Share

Bab 4. Memeluk Ibu

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-06-19 23:02:12

Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. 

"Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. 

Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. 

"Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"

Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. 

Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. 

Aku cukup tahu, jika sikapku tak sesuai tuntunan  Tuhan-ku. Namun, aku tak cukup sabar dengan penghiatan Bang Haikal kali ini, lebih-lebih aku seolah hanya dijadikan babu gratisan. Ingin rasanya kutelan hidup-hidup lelaki di hadapanku ini.

"Nda!" seru Harry dengan mata yang mulai terbuka, anak lelaki itu sudah bangun. Aku tak menanggapi panggilannya, bahkan hingga beberapa kali ia memanggilku. 

Harry mulai menangis, karena melihatku abai  padanya, lebih-lebih ia mendapatiku sudah menggunakan pakaian lengkap. Anak itu sudah cukup mengerti, jika aku akan pergi tanpa membawanya. 

"Gendong Harry sebentar dulu, Dik!" pinta Bang Haikal, kini dengan suara lembut. Entah sebab apa ia berubah lembut begini, setelah tadi sempat membentakku. Apakah mungkin, sesal itu mulai merayapi hatinya? Ah, kurasa bukan. 

"Gendong sendiri! Aku bukan babu kalian!" jawabku dengan wajah sinis. Aku berlalu tanpa mempedulikan Bang Haikal yang terus-terusan memintaku untuk tinggal, juga Harry dengan tangisannya yang semakin kencang. 

Aku berjalan cepat keluar kamar, setelah menjinjing tas mini di bahuku, melewati ruang tamu. Sepeda motor milikku sudah kupanaskan, dan kuposisikan menghadap halaman, sejak subuh tadi. Kutarik tua gas motor maticku tanpa menoleh  lagi. 

Kupacu motor matic keluaran lama milikku, dengan kecepatan sedang. Motor yang kubeli dari hasil menabung saat sebelum menikah. Kuda besi itu kini tengah membelah jalan sempit khas pedesaan. 

Pagi ini, aku berniat singgah ke rumah ibuku, berhubung jalan menuju kota di mana Farah tinggal, melewati desa tempat tinggal orang tuaku, tanah kelahiran aku dan Farah. 

Jalanan aspal marka jalan itu masih sangat lengang, dengan udara pagi yang begitu sejuk dan menenangkan. Namun, tetap tak mampu membuatku tenang. Hatiku kini kusibukkan dengan melantunkan shalawat untuk manusia termulia, berharap aku bisa meniru sabar Sang Baginda, dengan meresapi  makna setiap kata dari lisanku. 

Tak sampai tiga puluh menit, motorku telah terparkir di halaman rumah milik orang tuaku. Rumah yang cukup mewah untuk ukuran pedesaan. 

Jendela-jendela itu terbuka, aku berjalan menuju pintu utama. Mengetuknya perlahan sambil mengucap salam. Tak butuh waktu lama, terlihat anak kunci mulai berputar dari dalam. 

"W*'alaikumsalaam."

Wajah perempuan berusia mendekati angka 60, yang telah melahirkanku itu menyembul di balik pintu. 

Kuraih tangan yang sudah mulai mengeriput, menciuminya dengan takzim. Ibu menatapku dengan teliti. 

"Kok, pagi-pagi sudah ke sini?" Ibu berujar dengan alis bertaut, seakan menangkap sesuatu yang tak biasa pada putri bungsunya ini. 

"Memangnya Zana gak boleh, jenguk Ibu pagi-pagi?" tanyaku sewot. 

"Bukan begitu, Sayang  ... ah sudahlah, yuk masuk!" 

Ibu menarik tanganku untuk segera masuk bersamanya. 

"Langsung ke dapur yuk, Na! Ayahmu udah di sana,"

Aku mengekor di belakang Ibu hingga ke dapur. Ayah terlihat tengah menikmati pisang goreng dan kopi hitam kesukaannya. Aku menyalami tangan Ayah, lalu menciuminya, lalu duduk di tengah-tengah antara Ayah dan Ibu. 

"Anak ayah berangkat sendiri?"

"Iya, Yah!" jawabku berusaha tersenyum. 

"Ya sudah, yuk sarapan bareng!"

"Zana ke kamar aja ya, Bu. Pengen istirahat dulu, sebentar lagi baru sarapan."

Aku bangkit untuk melangkah ke kamar, sekedar untuk bertenang, sebelum menemui Farah. Pastinya emosiku akan kembali melejit, saat membahas dua manusia tak beradab itu. 

Ibu hanya tersenyum. Perempuan lebutku itu, seakan mengerti gundah yang sekarang tengah menderaku. Sedangkan ayah, beliau menatap heran ke arahku. 

Kubuka pintu kamar, menyapu ke sekeliling ruangan yang sejak lima tahun terakhir jarang kusinggahi. Ruangan berukuran tiga kali empat meter ini masih seperti dulu, beberapa figura milikku dulu masih tertata rapi, seperti tak ada perubahan. Namun, tetap terawat. 

