Julia menanti dengan sabar. Pria ini hanya menatapnya tanpa berkedip. Dia bisa merasakan jarak mereka makin dekat, bahkan kini ... bibir Jhon nyaris menyentuh dirinya.
Hati kecilnya berseru agar dia menghindar. Namun kaki Julia seperti terkunci. Dia malah mematung, menanti ciuman tersebut dengan segenap rindu. Detik berikutnya, sesuatu yang hangat dan lembut mendarat di bibirnya. Mula-mula hanya sentuhan setipis bulu, terasa menggelitik. Lama-lama, jadi sesuatu yang mendesak, memuntut. Mereka berdua sama-sama lapar akan satu sama lain. Setelah nafasnya terengah, barulah Julia melepaskan diri. Dia membuang muka karena terlalu malu. "Lihat Sayang, tak satu pun dari kita ingin berpisah. Kenapa harus mengingkari perasaanmu?" "Aku tak ... ." Sebelum dia sempat berkata-kata, Jhon sudah berlutut di depannya. Pada salah satu tangannya, pria itu memegang sebuah cincin. "Maaf terlalu"Kau tampak pucat, ada apa Sayang?"Kekhawatiran di wajah suaminya, bikin Julia serba salah. Seminggu terakhir dia memang kerap mual, terlebih di pagi hari. Awalnya, Julia acuh dan menganggap hal tersebut disebabkan oleh makanan atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Akan tetapi, ketika hal serupa terus-menerus terjadi, benaknya mulai memikirkan hal yang nyaris mustahil. Kehamilan. Cepat-cepat Julia menepis kemungkinan ini. Saat keguguran dulu, dokter jelas bilang rahimnya rusak parah. Kecil sekali kemungkinannya bisa hamil lagi. Ini pula yang membuatnya tak pernah meminta Jhon memakai pengaman saat bercinta. Padahal, sudah tiga minggu ini mereka tidur seranjang. Jhon yang punya stamina luar biasa, melakukannya nyaris tiap malam. Bahkan di sela kesibukan yang luar biasa, pria buas itu masih tetap memangsanya. "July, kau baik-baik saja?"Teguran Jhon menarik Julia kembali ke dunia nyata. "Tentu... aku baik-baik saja," ujarnya
Kembali, keheningan menyapu udara. Sebagai dosen dan pakar hukum yang disegani, Miranda memang terkenal akan jargon yang satu ini : semua orang layak didengarkan. Dan perempuan didepannya memakai senjata yang sama untuk menyerangnya. "Katakan apa yang kau mau. Aku cuma punya dua menit," ujar Miranda akhirnya. "Berhenti mempersulit suamiku.""Dalam hal apa aku mempersulit suamimu? Jangan suka asal bicara!"Secara logika, memang tak masuk akal Miranda mempersulit Jhon, tapi bagi orang yang sedang terluka, apapun jadi mungkin. "Apakah Anda tak berani mengakui bila saksi dari pihak Jhon, Anda intervensi? Dan juga... apakah Anda cukup pengecut sehingga tak berani bilang bahwa bukti yang diajukan Jaksa di pengadilan adalah hasil manipulasi Anda?""Wow! Betapa hebatnya aku. Seorang dosen tapi bisa mengintervensi pengadilan!"Julia tersenyum kecut. Meski Miranda cuma seorang dosen, namun dia pern
Kekagetan di wajah Jhon, dalam sekejap berubah jadi kemarahan. "Kau menganggapku apa, July? Aku diam karena terlalu kaget, senang, terharu, semuanya campur aduk. Bukan karena tak menginginkan anak kita."Emosi yang melanda Julia sekejap tadi, mendadak sirna. Rasa lega luar biasa membanjiri sekujur tubuhnya. Pria yang dia cintai, ternyata menginginkan anak yang dikandungnya. "Benarkah?" ujarnya tanpa bisa menyembunyikan kelegaan. Air mata haru mulai membanjiri pipinya. "Terima kasih, Jhon. Terima kasih."Kedua tangan Jhon mendekap istrinya erat. "Kenapa berterima kasih? Aku yang harus melakukannya. Kau mau melahirkan anak kita, July. Kau perempuan luar biasa."Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi rasa haru oleh alasan berbeda. Julia bahagia karena Jhon menerima anak yang dikandungnya dan sebaliknya, Jhon senang karena sang istri rela melahirkan anaknya. "Kau yakin, July?" ujar Jhon parau. "Kudengar, melahirkan bisa merusak tubuh
