkan badan.“Selama puluhan tahun, banyak dari kita menutup mata atas praktik-praktik keuangan gelap yang dikemas dalam bahasa legal. Kita memberi ruang bagi orang seperti Leonhart Vasmer dan
“Jas... Ada seseorang dari dalam Levara Group mengirimkan pesan rahasia.”Jasmine berdiri. “Siapa?”Kiara menyerahkan sebuah flashdisk dan dokumen cetak.“Namanya tidak disebut, tapi tanda tangannya mencocok dengan seorang analis senior bernama Aline Köhler. Dia dikabarkan sudah lama tidak muncul di media, dan ternyata... dia menyimpan dokumen internal.”Jasmine membuka file pertama di layar laptop. Di sana, terdapat ratusan halaman laporan transfer dana fiktif, rekaman rapat tertutup yang memperlihatkan Leonhart menyuruh stafnya menekan media, dan yang paling mencengangkan: dokumen strategi hukum menyerang Jasmine, tertanggal sebulan sebelum gugatan didaftarkan.“Aline memberikan semua ini?” bisik Jasmine, nyaris tak percaya.Kiara mengangguk. “Dia bilang dalam pesannya: ‘Saya tidak bisa melawan langsung. Tapi saya percaya kamu bisa.’”Jasmine memandang laya
Sore hari, Jasmine menerima kabar bahwa Levara Group secara resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Komersial Internasional Avenhurst.“Gugatan ini tidak berdasar,” ujar Kiara. “Tapi tetap harus kita jawab.”Jasmine membaca dokumen gugatan. Tuduhannya kejam: penyalahgunaan informasi pribadi, sabotase ekonomi, dan pencemaran nama baik.“Dia menyerang dari jalur hukum karena sudah kalah di jalur fakta,” ucap Jasmine pelan. “Tapi kita tidak boleh gegabah. Kita jawab elegan. Kita buktikan kebenaran bisa berjalan lurus tanpa harus menabrak.”Malam hari, setelah hari yang panjang dan rapat yang tak ada habisnya, Jasmine akhirnya kembali ke kamar hotel tempat ia menginap bersama Noah. Penerangan temaram, lampu-lampu kota Eresia berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil dari balik jendela kaca.Noah sudah menunggunya. Ia duduk di sofa dengan mengenakan kaus gelap dan celana santai, rambutnya sedikit acak.“Kau terlihat seperti ratu perang yang baru pulang dari medan tempur,” gumam
Tangannya bergetar.“Noah,” bisiknya saat pria itu menghampiri.“Ada apa?”Jasmine menyodorkan dokumen itu dengan mata basah. “Mereka… mereka tidak hanya berkhianat. Mereka membunuh.”Sesi kedua sidang dibuka dengan panggilan terhadap saksi ahli forensik kendaraan. Ia menjelaskan bahwa tingkat kerusakan sistem rem tidak mungkin terjadi karena usia atau kelalaian servis. Ia menunjukkan simulasi digital yang menunjukkan titik-titik sabotase.Hakim terlihat terguncang. Lucas mulai gelisah. Ia mencoba berdiskusi dengan pengacaranya, tapi mikrofon ruang sidang menangkap ucapannya:“Aku bilang hentikan semua jejak itu. Kenapa masih ada yang muncul?”Sorotan kamera langsung diarahkan ke wajahnya. Raut panik dan kemarahan membuatnya tak lagi mampu menyembunyikan kecemasan.Jaksa Norell lalu berdiri dengan bukti tambahan.“Yang Mulia, kami memohon agar Lucas Greif ditahan tanpa syarat selama penyelidikan. Bukti menunjukkan adanya potensi penghilangan jejak, tekanan terhadap saksi, dan keterlib
Noah, yang melihat semua itu, langsung menghubungi Jasmine.“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi jangan biarkan hal-hal itu mengalihkanmu.”“Aku tidak akan mundur,” sahut Jasmine tegas. “Tapi aku tidak bisa bohong, ini melelahkan.”“Aku akan ke Eresia besok,” kata Noah. “Kamu tidak harus hadapi ini sendirian lagi.”Jasmine terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Terima kasih. Mungkin kali ini... aku memang butuh bahumu lebih dari sekadar kata-kata.”Sore itu, Jasmine duduk sendiri di taman kecil belakang kantor EILI. Suara burung camar terdengar samar. Ia menutup mata sejenak.Langkah kaki menghampiri. Noah datang, lebih cepat dari yang dijanjikan. Pria itu berdiri di depannya, dengan senyum penuh kehangatan.“Aku tahu kau bilang besok,” kata Jasmine, sedikit terkejut.“Aku tahu kau butuh hari ini.”Jasmine berdiri. Mereka saling mendekat, lalu tanpa banyak kata, Noah menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu lama. Lama sekali. Seolah seluruh dunia menjadi latar belakang bisu.Saat Jasmine