Aku berbaring di atas kasur, menikmati suasana tenang. Seseorang yang melekat diingatanku, saat berada di tempat ini. Farah, ya  .... satu-satunya sahabat dekat yang selalu kuajak menginap di sini. 

Aku memejamkan mata, berusaha menikmati aromah rumah yang kerap kurindu. Namun, wajah ibu mertua tampak begitu jelas, tengah menatap sendu ke arahku. Aku tersentak, ada rasa bersalah menjalar di hatiku, pada perempuan ringkih itu. 

Krriieeeettt! 

Suara gesekan engsel pintu kamar, membuatku membuka mata yang sedari tadi tertutup. 

"Apakah Ibu mengganggumu, Nak?" ucap Ibu lembut. 

Aku bangkit pada posisi duduk, dan tersenyum ke arahnya, "Aku sama sekali tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran Ibu." Ibu membalas senyumku. 

Ibu berjalan masuk, kemudian duduk tepat di sampingku. 

"Jika ada masalah yang tak mampu lagi kau tahan, maka ceritakanlah!" Ibu meraih tanganku, mengusap lembut lalu membawanya dalam pangkuannya. 

Aku menyenderkan kepala, pada bahu perempuan surgaku. Mataku mulai memanas, tapi berusaha kutahan. Lima tahun sudah aku resmi bergelar seorang istri, baru kali ini aku membawa masalahku ke rumah ini. Maafkan aku ibu  .... 

"Zana tak apa-apa, Bu!" lirihku, tak ingin melihat perempuan baik ini ikut menanggung bebanku. 

"Serapat apapun kau menutupinya, naluri Ibu tetap akan mampu menembusnya!"

Netraku tak mampu lagi membendung bulir bening yang merangsek keluar, menerobos pertahanan. Aku menangis. Kupeluk erat perempuan paruh baya itu, seakan ingin menceritakan beban berat di hatiku tanpa harus lewat kata-kata. 

Ibu merenggangkan pelukanku, mengangkat wajahku agar tatapan kami bertemu. 

"Apakah kau sudah tak mempercayai Ibu lagi?" tanya Ibu dengan tatapan sendu, namun penuh penekanan. Aku menggeleng. 

"Ceritakanlah! Ibu tak ingin kau memendamnya sendiri!"

Tangisku kembali pecah, tak sanggup lagi rasanya luka ini kupendam. Hingga akhirnya, kuceritakan semua perih yang telah merampas bahagiaku, pada sosok yang kupanggil 'Ibu', di sela isak tangis pedih dan kecewa. 

Perempuan itu tertunduk dalam tanpa suara, bahunya bergetar menahan sesak. Ada rasa bersalah, telah membuat perempuan di sampingku ini terluka. Namun, aku benar-benar tak kuat jika harus menanggungnya sendiri. 

Ibu kembali merengkuh tubuhku, tangisnya pecah, hingga membuat tangisku kembali mengisak. Kami menangis sambil berpelukan, menangisi ulah lelaki yang telah memintaku pada orang tuaku lima tahun lalu, hanya untuk menoreh luka sesakit ini. 

"Menangislah sepuasmu, setelah itu, bertenanglah!" lirih Ibu, setelah melerai pelukanku. Mengusap lembut air mata di pipiku. 

"Zana kecewa, Bu!" 

"Pastinya, tak ada yang tak kecewa ketika dihianati orang terpenting dalam hidupnya, Sayang. Zana harus kuat, jika tidak, semua akan sia-sia."

"Apa salah Zana, Bu? Kurang apa Zana selama ini pada keluarga Bang Haikal? Apakah karena Zana belum bisa memberikan keturunan, lantas seenaknya Bang Haikal selingkuh dari Hana?"

Deretan pertanyaan keluar bertubi-tubi dari bibirku,  bersama isakan kecil. Ibu meletakkan jari telunjuknya di bibirku, sebagai isyarat untuk diam. Setelahnya, Ibu menyeka sisa-sisa air mata yang tadi sempat tumpah ruah. 

"Kau anak Ibu yang cantik! Jangan pernah berkecil hati, Sayang! Ibu memang tak menyuruhmu berpisah dengan suamimu. Namun, jika kau tak mampu lagi bersabar, maka kembalilah ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Ibu pun tak rela hati kesayangan Ibu dibuat luka," ucap Ibu sambil menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Mata Ibu merah, dengan bulu mata yang masih basah. 

"Ibu sudah menduga, jika hari ini akan tiba."

Aku tersentak, mendengar kalimat terakhir yang Ibu katakan. Apakah ada yang Ibu tutupi dariku?

