Hai, hai! Guys, kalau hari ini Pixie cuma update 1 bab, boleh gak? Pixie lagi sibuk nih. Pixie coba usahain 2 bab, tapi gak janji. Soalnya Pixie lagi ulang tahun. Huehehe .... Btw, makasi ya udah setia ngikutin cerita ini. Pixie doakan semoga kita semua selalu sehat, bahagia, sukses. Semoga yang baca ini rejekinya berlipat ganda dan gak bosan ikutin cerita-cerita Pixie ke depannya. Love you all!!!
Louis menghela napas berat. Ia tidak mungkin putus dengan Grace di hadapan banyak orang. Harga diri wanita itu bisa terluka. "Ace, ini sudah malam. Kita sebaiknya tidak mengganggu yang lain. Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain saja, hmm? Kau mau kita bicara di kamar?" Louis menunjuk ke belakang dengan menggunakan ibu jarinya. Grace mendengus terluka. "Kau lebih khawatir mengganggu yang lain dibandingkan mengusik pikiran dan perasaanku? Apakah kau sudah tidak menganggapku kekasihmu lagi? Sebenarnya, apa yang mau kau katakan?" Louis menghela napas berat. Ia baru sadar bahwa emosi sang kekasih memang sulit untuk dikendalikan, dan ia sering kewalahan menghadapinya. Mengapa selama beberapa bulan ia bisa tahan bersamanya? Apakah karena memang mereka jarang berjumpa? Ataukah ia dibutakan oleh tujuan semunya? "Ace," ia mengumpulkan segenap kesabaran, "tolong jangan memperumit keadaan. Kita bisa menyelesaikan ini—" "Kaulah yang memperumit keadaan, Louis. Sebelumnya kita baik-
Wajah Sky memucat. Ia tidak mengira bahwa hal itu bisa terkuak. Padahal, selama ini, ia sudah menyimpannya dengan sangat rapat. "Tidak. Itu tidak benar. Maksudku, memang benar aku sempat meminjam uang kepada rentenir. Tapi aku sudah melunasinya. Aku sudah tidak terlilit utang, dan aku tidak pernah bermaksud untuk menggerogoti harta Louis," terangnya dengan suara tipis dan serak. "Benarkah?" tanya Grace dengan nada meragukan. "Memangnya dari mana kau mendapat uang? Orang tuamu tidak tahu kau punya utang, bahkan setelah hubungan kalian membaik. Kau selalu berpura-pura oke di depan mereka. Kau tidak pernah menerima uang dari mereka." "Pikirmu aku tidak bisa berjuang?" timpal Sky geram. Air matanya membutir karena terdesak tekanan. "Aku sanggup menghidupi putriku sendiri. Aku bisa bekerja keras. Kau pikir selama ini aku hanya berpetualang, jalan-jalan keliling dunia menghabiskan uang orang tua dan bersenang-senang?" Sambil menahan getaran di bibir, Sky menggeleng lambat. "Aku
Semua orang terdiam. Alis mereka berkerut. Otak mereka sibuk menerka apa yang Grace rencanakan. "Apa maksudmu, Grace? Untuk apa kita membuka masalah ini kepada publik? Ini masalah pribadi. Biarkan saja tetap menjadi privasi. Kenapa malah membongkarnya?" Louis menggeleng tak habis pikir. "Kau lupa dengan apa yang sedang terjadi di luar sana?" Grace meruncingkan telunjuk ke arah pintu utama. "Publik masih bertanya-tanya tentang hubungan kita, Louis. Mereka penasaran tentang siapa perempuan murahan yang berani mendekatimu." Sambil menaikkan alis, Grace menurunkan nada bicara, "Kenapa tidak kita beberkan saja kebenarannya? Kita umumkan bahwa Sky adalah perempuan dalam skandalmu lima tahun lalu, dan putrinya adalah darah dagingmu. Biar publik yang menentukan apa keputusan yang harus kau ambil selanjutnya." Sambil meninggikan sebelah alis, Grace berbisik, "Kalau mereka bilang aku harus mengalah, aku terima. Berarti memang akal sehatku sedang sakit, sehingga aku tidak tahu mana ya
