Siapa nih yang senyum-senyum sendiri?
Sejak obrolannya dengan Louis di perpustakaan, Sky terus bertanya-tanya. Apa yang akan terjadi setelah ia menceritakan kebenaran? Apakah kemesraan mereka akan terulang? Mungkinkah Summer akan punya adik dalam waktu dekat? Dadanya tergelitik setiap bayangan itu lewat. Ia hanya bisa berharap kalau Summer segera tidur agar urusan mereka bisa cepat terselesaikan. Malangnya, hingga satu buku habis dibaca, gadis kecil yang duduk di pangkuan Louis itu masih terjaga. Meskipun ia sudah lemas, mata sayunya terus berkedip-kedip mengumpulkan kesadaran. "Sayang, kenapa kamu masih belum tidur?" Sky mengelus rambut sang balita. "Aku belum mengantuk, Mama. Bagaimana kalau kita membaca satu buku lagi?" Summer memaksa tangannya untuk bergerak meraih buku di atas meja. Melihat gadis kecil itu kesusahan, Louis pun membantu. "Kamu mau membaca buku ini?" Ia menukar buku di pangkuan Summer dengan yang baru. "Ya. Bisakah kamu membacanya, Paman?" sahutnya pelan. "Tentu saja." Louis membuka
"Kau tahu?" bisik Sky datar. "Kenapa aku bisa ada di sana malam itu?" Louis menggeleng. "Itu juga yang ingin kuketahui. Kenapa kau datang ke hotel itu? Bukankah kau berjanji untuk datang langsung ke acara kelulusanku?" "Karena aku ingin memberikan kejutan untukmu," sahut Sky, membuat suasana hening sejenak. Louis tampak terkejut dengan pernyataannya. "Kejutan?" Sky menarik tangannya dari genggaman Louis. Sambil mencengkeram jemarinya sendiri, ia tertunduk. "Kupikir kau akan senang dengan kedatanganku. Aku bermaksud ingin menawarkan diri untuk menjadi pendamping wisudamu." "Tunggu, tunggu." Tangan Louis terangkat, meminta jeda. Matanya membulat, ragu pada kemungkinan yang muncul. "Kau ingin menjadi pendamping wisudaku? Kenapa? Apakah ... kau juga menyukaiku?" Bibir Sky mengerucut. Ia terlalu malu untuk mengakuinya. "Itu lima tahun yang lalu, Louis. Aku masih sangat muda. Aku sering bertindak tanpa berpikir panjang. Karena itu," ia mengernyit, "ya, aku nekat ingin men
Louis mendesah tak percaya. Ia kini mengerti apa yang menyebabkan Sky menghilang. Itu bukan karena keegoisan ataupun ketidakpedulian sang wanita, tetapi karena kebodohannya sendiri. "Astaga, Sky," erang Louis sembari menjepit pangkal hidungnya. Matanya terpejam sesaat. "Kau tahu?" ia kembali memandangi sang wanita. "Yang kubicarakan saat itu bukan kamu. Aku bahkan tidak tahu dengan siapa aku tidur." Sky berkedip sendu. "Waktu itu, aku mana sempat berpikir? Kudengar, kau menyebutku wanita murahan karena sudah tidur denganmu. Kau membenciku, dan mengatakan bahwa aku berkebalikan dari wanita impianmu." "Tidak," sangkal Louis sambil menggeleng cepat. Ia genggam tangan Sky lebih erat. "Aku bukan membicarakan dirimu, tapi perempuan berambut merah itu." Alis Sky tertaut. "Perempuan berambut merah? Orang yang memapahmu keluar dari bar itu?" Mata Louis melebar. "Ya! Perempuan itulah yang ditunjukkan oleh si wartawan. Aku mengira kalau aku sudah tidur dengannya. Karena itu, aku s
"Tidak, Sky," geleng Louis, diiringi helaan napas berat. Ia takut kalau Sky menarik diri darinya. Ia tidak mau berpisah. "Bukan kau yang jahat, tapi aku. Aku jahat karena menjadikan Grace pelarian. Tapi aku akan lebih jahat lagi kalau aku mengabaikan kamu dan Summer," lanjutnya, mengharapkan pengertian. Sedetik kemudian, ia memindahkan tangannya ke pundak Sky. "Jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab penuh soal ini. Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Grace secara baik-baik, memastikan tidak ada media yang menyalahkanmu, dan menebus apa yang telah kuperbuat kepadamu." Sky menggeleng tak mengerti. "Bagaimana dengan impianmu untuk punya istri yang ideal? Aku tidak jamin bisa memberikan banyak keuntungan untukmu dan perusahaanmu. Aku bukan pebisnis." "Bisakah kau berhenti memikirkan soal istri yang ideal? Aku mengarangnya untuk mengintimidasi si Rambut Merah itu. Aku sengaja menyebutkan hal-hal yang menurutku mustahil dicapai olehnya," Louis mengernyit. "T
Louis menghela napas berat. Ia tidak mungkin putus dengan Grace di hadapan banyak orang. Harga diri wanita itu bisa terluka. "Ace, ini sudah malam. Kita sebaiknya tidak mengganggu yang lain. Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain saja, hmm? Kau mau kita bicara di kamar?" Louis menunjuk ke belakang dengan menggunakan ibu jarinya. Grace mendengus terluka. "Kau lebih khawatir mengganggu yang lain dibandingkan mengusik pikiran dan perasaanku? Apakah kau sudah tidak menganggapku kekasihmu lagi? Sebenarnya, apa yang mau kau katakan?" Louis menghela napas berat. Ia baru sadar bahwa emosi sang kekasih memang sulit untuk dikendalikan, dan ia sering kewalahan menghadapinya. Mengapa selama beberapa bulan ia bisa tahan bersamanya? Apakah karena memang mereka jarang berjumpa? Ataukah ia dibutakan oleh tujuan semunya? "Ace," ia mengumpulkan segenap kesabaran, "tolong jangan memperumit keadaan. Kita bisa menyelesaikan ini—" "Kaulah yang memperumit keadaan, Louis. Sebelumnya kita baik-