Related chapters

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Bab 5. Bertemu Farah

    Aku menatap Ibu dengan tatapan heran bercampur tanya, menunggu kalimat selanjutnya dari bibir perempuan yang sangat kuhormati itu. Namun, cukup lama Ibu hanya bergeming, hingga rasa tak sabar di hatiku menyeruak. "Maksud Ibu?"Ibu menatapku lama, dengan tatapan Iba. Tangannya kini sibuk meremas jemariku, seakan inginmentransfer kekuatan agar hatiku tetap kuat. "Dua bulan lalu, Fikri telah lebih dulu mengatakanhal yang sama pada Ibu," ucap Ibu dengan hati-hati. "Kenapa Ibu dan Bang Fikri menyembunyikannya dariku, Bu?" tanyaku sedikit kesal. Kami empat bersaudara. Bang Farhan anak pertama, Bang Hamka anak kedua, dan Bang Fikri terakhir sebelum aku. Kami semua sudah berkeluarga, kecuali Bang Fikri. Meski di usia yang sudah menginjak angka 31, Bang Fikri belum juga bertemu tulang rusuknya yang hilang. Kini, abangku itu tengah meneruskan pendidikan S2-nya yang sempat tertunda, sambil membuka usaha percetakan di kota Pangkalpinang, kota yang rencananya akan kukunjungi hari ini. "Kau ma

    Last Updated : 2022-06-19
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 6. Pov Haikal

    Lelaki mana yang tak bahagia, jika memiliki tempat berlabuh lebih dari satu. Itulah yang kurasakan sekarang. Aku memiliki dua istri sejak tiga tahun terakhir. Ya, setelah aku menikahi Rania—seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang kukenal, lewat temanku, Kamal. Sampai sekarang aku tak mengerti, apa alasan Rania bersedia menikah dengan pria beristri sepertiku. Awalnya, aku tak begitu tertarik dengan Rania, perempuan dengan tinggi badan tak lebih dari 150 senti meter itu. Wajahnya pun terkesan biasa saja menurutku, karena Zana jauh lebih cantik dibandingkan Rania. Tapi sikap manja Rania akhirnya membuatku luluh. Sikap yang tak dimiliki Zana, istri pertamaku. Zana seorang gadis cantik dengan kulit putih, berfostur tubuh ideal. Sungguh aku sangat beruntung memilikinya. Selain itu, Zana istri penurut, yang selalu melayaniku dengan baik. Bahkan tak pernah terdengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir indahnya. Tak hanya itu, Zana bahkan dengan ikhlas merawat ibuku yang ter

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 7. Pov Haikal

    Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. "Apa maksud semua ini?" Makian yang sempat ku persi

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 8. Bantuan Farah

    Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makas

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 9. Perempuan Angkuh

    "Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 10. Bertemu Rania

    Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 11. Tak Tahu Malu

    Aku melirik sinis ke arahnya. Perempuan itu seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun saat melihatku. Farah terlihat mengepal tangannya, dengan deru napas naik turun"Iya, Bu! Coba Ibu lebih cepat datang, pasti aku gak bakal kena maki-maki dari tadi, huh!" adu Sinta pada Rania yang kini sudah duduk di kursi teras, yang tadi didudukinya. Rania mengangkat satu kaki dan menimpakan pada kaki lainnya, menyender punggungnya pada sandaran kursi. Wajahku serasa tebakar, mendengar ucapan Sinta barusan. Bisa-bisanya perempuan dengan wajah polosnya tadi kini bak ular berbisa. Emosi di kepalaku kian meletup-letup. Jika bukan sebagai tamu, maka sudah kupastikan tanganku ini akan mendarat di bibir perempuan licik itu. Plak! Plak! "Auu!" teriak Sinta kesakitan. Tangannya spontan mengusap pipi yang mulai tampak kemerahan. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Farah. Dua kali tamparan mendarat dengan sempurna di kedua pipi Sinta. Entah kapan Farah bangkit dari duduk santainya. Kini mata sahabatk

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 12. Fakta tentang Rania

    Mentari sudah semakin condong ke arah barat, sebentar lagi waktu ashar akan menyapa. Di dapur rumah orang tuanya, Haikal berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam ponsel miliknya. Wajahnya tampak gusar, menanti Sang istri yang tak kunjung pulang. Beberapa kali menelpon pun hasilnya masih sama, Sang operatorlah yang menjawab sambungan telponnya. Pesan yang ia kirimkan sejak siang tadi masih centang satu, pertanda belum masuk Dari pagi tadi, Harry sudah dititipkannya di rumah Kak Lila, hingga sekarang belum dijemputnya. Beberapa kali terlihat Haikal mengusap wajahnya dengan kasar. Jika bukan karena ibunya, mungkin Haikal tak akan segusar ini menunggu kepulangan Zana. Ya, perempuan renta itu masih belum makan hingga sore ini. Beberapa kali ibunya hanya membasahi kerongkongannya dengan air putih saja.Haikal begitu khawatir dengan ulah Sang Ibu. Beberapa kali membujuk pun tak ada hasil. Beberapa kali Haikal melihat ibunya, perempuan itu tengah menyeka air mata dengan tangan kiri

    Last Updated : 2022-07-20

Latest chapter

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 167. Semua Dengan Jalannya Sendiri

    Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 166. Akhir Kisah

    "Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 165. Usaha Haikal

    "Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 164. Kita Berpisah Saja

    Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 163. Membawa Harry

    Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 162. Melepas Rindu

    Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 161. Bertemu Kembali

    Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 160. Kecewa Tak Beralasan

    Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 159. Akhirnya Luluh

    "Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r

DMCA.com Protection Status