Meski heran, Jhon pasrah saja saat Julia menghelanya keluar. Dia masih sempat melirik petugas apotek yang baru diajak istrinya bicara. "Kalau tak salah, petugas apotek tadi temanmu yang jahat itu, kan?" ujarnya saat mereka sudah di mobil. "Ya, aku pun tak menyangka dia bekerja di rumah sakit.""Tentu saja. Dia sudah di blacklist dari dunia hukum."Julia tak berkomentar apa-apa. Tanpa campur tangan Jhon pun, karir Selena sudah pasti tamat setelah video perselingkuhannya dengan Collins tersebar.Dia pernah dengar bahwa partner senior firma Westwood tersebut punya istri yang tangguh. Tak ada kesempatan bagi perempuan simpanan Collins untuk bertahan hidup, kalau sampai ketahuan. Terhadap nasib yang menimpa Selena, tak ada sedikitpun rasa sesal. Bekas temannya itu hanya menuai badai yang dia tabur. "Kita beli obatmu di sini saja," kata Jhon tiba-tiba seraya parkir di depan sebuah apotek. Membiarkan suaminya ambi
Setelah babak kesedihan Jill usai, hidup berlanjut seperti biasa, kecuali untuk satu hal. Kehamilan Julia. Mual yang dia rasakan makin sering sementara Jhon belum juga usai dengan pergelutan di ruang sidang. Mau tak mau, Julia harus lebih mandiri dalam menjalani semuanya. Seperti pagi ini misalnya. Mereka seharusnya memeriksan kehamilannya yang sudah menginjak dua bulan. Akan tetapi, karena ada sidang yang tak bisa ditinggalkan Jhon, terpaksa dia pergi sendiri. "Kau yakin? Kunjungan ke dokter bisa kita jadwalkan ulang." Jhon menatapnya khawatir "Jangan berlebihan, Jhon. Aku kesana cuma duduk manis, dokter yang melakukan semuanya." "Kalau begitu, aku akan meminta Tim mengantarmu. Terlalu bahaya kalau menyetir sendirian." Tanpa menunggu persetujuannya, Jhon langsung menelepon sang ajudan. Setengah jam berselang, Tim sudah di rumah. Lengkap dengan seragam dan ekspresi kakunya. "Kita langsung be
Sementara itu, gugatan class action yang menimpa perusahaan keluarga Caroline masih bergulir seperti bola api. Karena keluarga sang dekan cukup terkemuka, banyak pihak ikut terseret. Mulai dari politikus sampai praktisi dunia kesehatan. "Hakim dan dewan juri yang terhormat, seperti yang kita ketahui bersama, kebanyakan korban yang mengalami kram dada adalah mereka yang mengkonsumsi minuman bersoda. Jadi, masalah terjadi bukan pada obat yang diproduksi Protect Pharma."Jhon mengemukakan kalimat pembuka yang membela kepentingan kliennya. Pagi ini dia tampak bersemangat sebab jaksa secara tiba-tiba mencabut bukti yang diajukan pada persidangan sebelumnya. "Keberatan." Pengacara yang membela pihak lawan mendebat. "Mereka yang tidak mengkonsumsi minuman bersoda juga terkena kram dada.""Benar, tetapi air yang mereka minum mengandung Kalium yang tinggi, sebagian lagi mengkonsumsinya bersamaan dengan obat lain."Sembari berkata demik