Wajah Sky memucat. Ia tidak mengira bahwa hal itu bisa terkuak. Padahal, selama ini, ia sudah menyimpannya dengan sangat rapat. "Tidak. Itu tidak benar. Maksudku, memang benar aku sempat meminjam uang kepada rentenir. Tapi aku sudah melunasinya. Aku sudah tidak terlilit utang, dan aku tidak pernah bermaksud untuk menggerogoti harta Louis," terangnya dengan suara tipis dan serak. "Benarkah?" tanya Grace dengan nada meragukan. "Memangnya dari mana kau mendapat uang? Orang tuamu tidak tahu kau punya utang, bahkan setelah hubungan kalian membaik. Kau selalu berpura-pura oke di depan mereka. Kau tidak pernah menerima uang dari mereka." "Pikirmu aku tidak bisa berjuang?" timpal Sky geram. Air matanya membutir karena terdesak tekanan. "Aku sanggup menghidupi putriku sendiri. Aku bisa bekerja keras. Kau pikir selama ini aku hanya berpetualang, jalan-jalan keliling dunia menghabiskan uang orang tua dan bersenang-senang?" Sambil menahan getaran di bibir, Sky menggeleng lambat. "Aku
Semua orang terdiam. Alis mereka berkerut. Otak mereka sibuk menerka apa yang Grace rencanakan. "Apa maksudmu, Grace? Untuk apa kita membuka masalah ini kepada publik? Ini masalah pribadi. Biarkan saja tetap menjadi privasi. Kenapa malah membongkarnya?" Louis menggeleng tak habis pikir. "Kau lupa dengan apa yang sedang terjadi di luar sana?" Grace meruncingkan telunjuk ke arah pintu utama. "Publik masih bertanya-tanya tentang hubungan kita, Louis. Mereka penasaran tentang siapa perempuan murahan yang berani mendekatimu." Sambil menaikkan alis, Grace menurunkan nada bicara, "Kenapa tidak kita beberkan saja kebenarannya? Kita umumkan bahwa Sky adalah perempuan dalam skandalmu lima tahun lalu, dan putrinya adalah darah dagingmu. Biar publik yang menentukan apa keputusan yang harus kau ambil selanjutnya." Sambil meninggikan sebelah alis, Grace berbisik, "Kalau mereka bilang aku harus mengalah, aku terima. Berarti memang akal sehatku sedang sakit, sehingga aku tidak tahu mana ya
Mengetahui keberadaan gadis kecil itu, Grace mendesah cepat. Ia silangkan tangan di depan dada, bertanya, "Sejak kapan kau di sini?" Nada bicaranya sama sekali tidak ramah. Summer menggigit bibir. Ia agak kesulitan untuk menahan emosi. "Maaf, Nona Evans. Aku tidak sengaja mendengarkan perbincanganmu di telepon. Bisakah kamu membatalkan rencanamu? Aku tidak tahu video apa yang kau maksud, tapi aku tidak mau Mama dan Paman Louis mendapat masalah," pintanya dengan suara kecil yang menyayat hati. Sayangnya, Grace sama sekali tidak peduli. Raut wajahnya tetap dingin. "Kau berani menghalangi rencanaku? Apakah kau tidak sadar? Bukan aku yang memberi mereka masalah, tapi mereka sendiri yang membuatnya. Semua kekacauan ini tidak akan terjadi kalau ibumu tidak merebut Louis dariku." Summer berkedip pelan. Ia takut air matanya jatuh kalau pelupuknya bergerak cepat. Ia tidak mau terlihat lemah. "Bisakah kamu berhenti menyalahkan Mama? Mama sebetulnya tidak bersalah. Akulah yang salah. A
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka
"Maaf, Mrs. Ross. Semua anak sudah menjawab pertanyaan, kecuali Summer. Kurasa dia belum mengerti," tutur Gigi dengan nada iba. Mendengar itu, semua orang kompak menatap Summer. River yang sejak tadi fokus dengan dirinya sendiri mendadak merasa bersalah. Padahal, ia sudah berjanji untuk membantu Summer kalau ia mengalami kesulitan di kelas. "Summer, apakah kamu belum mengerti?" tanya River, mendahului Mrs. Ross yang baru sempat membuka mulut. Summer berkedip lugu. Senyumnya manis. "Aku mengerti," angguknya. "Summer," panggil Mrs. Ross dengan penuh perhatian, "kalau kamu memang belum mengerti, tidak apa-apa. Ibu guru bisa menjelaskannya lagi padamu." "Tidak usah, Mrs. Ross. Anda tidak perlu menjelaskan ulang. Aku sungguh sudah mengerti," Summer mengangguk-angguk lebih cepat. "Kalau kau memang sudah mengerti, kenapa kau diam saja sejak tadi?" celetuk Gigi, nyinyir. Summer mengedikkan bahu ringan. "Aku tidak mau menghambat pembelajaran. Aku hanya murid sementara di kelas ini.