Share

Bab 3. Tentang Harry

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-06-19 23:01:22

[Apakah Zana masih belum tahu tentang kita, Sayang?]

[Kamu tenang saja, Zana perempuan penurut, dia bahkan tak pernah membuka ponselku. Zana juga mengurus Harry dengan sangat baik, persis seperti anak sendiri!]

[Benarkah? Oh, ya, Harry bagaimana kabarnya, Bang?"]

[Iya, Sayang! Harry sehat! Dia makin gemesin loh, sekarang udah mulai pinter ngomong.]

[Makasih, ya, udah ngerawat anak kita dengan baik.]

Seluruh tubuhku terasa bergetar, kaki seakan tak kuat menopang bobot tubuh, hingga harus menyenderkannya di dinding kamar mandi agar tak ambruk. Jantung berpacu kian cepat, air mata menerobos kian deras, aku menangis dengan membekap kuat mulut agar tak bersuara. Ternyata aku hanya dimanfaatkan oleh suamiku sendiri. 

Lebih dari setengah jam sudah aku menangis, emosiku sulit untuk kukendalikan. Kuusap naik turun dengan kuat dada yang sesak oleh luka, berharap sedikit reda. 

Aku sudah tak kuat lagi untuk membaca semua tentang kelicikan mereka, yang telah memperbudakku selama ini. Segera kukirim ke ponselku, beberapa screenshot percakapan mereka dan foto dari galeri ponsel. Lalu menghapus semua jejak, dan mengunci kembali layar ponsel manusia tak beradab itu. 

Berkali-kali napas panjang kuhirup dan membuangnya, sambil beristigfar dalam hati. Tak seharusnya aku menangisi manusia tak punya hati seperti Bang Haikal sampai begini, tapi aku benar-benar syok mendapati kenyataan yang baru kuketahui barusan. 

Usia hari sekarang dua puluh dua bulan, di tambah masa hamil sembilan bulan, berarti mereka berselingkuh sudah hampir tiga tahun, atau bahkan lebih. Aku jadi menghitung-hitung masa penghianatan Bang Haikal, kemudian merutuki kebodohanku selama ini. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Aku kembali ke kamar untuk mengembalikan gawai Bang Haikal ke tempat semula. Kemudian kembali ke kamar mandi, berwudhu untuk melaksanakan sholat tahajud beserta witir. Sholat yang selalu kulakukan selain sholat fardhu. 

Bacaan sholat dengan makna sarat pujian pada Sang Khalik, kubisikkan dalam dekapan malam, hati sibuk mengartikan semua kata dengan penuh rasa. Hingga salam pada satu rakaat witir menjadi penutup shalatku.

Ku angkat kedua tangan dengan lelehan yang kembali berurai, kuadukan semua lukaku kepada Sang Pemilik Hati. Mengadukan dua durjana yang telah menciptakan seribu luka untukku. 

Dia terasa begitu dekat, mendekapku dalam kedamaian, menyejukkan hati yang semula penuh amarah, mendinginkan kepala yang semula membara. 

Aku merintih meminta keadilan pada Sang Maha Adil, meminta kekuatan pada Sang Maha Kuat. Memohon Tuhan-ku memberi petunjuk atas semua masalah yang menggumpal di kepalaku. 

Kuusap wajah dengan kedua tangan, sebagai akhir munajat. Hatiku kini jauh lebih tenang. 

Aku bangkit, berjalan masuk kamar, dan duduk di sisi tempat tidur, bersama perasaan yang sulit ku gambarkan. 

Di dalam kamar, Mas Haikal dan Harry masih terlelap. Entah mengapa rasaku yang lebih dari setahun ini pada Harry, tiba-tiba hilang dengan sekejap malam ini. Tak ada rasa sayang seperti yang tiap hari selalu mewarnai hatiku. 

Ya, memang semenjak Harry bersama kami, aku mengurusnya dengan baik, layaknya anak sendiri. Aku tak pernah merasa direpotkan dengan tangisannya, meski tak jarang aku tak tidur malam, karena harus menungguinya yang tengah sakit. 

Aku tak mengerti, apa isi kepala perempuan itu, yang dengan entengnya menitipkan anaknya padaku. Karena yang aku tahu, umumnya seorang ibu tak akan sanggup tinggal berpisah dengan buah hatinya, meski hanya sekejap. Dulu, aku saja tak betah jika Harry lama dibawa Kak Lila ke rumahnya, tapi tidak untuk sekarang. 

Mungkin ada yang menganggapku gil*, membenci anak sekecil Harry hanya karena ulah orang tuanya, tapi terserah. Orang tuanya menoreh luka begitu dalam untukku, jadi rasanya wajar, jika aku berubah begini. Aku tak membenci Harry, tapi hanya memilih jalan agar hatiku tak semakin sakit. 

Tak kan ada lagi Zana yang penurut seperti sebelumnya, Haikal. Dan tak kan ada lagi baby sitter Zana untuk anak gundikmu, Haikal.

Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas, untuk mengirimkan pesan pada Farah, melalui aplikasi hijau yang biasa kugunakan. 

[Jika besok kau tak sibuk, aku akan menemuimu.]

Pesan terkirim ke nomor tujuan, dengan centang dua. Aku mengembalikan ponselku pada tempat sebelumnya, membaringkan tubuhku di samping Bang Haikal, meski dengan rasa benci yang masih sesak di rongga dada. Aku berusaha memejamkan mata, agar lelap mampu mengistirahatkan lelah hatiku sejenak. 

*****

Sejak selesai sholat subuh, aku sudah sibuk melakukan semuanya seperti biasa, sedangkan Bang Haikal kembali tidur. Harry masih nyenyak setelah pukul tiga dini hari tadi, merengek minta susu. Aku tetap membuatkannya, karena tak ingin suaranya mengganggu tidurku. 

Pintu kulkas kubuka, mencari bahan-bahan yang akan kugunakan untuk memasak. Kali ini aku berniat menyiapkan makanan untuk Ibu saja. Biasanya aku memasak cukup banyak menu, dari mulai masakan khusus untuk Ibu, Harry,  juga untukku dan Bang Haikal, tapi kali ini tidak. 

Aku manusia biasa, yang belum mampu mengikhlaskan hatiku untuk terus disakiti. Akan kubuat semua menjadi imbang. 

Pukul tujuh pagi, sarapan untuk Ibu sudah selesai kumasak. Pun dengan sayur bening dan ikan goreng bawal kesukaan Ibu, sudah siap untuk teman makan siangnya.

Aku masih tetap mengurus Ibu seperti biasanya, karena tak ada rasa benci padanya, melainkan rasa sedih yang semakin bertambah. Aku khawatir, jika aku tak bisa bersabar lebih lama lagi, siapa yang akan mengurus Ibu? Siapa yang akan merawat Ibu penuh kasih? Sebagaimana yang kulakukan. Memikirkannya membuat mataku memanas. 

Aku berjalan ke depan kamar Ibu, sebelum mandi. Kulihat dari balik pintu, Ibu masih berbaring di atas ranjangnya. Ada rasa tak tega meninggalkan Ibu sebelum mengurusnya pagi ini, tapi biarlah, biar Bang Haikal tahu bagaimana pengorbananku pada keluarga ini. 

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku menghadap cermin besar yang menyatu dengan pintu lemari pakaian kami. Memakaikan riasan simpel pada wajah, untuk menyamarkan wajahku yang sembab. Terakhir mengoles tipis lipstik berwarna nude pada bibir tipisku. 

Aku terlihat begitu cantik, dengan wajah oval dan kulit putih bersih yang Tuhan anugerahkan untukku,   dengan tinggi badan 175 cm dan berat badan ideal, menambah sempurna penampilanku. 

"Kamu mau kemana, Dik?" Lelaki itu bertanya dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Ternyata lelaki itu sudah bangun. 

"Ke rumah Ibu!" Aku menjawab singkat tanpa menoleh. 

Entah kemana perginya rasa hormat yang selama lima tahun ini selalu bersamaku. Aku benar-benar muak dengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu. 

"Kenapa mendadak? Terus, siapa yang akan mengurus Ibu dan Harry?"

Kulirik lewat sudut mataku, lelaki itu merubah posisinya menjadi duduk tegak. 

"Aku sudah memasak untuk makan siang Ibu, jika tak ada halangan sore nanti,mungkin aku sudah pulang." jawabku dengan suara pelan, khawatir Ibu sudah bangun, dan mendengarnya. 

"Lalu, Harry bagaimana?"

"Urus saja sendiri!" Aku mengendikkan bahu. 

"Hari ini Abang mesti kerja, Dik, mana bisa Abang mengurus Harry?" Bang Haikal terdengar kesal. 

Aku berbalik menghadapnya, lalu mengendikkan bahu. Kulihat lelaki itu mulai gusar, tapi aku tak peduli. Tak ada rasa kasihan sedikitpun tersisa. 

"Ceritakan apa yang membuatmu begini, Dik!" ucap Bang Haikal, seakan merasa tanpa dosa. Aku semakin muak.

Aku meraih tas yang berisi dompet yang terdapat beberapa kartu penting di dalamnya, kemudian memasukkan bedak dan lipstik ke dalamnya. 

"Tunggulah besok saja, Dik! Jika ingin pergi. Besok Abang di rumah."

"Aku maunya sekarang!" ucapku dengan penuh penekanan dengan tubuh sedikit membungkuk ke arahnya, mataku menatap tepat mata lelaki itu tanpa berkedip. Ia menatapku heran, lima tahun menikah, ini kali pertamanya aku melawan ucapannya. Ini baru permulaan Haikal!

Suara pesan masuk dari ponsel yang kuletakkan di atas nakas terdengar, aku mendekat dan meraih benda pipih itu, lalu membuka kunci yang semalam baru kupasang. Ya, selama ini tak pernah aku memasang kunci layar pada ponselku. 