Jhon keluar dari ruang sidang diiringi beberapa partner junior. Lazimnya pemenang, dia segera dikerumuni para pendukung untuk sekedar mengucapkan selamat. Dan Caroline adalah satu diantaranya. "Selamat atas kemenangannya, Westwood. Kau sudah menyelamatkan perusahaan ayahku," ujarnya senang. Di negara kapitalis seperti Amerika, class action jadi salah satu hal yang ditakuti perusahaan farmasi. Biasanya, setiap ada produk atau obat yang rilis di pasaran, para pengacara senior dari perusahaan lawan akan segera mencari celah untuk menyerang. Dengan insting bak predator, mereka bakal menemukan segala hal mencurigakan, dan membujuk para korban agar bersedia mengajukan tuntutan hukum. Konsumen yang biasanya tidak tahu apa-apa, akan mengiyakan saja sebab diiming-imingi uang ganti rugi yang cukup besar. Padahal, jika gugatan menang pun, mereka hanya dapat sekian persen dari yang dijanjikan. Pemenang sesungguhnya adalah pihak pengacara. Itu se
Julia sontak menjauh, matanya mendelik sebal. "Apa maksudnya merepotkan? Bagaimana mungkin seorang ayah bicara begitu?" Jhon mengumpati kebodohannya. Lagi-lagi salah bicara. Sejak hamil, mood Julia sukar diprediksi. Cepat sekali berubah, seperti cuaca di luar sana. Salah-salah bicara, Julia bisa uring-uringan seharian. "Maaf Sayang, aku cuma takut dirimu terlalu lelah. Siapa tahu bayinya kelewat aktif." Raut muka Jhon yang penuh kekhawatiran berhasil membuat Julia tergelak. "Astaga, mana ada janin bergerak pada umur dua bulan. Nanti setelah enam bulan ke atas barulah mereka seperti pemain bola." Bukannya tenang, Jhon malah bergidik. Memikirkan seorang bocah bertumbuh dan bergerak-gerak di dalam sana, bisa bikin merinding. Meski berstatus ayah dua anak, ini kali pertama dia mendampingi kehamilan istri sepenuhnya. Saat bersama Vivienne dulu, dia tak banyak terlibat. Bukannya enggan, hanya saja sang mantan leb
Pesan suaminya terdengar ambigu di telinga Julia. Di satu sisi, seperti memberi kebebasan. Di sisi lain, seolah mengabaikannya begitu saja. Makna kedua-lah yang diterima benak Julia. "Oh, jadi begitu sekarang? Katakan padanya, aku juga tak peduli kalau dia tak pulang-pulang. Pria macam apa yang pergi begitu saja hanya karena sedikit perdebatan. Dasar!"Kepala pelayan makin menunduk, tak berani membantah apalagi mengiyakan. Gesturnya bikin Julia sadar betapa kekanak-kanakan dirinya saat ini. Karenanya, dia tak lagi memperpanjang masalah dan fokus pada makanan yang rasanya makin hambar di mulut. Akhirnya, ketika kesabarannya sudah makin tipis menghadapi menu yang tersaji, Julia meletakkan sendok lalu menandaskan isi gelasnya. "Lain kali, masaklah sesuatu yang menggugah selera," ujarnya sebelum beranjak ke taman belakang. Hijaunya daun dan pohon perdu membantunya lebih rileks.Julia membuang nafas kasar. Enta
Tiga minggu berselang, Jhon nyaris tak terlihat di rumah. Ketika Julia bangun, suaminya sudah pergi. Sebaliknya, saat Jhon pulang, dia sudah tidur. Kadang, pria Westwood itu mendadak sudah di kota lain saja. Semua ini bikin perasaan Julia jadi tak menentu. Terkadang was-was, curiga, bahkan juga merindukan suaminya setengah mati. Hormon kehamilan benar-benar menyiksa. Pada saat inilah, Selena yang dulunya sudah dihapus dari daftar hidupnya, mendadak punya peranan penting. "Hai July, kupikir kau tak datang kontrol hari ini," ujarnya saat Julia muncul di rumah sakit pagi ini. Julia ingin abai, tapi perhatian Selena bikin dia tak sanggup melakukan hal tersebut sepenuh hati. "Tentu saja aku datang. Kehamilan ini sangat berarti untukku."Senyum lebar terbit di bibir Selena. "Aku sungguh iri. Hidupmu amat sempurna." Kemudian, dia mengalihkan percakapan. "Bagaimana? Kau suka makanan yang kukirim semalam?""Lumayan
