Lima tahun yang lalu ....
Selesai melucuti kancing baju Louis, Sky memaksanya untuk bangkit duduk. Ia bantu pria itu membebaskan diri dari kemeja sutranya. Setelah itu, ia mulai melucuti celana Louis sambil melirik ke arah lain. "Aku datang ke sini untuk memberimu kejutan, Louis. Tapi kalau begini, justru kaulah yang memberiku kejutan," gumamnya, seperti mengomel. Beberapa detik kemudian, hanya tersisa celana dalam di tubuh Louis. Sky tidak berani melihat ke bawah lagi. Sambil menoleh ke arah lain, ia menaruh lengan Louis di pundaknya. "Ayo, Louis. Aku akan membantumu ke kamar mandi," desahnya sambil mengambil posisi kuda-kuda. Namun ternyata, tubuh Louis terlalu berat baginya. Pria itu tetap duduk di tepi kasur, sama sekali tidak terangkat. "Louis? Ayolah! Bekerjasamalah denganku. Kerahkan tenagamu! Sedikit saja, itu sudah sangat membantu." Sky mencoba cara lain. Ia berdiri di depan Louis, melingkarkan lengan pria"Louis, kenapa kamu membuka bajuku? Itu tidak sopan," gumam Sky resah. Ia mencoba beberapa kali untuk menarik tangannya, tetapi gagal. Padahal, Louis hanya menahan sweater yang melilit lengannya dengan satu tangan. Namun, tetap saja ia lebih kuat. "Daripada kau resah, kau lebih baik menikmatinya saja, Sky. Aku tidak akan kasar. Aku berjanji padamu kalau itu akan sangat lembut," bisik Louis membuat darah Sky berdesir lebih cepat. "Apa maksudmu, Louis? Kenapa kamu bicara seolah-olah kamu akan melakukan hal terlarang? Kau sudah sepakat untuk tidak melakukannya tadi. Apakah kau lupa?" "Aku sangat menginginkanmu, Sky. Ayolah .... Bantu aku. Tubuhku mulai terasa panas lagi karena kau melawan. Lagi pula, bukankah kau juga menginginkannya?" Sky mengernyitkan dahi. "Aku menginginkannya? Tidak, Louis. Jangan sekarang. Kita belum menikah." "Tapi tubuhmu menunjukkan tanda-tandanya." Tangan Louis terulur ke bawah. Sky pun terkesiap. Belum sempat ia berkomentar, Louis telah kembali
Begitu Louis keluar dari pintu, wanita tua yang mengenakan seragam petugas kebersihan langsung tersenyum semringah. Mata keriputnya bercahaya. Ia tampak ramai dan tidak berbahaya. "Tuan Harper, akhirnya Anda kembali ke sini. Saya sangat senang bisa bertemu Anda lagi," sapanya hangat. Alis Louis tertaut. "Maaf, Nyonya. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Sang wanita mengerjap. Sambil mundur satu langkah, ia tertunduk. "Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud lancang. Sebetulnya, kita tidak benar-benar bertemu. Kita hanya berpas-pasan saat Anda berkunjung kemari 5 tahun yang lalu, tapi Anda pasti tidak memperhatikan saya." Mata Louis semakin menyipit. Ia berusaha menemukan sang wanita dalam ingatannya, tetapi gagal. "Ada keperluan apa Anda kemari, Nyonya?" Petugas kebersihan itu kembali menegakkan kepala. "Ada sesuatu yang harus saya berikan kepada Anda, Tuan." Sementara Louis menaikkan alis, wanita itu mengambil sebuah kantong plastik dari troli yang memuat peralatan keber
Awalnya, gadis kecil dan bocah laki-laki itu melambaikan tangan. Lalu perlahan, keduanya bergerak mendekat. Pertumbuhan mereka juga mulai terlihat. Saat bertemu di tengah, mereka berdua berpelukan. Gambar love pun muncul, seolah melayang-layang di sekitar mereka yang telah dewasa. Tak lama kemudian, Louis tiba di halaman akhir. Tulisan tangan Sky terukir jelas di sana. Saat membacanya, napas Louis langsung tersendat. Dadanya tergelitik sekaligus sakit, air mata berkumpul di pelupuknya. "Kamu adalah karakter terbaik dalam cerita hidupku. Maukah kau membantuku menulis sebuah buku tentang kita berdua?" Louis menelan ludah pahit. Ia bisa membayangkan betapa bersemangatnya Sky untuk datang menemuinya pada malam itu. Ia membawa harapan yang besar. "Aku sudah melambungkan hatinya dengan kata-kata manisku saat mabuk. Kubuat dia percaya bahwa aku sudah menerima cintanya. Dia bahkan menyebutku sebagai pacar di hadapan wanita ini," pikir Louis sembari melirik si petugas kebersihan
"Sudah berapa kali video baru diputar?" tanya Louis yang telah duduk di depan kamera. Pengawal yang standby di laptop cepat-cepat menjawab, "Lebih dari 300.000, Tuan." Louis mengangguk. Wajahnya tampak sangat serius tanpa senyum seperti itu. "Mari kita mulai siarannya." Omega bergegas memeriksa kamera. Setelah memastikan posisi Louis sempurna, ia memulai hitungan mundur. Lalu, Louis pun mulai bicara. "Halo, semuanya. Apakah kalian sudah menyaksikan rekaman CCTV yang lebih lengkap? Aku harap, itu cukup untuk membuktikan bahwa gadis yang kalian hina sejak kemarin adalah gadis baik-baik," angguknya meyakinkan. "Sebetulnya, dia adalah sahabatku sejak kecil. Dia adalah gadis polos yang tidak mengenal kejahatan dalam hidupnya. Satu-satunya kesalahan yang ia buat adalah berada di tempat dan waktu yang salah." Sambil terus menatap kamera, Louis bergeming. Semua orang menanti kata-kata dari mulutnya. Namun, selang beberapa saat, suasana tetap hening. Omega sampai heran melihatnya.