Mengetahui keberadaan gadis kecil itu, Grace mendesah cepat. Ia silangkan tangan di depan dada, bertanya, "Sejak kapan kau di sini?" Nada bicaranya sama sekali tidak ramah. Summer menggigit bibir. Ia agak kesulitan untuk menahan emosi. "Maaf, Nona Evans. Aku tidak sengaja mendengarkan perbincanganmu di telepon. Bisakah kamu membatalkan rencanamu? Aku tidak tahu video apa yang kau maksud, tapi aku tidak mau Mama dan Paman Louis mendapat masalah," pintanya dengan suara kecil yang menyayat hati. Sayangnya, Grace sama sekali tidak peduli. Raut wajahnya tetap dingin. "Kau berani menghalangi rencanaku? Apakah kau tidak sadar? Bukan aku yang memberi mereka masalah, tapi mereka sendiri yang membuatnya. Semua kekacauan ini tidak akan terjadi kalau ibumu tidak merebut Louis dariku." Summer berkedip pelan. Ia takut air matanya jatuh kalau pelupuknya bergerak cepat. Ia tidak mau terlihat lemah. "Bisakah kamu berhenti menyalahkan Mama? Mama sebetulnya tidak bersalah. Akulah yang salah. A
Sky terbelalak saat mendapati pintu kamar tamu yang terbuka. Apalagi, begitu ia memeriksa, tidak ada siapa-siapa di dalam. "Di mana Summer? Kenapa dia tidak ada di sini?" gumamnya heran. "Ponselku juga tidak ada di sini," timpal Louis sembari meletakkan buku-buku yang Summer pinjam, kembali ke atas meja. "Apakah dia terbangun karena teleponku berbunyi? Petugas keamanan pasti berusaha menghubungiku untuk memberitahukan tentang kedatangan Grace tadi." Alis Sky berkerut. "Kalau Summer terbangun karena suara ponselmu, itu berarti dia keluar untuk mencarimu." Sedetik kemudian, Sky terkesiap. Sebelah tangannya terangkat menutupi mulut. "Mungkinkah ... tadi dia pergi ke lantai atas untuk mengembalikan ponselmu? Apakah dia mendengar omongan Grace? Dia melihat pertengkaran kita?" Membayangkan kemungkinan tersebut, wajah Louis ikut tegang. Ia tidak berani menerka seberapa banyak yang telah Summer dengar. Ia belum siap kalau Summer tahu yang sebenarnya. Momennya belum tepat. "Kura
Dalam video itu, Louis sedang dipapah menuju ke sebuah kamar hotel oleh seorang perempuan berambut merah. Tak lama setelah mereka melewati pintu, Sky menyusul masuk. Wajahnya tampak jelas karena si editor video sengaja memperbesar layar saat ia menghadap kamera. Kemudian, tayangan video berpindah ke dalam kamar. Louis sedang berbaring di atas ranjang. Tubuhnya bergerak-gerak tak nyaman. Tangannya terus menarik kerah baju seolah berusaha melonggarkannya. Jarinya sesekali mencoba untuk mencopoti kancing di situ, tetapi gagal. Di dekat pintu, Sky tampak sedang mengobrol dengan si Rambut Merah. Wajahnya kini tidak terlihat karena posisinya berdiri membelakangi kamera. Namun, saat ia menyerahkan beberapa lembar uang, momen itu terekam jelas. Louis mengernyitkan dahi menyaksikannya. "Kenapa Sky memberi gadis itu uang?" gumamnya heran. Sedetik kemudian, ia berdecak kesal. "Itu bisa menimbulkan kesalahpahaman yang fatal." Setelah menghitung uang tersebut dan mengangguk, si Rambut Mer
Setelah beberapa jam duduk di depan komputer, Louis akhirnya bisa meregangkan otot-otot. Ia memutar kepala, merentangkan tangan selebar-lebarnya, serta menggerak-gerakkan pinggangnya. Ia tampak lesu dan lelah. Namun, ketika pandangannya kembali ke monitor, semangatnya bangkit. Senyum miring terukir di wajahnya. "Mari kita periksa sekali lagi apakah video itu masih ada," gumamnya sembari meraih ponsel. Mendapati video skandalnya di urutan trending pertama, ia mendengus kecil. "Ternyata dia tidak mengindahkan peringatanku. Baiklah, kalau begitu," Louis meletakkan telunjuknya di atas tombol enter pada keyboard komputer, "selamat menyesali keputusan bodohmu." Begitu ia menjatuhkan telunjuk, monitor besar di hadapannya itu langsung menunjukkan angka persen. Dimulai dari nol lalu perlahan meningkat. Saat indikator tersebut mencapai 100%, layar ponselnya berubah biru. Tidak ada satu pun video yang terlihat di sana. Melihat itu, Louis mendesah lega. "Misi pertama sudah terlak
