Sementara itu, gugatan class action yang menimpa perusahaan keluarga Caroline masih bergulir seperti bola api. Karena keluarga sang dekan cukup terkemuka, banyak pihak ikut terseret. Mulai dari politikus sampai praktisi dunia kesehatan.
"Hakim dan dewan juri yang terhormat, seperti yang kita ketahui bersama, kebanyakan korban yang mengalami kram dada adalah mereka yang mengkonsumsi minuman bersoda. Jadi, masalah terjadi bukan pada obat yang diproduksi Protect Pharma."Jhon mengemukakan kalimat pembuka yang membela kepentingan kliennya.Pagi ini dia tampak bersemangat sebab jaksa secara tiba-tiba mencabut bukti yang diajukan pada persidangan sebelumnya."Keberatan." Pengacara yang membela pihak lawan mendebat. "Mereka yang tidak mengkonsumsi minuman bersoda juga terkena kram dada.""Benar, tetapi air yang mereka minum mengandung Kalium yang tinggi, sebagian lagi mengkonsumsinya bersamaan dengan obat lain."Sembari berkata demikJhon keluar dari ruang sidang diiringi beberapa partner junior. Lazimnya pemenang, dia segera dikerumuni para pendukung untuk sekedar mengucapkan selamat. Dan Caroline adalah satu diantaranya. "Selamat atas kemenangannya, Westwood. Kau sudah menyelamatkan perusahaan ayahku," ujarnya senang. Di negara kapitalis seperti Amerika, class action jadi salah satu hal yang ditakuti perusahaan farmasi. Biasanya, setiap ada produk atau obat yang rilis di pasaran, para pengacara senior dari perusahaan lawan akan segera mencari celah untuk menyerang. Dengan insting bak predator, mereka bakal menemukan segala hal mencurigakan, dan membujuk para korban agar bersedia mengajukan tuntutan hukum. Konsumen yang biasanya tidak tahu apa-apa, akan mengiyakan saja sebab diiming-imingi uang ganti rugi yang cukup besar. Padahal, jika gugatan menang pun, mereka hanya dapat sekian persen dari yang dijanjikan. Pemenang sesungguhnya adalah pihak pengacara. Itu se
Julia sontak menjauh, matanya mendelik sebal. "Apa maksudnya merepotkan? Bagaimana mungkin seorang ayah bicara begitu?" Jhon mengumpati kebodohannya. Lagi-lagi salah bicara. Sejak hamil, mood Julia sukar diprediksi. Cepat sekali berubah, seperti cuaca di luar sana. Salah-salah bicara, Julia bisa uring-uringan seharian. "Maaf Sayang, aku cuma takut dirimu terlalu lelah. Siapa tahu bayinya kelewat aktif." Raut muka Jhon yang penuh kekhawatiran berhasil membuat Julia tergelak. "Astaga, mana ada janin bergerak pada umur dua bulan. Nanti setelah enam bulan ke atas barulah mereka seperti pemain bola." Bukannya tenang, Jhon malah bergidik. Memikirkan seorang bocah bertumbuh dan bergerak-gerak di dalam sana, bisa bikin merinding. Meski berstatus ayah dua anak, ini kali pertama dia mendampingi kehamilan istri sepenuhnya. Saat bersama Vivienne dulu, dia tak banyak terlibat. Bukannya enggan, hanya saja sang mantan leb
Mungkin karena pengaruh hormon, Julia dipenuhi emosi hebat sampai tubuhnya bergetar. Selena terkesiap melihatnya. "July, kumohon tenanglah. Emosi berlebihan tak bagus untuk kehamilan. Kau tahu itu, kan?" ujarnya memelas. "Kalau sudah tahu, kenapa masih ke sini?" Tolonglah... biarkan aku sendiri."Usai bicara dengan nada memelas, Julia tak tahan lagi. Dia terduduk lemas, sampai-sampai Selena datang memapah. Dia mengibaskan tangan mantan pengacara itu, lalu berkata penuh kesungguhan. "Pergilah dari sini. Aku tak mau punya hubungan apapun dengan kalian."Saoirse yang berdiri sekitar dua meter jauhnya, mendengus kesal. "Dasar lemah! Bagaimana mau bertahan, kalau mengatur emosi saja tak bisa?""Aunty, cukup! Kau mau lihat putrimu celaka?""Oh, aku tak cukup hebat untuk jadi ibunya. Kau lihat sendiri, Julia bahkan mengusirku terang-terangan.""Hentikan, Aunty. Aku menyesal membawamu kemari. Tadi kita suda