Mungkin karena pengaruh hormon, Julia dipenuhi emosi hebat sampai tubuhnya bergetar. Selena terkesiap melihatnya. "July, kumohon tenanglah. Emosi berlebihan tak bagus untuk kehamilan. Kau tahu itu, kan?" ujarnya memelas. "Kalau sudah tahu, kenapa masih ke sini?" Tolonglah... biarkan aku sendiri."Usai bicara dengan nada memelas, Julia tak tahan lagi. Dia terduduk lemas, sampai-sampai Selena datang memapah. Dia mengibaskan tangan mantan pengacara itu, lalu berkata penuh kesungguhan. "Pergilah dari sini. Aku tak mau punya hubungan apapun dengan kalian."Saoirse yang berdiri sekitar dua meter jauhnya, mendengus kesal. "Dasar lemah! Bagaimana mau bertahan, kalau mengatur emosi saja tak bisa?""Aunty, cukup! Kau mau lihat putrimu celaka?""Oh, aku tak cukup hebat untuk jadi ibunya. Kau lihat sendiri, Julia bahkan mengusirku terang-terangan.""Hentikan, Aunty. Aku menyesal membawamu kemari. Tadi kita suda
Julia sontak menjauh, matanya mendelik sebal. "Apa maksudnya merepotkan? Bagaimana mungkin seorang ayah bicara begitu?" Jhon mengumpati kebodohannya. Lagi-lagi salah bicara. Sejak hamil, mood Julia sukar diprediksi. Cepat sekali berubah, seperti cuaca di luar sana. Salah-salah bicara, Julia bisa uring-uringan seharian. "Maaf Sayang, aku cuma takut dirimu terlalu lelah. Siapa tahu bayinya kelewat aktif." Raut muka Jhon yang penuh kekhawatiran berhasil membuat Julia tergelak. "Astaga, mana ada janin bergerak pada umur dua bulan. Nanti setelah enam bulan ke atas barulah mereka seperti pemain bola." Bukannya tenang, Jhon malah bergidik. Memikirkan seorang bocah bertumbuh dan bergerak-gerak di dalam sana, bisa bikin merinding. Meski berstatus ayah dua anak, ini kali pertama dia mendampingi kehamilan istri sepenuhnya. Saat bersama Vivienne dulu, dia tak banyak terlibat. Bukannya enggan, hanya saja sang mantan leb
Jhon keluar dari ruang sidang diiringi beberapa partner junior. Lazimnya pemenang, dia segera dikerumuni para pendukung untuk sekedar mengucapkan selamat. Dan Caroline adalah satu diantaranya. "Selamat atas kemenangannya, Westwood. Kau sudah menyelamatkan perusahaan ayahku," ujarnya senang. Di negara kapitalis seperti Amerika, class action jadi salah satu hal yang ditakuti perusahaan farmasi. Biasanya, setiap ada produk atau obat yang rilis di pasaran, para pengacara senior dari perusahaan lawan akan segera mencari celah untuk menyerang. Dengan insting bak predator, mereka bakal menemukan segala hal mencurigakan, dan membujuk para korban agar bersedia mengajukan tuntutan hukum. Konsumen yang biasanya tidak tahu apa-apa, akan mengiyakan saja sebab diiming-imingi uang ganti rugi yang cukup besar. Padahal, jika gugatan menang pun, mereka hanya dapat sekian persen dari yang dijanjikan. Pemenang sesungguhnya adalah pihak pengacara. Itu se