Selang beberapa saat, Louis belum bisa tenang. Perolehan suara untuk Grace dan Sky masih bersaing ketat. Mereka terus susul-menyusul dengan perbedaan yang sangat tipis. "Tuan, mengapa Anda tidak mengungkapkan bahwa Nona Evans adalah orang yang menyuruh Kendrick untuk menyebarkan video skandal? Kalau publik tahu, Nona Hills pasti mendapat lebih banyak perolehan suara," gumam Omega yang ikut tegang di samping bosnya. Louis melirik tipis. Alisnya berkerut sinis. "Apakah kau lupa? Dia adalah mantan kekasihku. Ya, meskipun dia belum terima soal itu. Tapi, bagaimanapun, aku tidak mungkin menjatuhkan dia. Lagi pula, dia sepupu Cayden, kau ingat? Aku lebih baik menghindari perselisihan dan masalah baru." "Karena itukah Anda membela Kendrick?" sambung Gamma yang juga sibuk memperhatikan hasil voting. Louis sontak melirik ke arah sebaliknya. "Kau baru kembali ke sini. Siapa yang memberitahumu tentang itu?" Omega spontan membulatkan mata, memberikan kode untuk rekannya. Namun, Gamma t
Setibanya di L City, Louis langsung masuk ke limosin. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu Sky, mengecup keningnya dan memeluk tubuhnya hangat. Ia juga sudah tidak sabar ingin melihat wajah lucu putri kecil mereka, mengajaknya bermain bersama dan mendengarkan suara tawanya yang ceria. Ia hampir lupa dengan hasil voting kalau tidak diingatkan oleh Omega. "Tuan, haruskah saya membuka laptop sekarang? Mungkin saja, voting sudah menunjukkan hasil yang berbeda," tanya pengawal termuda itu. Louis sontak menjentikkan jari. "Tidak perlu laptop. Kita bisa melihat hasilnya dari sini." Louis mengeluarkan ponsel. Namun, belum sempat ia membuka aplikasi, Gamma berseru, "Tuan ...." Louis dan tiga orang pengawal lain kompak menoleh ke arahnya. Ia sedang memegang ponsel. Rautnya serius, matanya yang melebar agak sedikit panik. "Ada apa?" Gamma menunjukkan ponselnya kepada Louis. "Perolehan suara kini 64 banding 36." "Siapa yang 64?" tanya Louis sembari meraih ponsel Gamma. Ia sampa
Grace terkesiap. Helaan napasnya terdengar kasar dan kesal. "Kau tidak bisa memutus hubungan kita secara sepihak, Louis. Kaulah yang dulu mendekatiku. Adilkah kalau kau meninggalkan aku begitu saja? Kau tidak takut dicap sebagai laki-laki berengsek?" Louis tidak mau berkomentar lagi. Ia tempatkan flashdisk ke dalam genggaman Grace, lalu melenggang masuk. Grace sontak berbalik dengan alis tertaut. "Louis, kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini." Ia hendak menyusul. Namun, empat orang pengawal tiba-tiba datang dari belakang dan menghadang pintu. "Maaf, Nona Evans. Tuan Harper memerintahkan kami untuk menghalangi siapa pun yang ingin masuk. Dia ingin beristirahat tanpa diganggu." "Kalian berani menentangku? Kalian lupa siapa aku?" ucap Grace, garang. "Maaf, Nona. Kami tidak bermaksud untuk menentang Anda," ujar Alpha dengan penuh keseriusan. "Kami hanya menjalankan perintah. Sekarang, Anda sebaiknya memeriksa apa yang Tuan Harper berikan kepada Anda. Saya rasa, Anda
Begitu rekaman berakhir, Grace bergeming. Tatapannya menggantung, pikirannya tertuju ke masa lalu. Dulu, sewaktu ia masih ditindas, ia selalu bertekad bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi orang hebat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak dihargai dan tidak pantas dihina. Tanpa ia sadari, tekadnya telah berubah menjadi ambisi. Ia tidak suka kalau ada yang menghalangi langkahnya. Ia tidak mau kembali ke masa suramnya lagi, berada di bawah kaki orang lain. Sekarang, ia justru telah melewati batas. Supaya tidak diinjak, ia malah menginjak orang lain. Ia pikir itu hanyalah pertahanan diri. Namun ternyata, ia telah menempatkan orang lain di posisinya dulu. "Apakah aku bodoh karena mempertahankan sepatu hak tinggiku? Aku juga cantik saat mengenakan sepatu kets. Haruskah aku membelinya satu?" renung Grace dengan mata berkabut. "Lagi pula, sepatu hak tinggi memang kurang cocok untukku," gumamnya sebelum menghela napas berat. *** Selesai mengganti pakaian, Louis turun
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Kamu m
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka