"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba
Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."<Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sekelebat rasa bersalah terbit di muka Saoirse, namun secepat kilat, ekpresinya kembali normal. "Tentu saja aku tak sempurna," sahutnya tenang. "Sebab itu aku meninggalkan Papamu yang terlalu baik.""Sudahlah, aku capek mendengar pembelaan diri yang tak berujung." Julia bangkit dari duduknya. "Biarlah ini jadi pertemuan terakhir kita. Aku tak mau punya urusan apa-apa denganmu."Usai berkata demikian, Julia langsung lenyap dibalik pagar pembatas. Hatinya lega saat mendapati Tim masih berjaga di sana, menunggunya. "Langsung ke rumah saja," ujarnya sebelum pria itu sempat bertanya. Perjalanan ke mansion terasa lama sebab dia amat terpukul. Mulutnya terlalu malas berbasa-basi, matanya terlalu lelah untuk membuka.Dia mengutuk semua nasib buruk yang menimpanya bertubi-tubi. Seharusnya, Saoirse saja yang mati duluan bukan Sebastian. Mengapa ayah yang baik harus meninggalkan dunia lebih cepat sementara orang-orang licik seperti ibuny
Julia tahu bahwa Tim tidak sedang main-main, sebab bukan pertama kali hal ini terjadi. Setiap ada berita tak sedap, Jhon dan tim humas Westwood Corporation biasanya langsung turun tangan. Akan tetapi, memikirkan bahwa dia terus menambah beban kerja sang suami, bikin perasaannya makin buruk. "Terima kasih." Julia berujar letih. "Semoga urusan kami cepat selesai agar Jhon tak perlu lagi membereskan masalahku."Lewat center mirror, Tim hanya menatap sekilas. Setelahnya, pemuda pendiam itu tak berkata apa-apa lagi. Lima menit kemudian, mereka sampai di mansion.Julia bergegas masuk ke dalam, namun di ambang pintu langkahnya mendadak terhenti. Bukankah yang duduk di sofa itu David dan perempuan simpanannya, Mel? Kenapa mereka ada di sini? Tak butuh waktu lama bagi Julia memikirkan jawaban sebab detik berikutnya kedua orang itu menoleh ke pintu, lalu menyambutnya dengan keramahan yang palsu. "Hai Julia
Akibat permintaan Jhon, besok malamnya Julia dan si kembar berkemas. Meski perjalanan hanya di dalam kota, kedua bocah tetap penasaran. Mereka tak henti berceloteh sepanjang jalan. "Papa, kemana kita mau pergi?"Pertanyaan sang kakak, bikin Jill ikut bertanya, "benar, kenapa tiba-tiba mengajak kita keluar? Bukankah Papa sedang sibuk?""Anak-anak, tenanglah. Biarkan Papa menyetir dengan tenang."Teguran Julia membuat kedua bocah bungkam sementara Jhon mengelus punggung tangannya penuh kelembutan. Mata pria itu terlihat hangat juga penuh harap di saat yang sama. Julia memalingkan muka. Sikap manis Jhon membuat hatinya bergetar. Ini sangat berbahaya. Bagaimana caranya bilang selamat tinggal jika dia terus-terusan tergoda? Di luar sana para gelandangan sedang meringkuk di emperan. Beberapa terlalu mengantuk untuk peduli dengan cuaca dingin. Julia miris memikirkan bahwa dirinya bisa jadi salah satu dari mereka bila tak bertemu Jhon
Julia menanti dengan sabar. Pria ini hanya menatapnya tanpa berkedip. Dia bisa merasakan jarak mereka makin dekat, bahkan kini ... bibir Jhon nyaris menyentuh dirinya. Hati kecilnya berseru agar dia menghindar. Namun kaki Julia seperti terkunci. Dia malah mematung, menanti ciuman tersebut dengan segenap rindu. Detik berikutnya, sesuatu yang hangat dan lembut mendarat di bibirnya. Mula-mula hanya sentuhan setipis bulu, terasa menggelitik. Lama-lama, jadi sesuatu yang mendesak, memuntut. Mereka berdua sama-sama lapar akan satu sama lain. Setelah nafasnya terengah, barulah Julia melepaskan diri. Dia membuang muka karena terlalu malu. "Lihat Sayang, tak satu pun dari kita ingin berpisah. Kenapa harus mengingkari perasaanmu?" "Aku tak ... ." Sebelum dia sempat berkata-kata, Jhon sudah berlutut di depannya. Pada salah satu tangannya, pria itu memegang sebuah cincin. "Maaf terlalu
"Kau tampak pucat, ada apa Sayang?"Kekhawatiran di wajah suaminya, bikin Julia serba salah. Seminggu terakhir dia memang kerap mual, terlebih di pagi hari. Awalnya, Julia acuh dan menganggap hal tersebut disebabkan oleh makanan atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Akan tetapi, ketika hal serupa terus-menerus terjadi, benaknya mulai memikirkan hal yang nyaris mustahil. Kehamilan. Cepat-cepat Julia menepis kemungkinan ini. Saat keguguran dulu, dokter jelas bilang rahimnya rusak parah. Kecil sekali kemungkinannya bisa hamil lagi. Ini pula yang membuatnya tak pernah meminta Jhon memakai pengaman saat bercinta. Padahal, sudah tiga minggu ini mereka tidur seranjang. Jhon yang punya stamina luar biasa, melakukannya nyaris tiap malam. Bahkan di sela kesibukan yang luar biasa, pria buas itu masih tetap memangsanya. "July, kau baik-baik saja?"Teguran Jhon menarik Julia kembali ke dunia nyata. "Tentu... aku baik-baik saja," ujarnya