Sementara itu, gugatan class action yang menimpa perusahaan keluarga Caroline masih bergulir seperti bola api. Karena keluarga sang dekan cukup terkemuka, banyak pihak ikut terseret. Mulai dari politikus sampai praktisi dunia kesehatan. "Hakim dan dewan juri yang terhormat, seperti yang kita ketahui bersama, kebanyakan korban yang mengalami kram dada adalah mereka yang mengkonsumsi minuman bersoda. Jadi, masalah terjadi bukan pada obat yang diproduksi Protect Pharma."Jhon mengemukakan kalimat pembuka yang membela kepentingan kliennya. Pagi ini dia tampak bersemangat sebab jaksa secara tiba-tiba mencabut bukti yang diajukan pada persidangan sebelumnya. "Keberatan." Pengacara yang membela pihak lawan mendebat. "Mereka yang tidak mengkonsumsi minuman bersoda juga terkena kram dada.""Benar, tetapi air yang mereka minum mengandung Kalium yang tinggi, sebagian lagi mengkonsumsinya bersamaan dengan obat lain."Sembari berkata demik
Setelah babak kesedihan Jill usai, hidup berlanjut seperti biasa, kecuali untuk satu hal. Kehamilan Julia. Mual yang dia rasakan makin sering sementara Jhon belum juga usai dengan pergelutan di ruang sidang. Mau tak mau, Julia harus lebih mandiri dalam menjalani semuanya. Seperti pagi ini misalnya. Mereka seharusnya memeriksan kehamilannya yang sudah menginjak dua bulan. Akan tetapi, karena ada sidang yang tak bisa ditinggalkan Jhon, terpaksa dia pergi sendiri. "Kau yakin? Kunjungan ke dokter bisa kita jadwalkan ulang." Jhon menatapnya khawatir "Jangan berlebihan, Jhon. Aku kesana cuma duduk manis, dokter yang melakukan semuanya." "Kalau begitu, aku akan meminta Tim mengantarmu. Terlalu bahaya kalau menyetir sendirian." Tanpa menunggu persetujuannya, Jhon langsung menelepon sang ajudan. Setengah jam berselang, Tim sudah di rumah. Lengkap dengan seragam dan ekspresi kakunya. "Kita langsung be
Meski heran, Jhon pasrah saja saat Julia menghelanya keluar. Dia masih sempat melirik petugas apotek yang baru diajak istrinya bicara. "Kalau tak salah, petugas apotek tadi temanmu yang jahat itu, kan?" ujarnya saat mereka sudah di mobil. "Ya, aku pun tak menyangka dia bekerja di rumah sakit.""Tentu saja. Dia sudah di blacklist dari dunia hukum."Julia tak berkomentar apa-apa. Tanpa campur tangan Jhon pun, karir Selena sudah pasti tamat setelah video perselingkuhannya dengan Collins tersebar.Dia pernah dengar bahwa partner senior firma Westwood tersebut punya istri yang tangguh. Tak ada kesempatan bagi perempuan simpanan Collins untuk bertahan hidup, kalau sampai ketahuan. Terhadap nasib yang menimpa Selena, tak ada sedikitpun rasa sesal. Bekas temannya itu hanya menuai badai yang dia tabur. "Kita beli obatmu di sini saja," kata Jhon tiba-tiba seraya parkir di depan sebuah apotek. Membiarkan suaminya ambi
Kekagetan di wajah Jhon, dalam sekejap berubah jadi kemarahan. "Kau menganggapku apa, July? Aku diam karena terlalu kaget, senang, terharu, semuanya campur aduk. Bukan karena tak menginginkan anak kita."Emosi yang melanda Julia sekejap tadi, mendadak sirna. Rasa lega luar biasa membanjiri sekujur tubuhnya. Pria yang dia cintai, ternyata menginginkan anak yang dikandungnya. "Benarkah?" ujarnya tanpa bisa menyembunyikan kelegaan. Air mata haru mulai membanjiri pipinya. "Terima kasih, Jhon. Terima kasih."Kedua tangan Jhon mendekap istrinya erat. "Kenapa berterima kasih? Aku yang harus melakukannya. Kau mau melahirkan anak kita, July. Kau perempuan luar biasa."Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi rasa haru oleh alasan berbeda. Julia bahagia karena Jhon menerima anak yang dikandungnya dan sebaliknya, Jhon senang karena sang istri rela melahirkan anaknya. "Kau yakin, July?" ujar Jhon parau. "Kudengar, melahirkan bisa merusak tubuh