"Louis, apa yang kau lakukan di sini?" bisik Sky sambil melirik jam. "Kau tidak tidur? Kenapa kau berpakaian seperti ini? Kau mau ke mana?" "Aku membangunkanmu?" Louis malah mengalihkan pembicaraan. Ia elus pipi Sky dengan ibu jari, tatapannya mendadak penuh kasih. "Ya. Kau tiba-tiba mencium keningku. Padahal, kau sudah berjanji untuk tidak menyentuhku selama kau masih kekasih Grace." Wajah Louis berubah kecut. "Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku juga tidak bermaksud ingkar janji. Aku hanya mau pamit." "Kau mau ke mana?" Sky mengulang pertanyaannya dengan penekanan lebih. "Ada yang harus kuurus di M City." Sky terbelalak. "M City? Apakah ... itu ada hubungannya dengan skandal kita?" Louis mengangguk. "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan meluruskan semua kesalahpahaman. Masalah ini akan segera berakhir, dan namamu akan kembali bersih." "Bagaimana caranya? Apa yang kau rencanakan?" Louis berdesus. Ibu jarinya berpindah ke bibir Sky. Ia terlihat seperti
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River. Kurasa
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr
Begitu Pablo pergi, Sky dan Louis keluar menghampiri pelayan tadi. "Kami sudah siap," seru Sky, ceria. Sang pelayan menyambut mereka dengan tawa. "Kalian memang sangat unik. Baru kali ini ada pasangan bulan madu yang ingin belajar menjadi pelayan." "Kami ingin mencoba pengalaman baru. Setelah ini, kami berencana untuk pergi ke ruang kemudi. Kapan lagi kami bisa belajar menjadi nahkoda di perairan Antartika. Benar begitu, Louis?" "Ya, benar. Sebelum lanjut ke situ, ayo kita selesaikan misi ini," Louis memakaikan masker di wajah Sky. "Kami tidak ingin membuat kehebohan di sini. Orang-orang bisa histeris kalau tahu kami yang mengantarkan makanan mereka," terangnya seraya mengernyit. Sang pelayan mengangguk. "Ya, saya paham. Memang lebih baik begitu. Nanti, tolong ikuti arahan saya." "Siap, Tuan!" Sky menegakkan badan dan mengentak lantai dengan sepatu. Melihat semangat sang istri, Louis tersenyum geli. Didampingi oleh pelayan baik hati itu, mereka mulai menjalankan misi
Sky pun menyimak apa yang dikerjakan oleh Louis. Ternyata, Louis memeriksa data individu yang pernah berinteraksi dengan akun Angelica dan Kendrick. Setelah menemukan beberapa nama, ia mencocokkannya dengan data penumpang kapal. Begitu hasilnya keluar, mereka terkesiap. "Bukankah dia petugas keamanan itu?" desah Sky, penuh keterkejutan. Louis mendengus tak senang. "Sekarang semuanya jelas. Kenapa mereka bisa membawaku ke kamar Angelica dengan cepat, kenapa mereka sempat membela Angelica, dan kenapa Draco menghilang tanpa jejak. Semua itu karena laki-laki bernama Pablo ini." "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Louis?" tanya Sky dengan nada serius. "Ayo kita modifikasi perangkap yang sudah kita rancang." Sky dan Louis berdiskusi selama beberapa saat. Begitu strategi mereka matang, Sky kembali keluar kamar. Ia pergi ke ruang security. Sesuai dugaan, tangan kanan Kendrick berada di sana. "Apakah sudah ada perkembangan tentang Draco?" tanya Sky dengan wajah resah. Pablo meng