[Datang saja ke rumahku, Na. Aku sudah menggenggam kartu As perempuan yang bersama Haikal kemarin.]

Balasan pesanku semalam dari Farah, membuatku semakin tak sabar ingin bertemu perempuan cantik nan mandiri, yang lebih dari sepuluh tahun terakhir menjadi sahabatku itu. 

Segera kunonaktifkan ponselku, agar Bang Haikal tak mengganggu perjalananku hari ini. 

Related chapters

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Bab 4. Memeluk Ibu

    Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. "Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. "Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. Aku cukup tahu, jika sikapku tak s

    Last Updated : 2022-06-19
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Bab 5. Bertemu Farah

    Aku menatap Ibu dengan tatapan heran bercampur tanya, menunggu kalimat selanjutnya dari bibir perempuan yang sangat kuhormati itu. Namun, cukup lama Ibu hanya bergeming, hingga rasa tak sabar di hatiku menyeruak. "Maksud Ibu?"Ibu menatapku lama, dengan tatapan Iba. Tangannya kini sibuk meremas jemariku, seakan inginmentransfer kekuatan agar hatiku tetap kuat. "Dua bulan lalu, Fikri telah lebih dulu mengatakanhal yang sama pada Ibu," ucap Ibu dengan hati-hati. "Kenapa Ibu dan Bang Fikri menyembunyikannya dariku, Bu?" tanyaku sedikit kesal. Kami empat bersaudara. Bang Farhan anak pertama, Bang Hamka anak kedua, dan Bang Fikri terakhir sebelum aku. Kami semua sudah berkeluarga, kecuali Bang Fikri. Meski di usia yang sudah menginjak angka 31, Bang Fikri belum juga bertemu tulang rusuknya yang hilang. Kini, abangku itu tengah meneruskan pendidikan S2-nya yang sempat tertunda, sambil membuka usaha percetakan di kota Pangkalpinang, kota yang rencananya akan kukunjungi hari ini. "Kau ma

    Last Updated : 2022-06-19
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 6. Pov Haikal

    Lelaki mana yang tak bahagia, jika memiliki tempat berlabuh lebih dari satu. Itulah yang kurasakan sekarang. Aku memiliki dua istri sejak tiga tahun terakhir. Ya, setelah aku menikahi Rania—seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang kukenal, lewat temanku, Kamal. Sampai sekarang aku tak mengerti, apa alasan Rania bersedia menikah dengan pria beristri sepertiku. Awalnya, aku tak begitu tertarik dengan Rania, perempuan dengan tinggi badan tak lebih dari 150 senti meter itu. Wajahnya pun terkesan biasa saja menurutku, karena Zana jauh lebih cantik dibandingkan Rania. Tapi sikap manja Rania akhirnya membuatku luluh. Sikap yang tak dimiliki Zana, istri pertamaku. Zana seorang gadis cantik dengan kulit putih, berfostur tubuh ideal. Sungguh aku sangat beruntung memilikinya. Selain itu, Zana istri penurut, yang selalu melayaniku dengan baik. Bahkan tak pernah terdengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir indahnya. Tak hanya itu, Zana bahkan dengan ikhlas merawat ibuku yang ter

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 7. Pov Haikal

    Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. "Apa maksud semua ini?" Makian yang sempat ku persi

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 8. Bantuan Farah

    Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makas

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 9. Perempuan Angkuh

    "Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 10. Bertemu Rania

    Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan

    Last Updated : 2022-07-20
  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 11. Tak Tahu Malu

    Aku melirik sinis ke arahnya. Perempuan itu seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun saat melihatku. Farah terlihat mengepal tangannya, dengan deru napas naik turun"Iya, Bu! Coba Ibu lebih cepat datang, pasti aku gak bakal kena maki-maki dari tadi, huh!" adu Sinta pada Rania yang kini sudah duduk di kursi teras, yang tadi didudukinya. Rania mengangkat satu kaki dan menimpakan pada kaki lainnya, menyender punggungnya pada sandaran kursi. Wajahku serasa tebakar, mendengar ucapan Sinta barusan. Bisa-bisanya perempuan dengan wajah polosnya tadi kini bak ular berbisa. Emosi di kepalaku kian meletup-letup. Jika bukan sebagai tamu, maka sudah kupastikan tanganku ini akan mendarat di bibir perempuan licik itu. Plak! Plak! "Auu!" teriak Sinta kesakitan. Tangannya spontan mengusap pipi yang mulai tampak kemerahan. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Farah. Dua kali tamparan mendarat dengan sempurna di kedua pipi Sinta. Entah kapan Farah bangkit dari duduk santainya. Kini mata sahabatk

    Last Updated : 2022-07-20

Latest chapter

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 167. Semua Dengan Jalannya Sendiri

    Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 166. Akhir Kisah

    "Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 165. Usaha Haikal

    "Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 164. Kita Berpisah Saja

    Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 163. Membawa Harry

    Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 162. Melepas Rindu

    Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 161. Bertemu Kembali

    Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 160. Kecewa Tak Beralasan

    Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 159. Akhirnya Luluh

    "Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status