Kembali, keheningan menyapu udara. Sebagai dosen dan pakar hukum yang disegani, Miranda memang terkenal akan jargon yang satu ini : semua orang layak didengarkan. Dan perempuan didepannya memakai senjata yang sama untuk menyerangnya. "Katakan apa yang kau mau. Aku cuma punya dua menit," ujar Miranda akhirnya. "Berhenti mempersulit suamiku.""Dalam hal apa aku mempersulit suamimu? Jangan suka asal bicara!"Secara logika, memang tak masuk akal Miranda mempersulit Jhon, tapi bagi orang yang sedang terluka, apapun jadi mungkin. "Apakah Anda tak berani mengakui bila saksi dari pihak Jhon, Anda intervensi? Dan juga... apakah Anda cukup pengecut sehingga tak berani bilang bahwa bukti yang diajukan Jaksa di pengadilan adalah hasil manipulasi Anda?""Wow! Betapa hebatnya aku. Seorang dosen tapi bisa mengintervensi pengadilan!"Julia tersenyum kecut. Meski Miranda cuma seorang dosen, namun dia pern
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja
Seisi ruangan hening, sebelum akhirnya kasak-kusuk pecah lagi, bahkan lebih riuh dari sebelumnya. a Ketika suasana makin tak terkendali, anggota yang paling senior akhirnya buka mulut. "Sebaiknya kita tunggu saja sepuluh menit lagi. Kalau sampai saat itu Mr David tak muncul juga, maka wacana untuk mengganti direktur utama, dianulir saja." Beberapa peserta rapat langsung protes, sebagian setuju, tetapi mayoritas memilih diam. Jadi pengamat selalu lebih baik. Ketika ruang rapat kembali gaduh untuk memutuskan, anggota senior tadi bicara lagi. "Dari pada ribut seperti bocah, kenapa tidak voting saja?" Perundingan berlangsung beberapa saat lagi, sebelum semua akhirnya setuju. Sejurus kemudian, hasil pemungutan suara pun keluar. Mayoritas peserta setuju membatalkan wacana penggantian direktur utama apabila David tak muncul sepuluh menit lagi. Detik demi detik berlalu sangat lambat, terutama bagi para pendukung W
Belum sempat George beranjak, pintu ruangan sudah terbuka lebar. Julia berdiri disana dengan pesona tak tertandingi. Biasanya, dia suka memakai outfit berwarna pastel, tetapi dalam kesempatan ini, wrap dress merah membungkus tubuhnya dengan sempurna. Dan meski perutnya membuncit, bagian-bagian lain juga membesar dengan sendirinya. Daripada perempuan bertubuh gembrot, dia lebih cocok jadi wanita hamil yang seksi. "Sayang, kenapa kemari?"Suara Jhon terdengar parau, bahkan di telinganya sendiri. Perilaku istrinya memang selalu di luar dugaan. "Aku tak bisa membiarkanmu berperang sendirian. Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama."Jhon langsung berdiri, lalu meraih istrinya dalam dekapan. Kemesraan pasangan suami istri ini bikin situasi George makin canggung. Sebab itu, dia langsung pamit untuk memanggil David. "Apa George tak punya istri?" selidik Julia setelah supir mereka berlalu. "Aku tak mencampuri u
Setelah pertemuan singkat dengan teman lama, Julia sampai di mansion dengan perasaan kacau. Akibatnya, makanan yang dia buat kurang maksimal, hingga juru masak di kediaman Westwood harus membantu. Ketika waktu nyaris pukul delapan malam, barulah Jhon sampai di rumah. Keningnya agak mengernyit tatkala melihat anak istrinya baru bersiap di meja makan. "Kenapa kalian belum makan? Ini sudah terlalu malam."Jim langsung menyambut teguran sang ayah. "Makanya jangan pulang kelamaan."Kalau jadwal kerjanya sudah dibawa-bawa, Jhon tak berani lagi berkutik. Dalam hal ini, dia memang kalah telak dibanding ayah lain. Sebab itu, dia duduk dengan patuh di hadapan Julia, dan mulai menyendok beberapa menu ke piringnya. "Kau yang masak, Sayang?" tanyanya"Ya, kenapa bisa tahu?""Hanya kau yang suka membuat makanan pedas."Julia tersenyum penuh makna. Suaminya memang bukan orang yang suka makan pedas. Sebaliknya, lahir dan bes
Mendadak suara seorang pria terdengar dari seberang. Sepertinya, hakim Stewart sedang menceramahi sang istri. Tak lama, panggilan pun diputus begitu saja. "Merusak mood saja," gumam Julia sebal. Buru-buru dia menghapus foto lunch buffet mewah di atas kapal pesiar, gambar norak yang baru saja dikirim Saoirse. Setelah episode perdebatan dengan ibunya usai, dia kembali fokus pada naskah yang sedang ditulisnya. Saat kehabisan ide, dia berjalan-jalan sejenak di sekitar rumah, kadang mendiamkan naskah yang ditulisnya berhari-hari sebelum menggarapnya lagi. Biasanya, gagasan baru bisa muncul begitu saja. Tiga minggu berselang, naskah pun selesai. Dengan penuh semangat, dia menghadiri undangan Rebecca di kediaman keluarga Wilson. "Wah, penulis hebat kita akhirnya datang," gurau Rebecca sambil lalu. "Aku salut kau bisa menyelesaikannya lebih cepat dari tenggat waktu padahal sedang hamil.""Ah, kau bisa saja, Bec. Aku cuma