Tiga minggu berselang, Jhon nyaris tak terlihat di rumah. Ketika Julia bangun, suaminya sudah pergi. Sebaliknya, saat Jhon pulang, dia sudah tidur. Kadang, pria Westwood itu mendadak sudah di kota lain saja. Semua ini bikin perasaan Julia jadi tak menentu. Terkadang was-was, curiga, bahkan juga merindukan suaminya setengah mati. Hormon kehamilan benar-benar menyiksa. Pada saat inilah, Selena yang dulunya sudah dihapus dari daftar hidupnya, mendadak punya peranan penting. "Hai July, kupikir kau tak datang kontrol hari ini," ujarnya saat Julia muncul di rumah sakit pagi ini. Julia ingin abai, tapi perhatian Selena bikin dia tak sanggup melakukan hal tersebut sepenuh hati. "Tentu saja aku datang. Kehamilan ini sangat berarti untukku."Senyum lebar terbit di bibir Selena. "Aku sungguh iri. Hidupmu amat sempurna." Kemudian, dia mengalihkan percakapan. "Bagaimana? Kau suka makanan yang kukirim semalam?""Lumayan
Pesan suaminya terdengar ambigu di telinga Julia. Di satu sisi, seperti memberi kebebasan. Di sisi lain, seolah mengabaikannya begitu saja. Makna kedua-lah yang diterima benak Julia. "Oh, jadi begitu sekarang? Katakan padanya, aku juga tak peduli kalau dia tak pulang-pulang. Pria macam apa yang pergi begitu saja hanya karena sedikit perdebatan. Dasar!"Kepala pelayan makin menunduk, tak berani membantah apalagi mengiyakan. Gesturnya bikin Julia sadar betapa kekanak-kanakan dirinya saat ini. Karenanya, dia tak lagi memperpanjang masalah dan fokus pada makanan yang rasanya makin hambar di mulut. Akhirnya, ketika kesabarannya sudah makin tipis menghadapi menu yang tersaji, Julia meletakkan sendok lalu menandaskan isi gelasnya. "Lain kali, masaklah sesuatu yang menggugah selera," ujarnya sebelum beranjak ke taman belakang. Hijaunya daun dan pohon perdu membantunya lebih rileks.Julia membuang nafas kasar. Enta
"Selena memang punya selera yang bagus."Julia bergumam sebelum merebahkan diri di atas ranjang.Dia membolak-balik posisi tidurnya beberapa kali sebelum akhirnya terlelap. Ketika malam sudah sangat larut, barulah terasa kehadiran seseorang di sisinya. "Kenapa lama sekali pulang?" ujarnya serakJhon yang baru hendak berbaring, berkata lirih, "maaf mengganggu tidurmu, Sayang.""Tak apa. Aku tahu kau sibuk. Tidurlah."Jhon mematuhi perintah sang istri. Niatnya tidur sambil memeluk Julia harus batal sebab wanita yang tengah hamil itu kegerahan. Keesokan paginya, Jhon bangun lebih lama dari biasa. Julia berjinjit pelan lantaran takut membuatnya terjaga. Sayangnya, naluri waspada sudah mengakar kuat. Jhon yang tadinya lelap, langsung bangun akibat pergerakan kecilnya. "Selamat pagi Sayang," ujarnya tersenyum. Julia berhenti di tempat, berbalik ke belakang, dan menatap sang suami frustasi. "Kena
Ternyata Selena naik pitam juga mendengar tudingan Julia. Wajahnya yang selalu terlihat ramah belakangan ini, mendadak kaku. "Memangnya kau tak menelan sisa kunyahan orang? Hmph! Baru sebentar hidup enak, kau langsung lupa diri." Tentu saja tak ada bantahan yang keluar dari mulut Julia sebab kalau dipikir-pikir lagi, dirinya memang mendapatkan sisa-sisa Vivienne. Jadi apa bedanya dengan Selena? Raut mukanya yang meragu ternyata mendapat perhatian Selena sepenuhnya. Perlahan, mantan pengacara itu mendekat. Kini, selimut yang pura-pura dipakai menutup tubuhnya, dibiarkan terjatuh. Ini jelas provokasi. Bagaimana mungkin tubuh hamilnya bisa bersanding dengan badan mulus ramping Selena? Rasa minder memenuhi Julia, perlahan mencekik hingga dia sesak nafas. "Pergi, jangan mendekatiku," ujarnya beringsut. "Kenapa Julia? Tak siap menerima kenyataan bahwa aku jauh lebih baik darimu?"
Tangan Julia mendadak dingin. Namun begitu, dia masih membuka kanal berita tersebut. Rupanya, Selena benar-benar penuh persiapan. Selain gambar ada juga cuplikan video yang disorot dari belakang. Dalam video, tampak Selena sedang bercinta dengan liar. Sudut pengambilan yang tepat disertai posisi Woman on top, membuat orang tak akan sadar bila Jhon sebenarnya dalam keadaan lelap. Video dan gambar tak senonoh ini menuai beragam komentar, terutama dari pemuja selangkangan. [Wow! Hot Mama][Sebagai pria, aku bisa bilang bahwa Jhon bajingan beruntung][Mana nomor gadisnya? Tolong! Aku kepanasan]Ada juga komentar yang menyudutkan dirinya dan keluarga Westwood. [Aku muak dengan drama mereka. Kemarin istrinya yang berulah, sekarang suaminya pula][Dasar manusia kecoak. Semuanya menjijikkan][Aku yakin istrinya perempuan tolol]... Semua komentar ini sangat menyakitkan, sampai Julia tak
Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja