"Tunggu, tunggu," Kara memegangi pundak si gadis kecil, "kamu tadi memanggilku apa, Sayang?" "Nenek," sahut Summer bangga. "Tadi Kakek Frank bilang kalau dia menganggapku sebagai cucunya sendiri. Karena aku menganggapnya sebagai kakekku juga, dia mengizinkan aku untuk memanggilnya Kakek. Bukankah itu artinya aku juga harus memanggilmu Nenek? Kalian berdua adalah suami istri." Hati Kara sontak diliputi keharuan. Sambil tersenyum lebar, ia mengangguk dan mengelus pipi gembul Summer. "Ya, Sayang. Aku justru senang kamu memanggilku Nenek. Mulai saat ini, kamu adalah cucuku dan aku adalah nenekmu, hmm?" "Ya!" Summer melompat kecil. Selang satu kedipan, ia memeluk Kara dan tertawa lirih. "Terima kasih sudah mengizinkan aku memanggilmu Nenek. Aku senang sekali. Sekarang, aku punya dua kakek dan dua nenek. Semuanya sangat baik dan sayang kepadaku. Aku sangat beruntung!" Ia mengeratkan pelukan dan menggoyang-goyangkan badan. Menyaksikan momen itu, semua orang tersenyum. Mereka t
Sejak obrolannya dengan Louis di perpustakaan, Sky terus bertanya-tanya. Apa yang akan terjadi setelah ia menceritakan kebenaran? Apakah kemesraan mereka akan terulang? Mungkinkah Summer akan punya adik dalam waktu dekat? Dadanya tergelitik setiap bayangan itu lewat. Ia hanya bisa berharap kalau Summer segera tidur agar urusan mereka bisa cepat terselesaikan. Malangnya, hingga satu buku habis dibaca, gadis kecil yang duduk di pangkuan Louis itu masih terjaga. Meskipun ia sudah lemas, mata sayunya terus berkedip-kedip mengumpulkan kesadaran. "Sayang, kenapa kamu masih belum tidur?" Sky mengelus rambut sang balita. "Aku belum mengantuk, Mama. Bagaimana kalau kita membaca satu buku lagi?" Summer memaksa tangannya untuk bergerak meraih buku di atas meja. Melihat gadis kecil itu kesusahan, Louis pun membantu. "Kamu mau membaca buku ini?" Ia menukar buku di pangkuan Summer dengan yang baru. "Ya. Bisakah kamu membacanya, Paman?" sahutnya pelan. "Tentu saja." Louis membuka
"Kau tahu?" bisik Sky datar. "Kenapa aku bisa ada di sana malam itu?" Louis menggeleng. "Itu juga yang ingin kuketahui. Kenapa kau datang ke hotel itu? Bukankah kau berjanji untuk datang langsung ke acara kelulusanku?" "Karena aku ingin memberikan kejutan untukmu," sahut Sky, membuat suasana hening sejenak. Louis tampak terkejut dengan pernyataannya. "Kejutan?" Sky menarik tangannya dari genggaman Louis. Sambil mencengkeram jemarinya sendiri, ia tertunduk. "Kupikir kau akan senang dengan kedatanganku. Aku bermaksud ingin menawarkan diri untuk menjadi pendamping wisudamu." "Tunggu, tunggu." Tangan Louis terangkat, meminta jeda. Matanya membulat, ragu pada kemungkinan yang muncul. "Kau ingin menjadi pendamping wisudaku? Kenapa? Apakah ... kau juga menyukaiku?" Bibir Sky mengerucut. Ia terlalu malu untuk mengakuinya. "Itu lima tahun yang lalu, Louis. Aku masih sangat muda. Aku sering bertindak tanpa berpikir panjang. Karena itu," ia mengernyit, "ya, aku nekat ingin men
Louis mendesah tak percaya. Ia kini mengerti apa yang menyebabkan Sky menghilang. Itu bukan karena keegoisan ataupun ketidakpedulian sang wanita, tetapi karena kebodohannya sendiri. "Astaga, Sky," erang Louis sembari menjepit pangkal hidungnya. Matanya terpejam sesaat. "Kau tahu?" ia kembali memandangi sang wanita. "Yang kubicarakan saat itu bukan kamu. Aku bahkan tidak tahu dengan siapa aku tidur." Sky berkedip sendu. "Waktu itu, aku mana sempat berpikir? Kudengar, kau menyebutku wanita murahan karena sudah tidur denganmu. Kau membenciku, dan mengatakan bahwa aku berkebalikan dari wanita impianmu." "Tidak," sangkal Louis sambil menggeleng cepat. Ia genggam tangan Sky lebih erat. "Aku bukan membicarakan dirimu, tapi perempuan berambut merah itu." Alis Sky tertaut. "Perempuan berambut merah? Orang yang memapahmu keluar dari bar itu?" Mata Louis melebar. "Ya! Perempuan itulah yang ditunjukkan oleh si wartawan. Aku mengira kalau aku sudah tidur dengannya. Karena itu, aku s
"Tidak, Sky," geleng Louis, diiringi helaan napas berat. Ia takut kalau Sky menarik diri darinya. Ia tidak mau berpisah. "Bukan kau yang jahat, tapi aku. Aku jahat karena menjadikan Grace pelarian. Tapi aku akan lebih jahat lagi kalau aku mengabaikan kamu dan Summer," lanjutnya, mengharapkan pengertian. Sedetik kemudian, ia memindahkan tangannya ke pundak Sky. "Jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab penuh soal ini. Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Grace secara baik-baik, memastikan tidak ada media yang menyalahkanmu, dan menebus apa yang telah kuperbuat kepadamu." Sky menggeleng tak mengerti. "Bagaimana dengan impianmu untuk punya istri yang ideal? Aku tidak jamin bisa memberikan banyak keuntungan untukmu dan perusahaanmu. Aku bukan pebisnis." "Bisakah kau berhenti memikirkan soal istri yang ideal? Aku mengarangnya untuk mengintimidasi si Rambut Merah itu. Aku sengaja menyebutkan hal-hal yang menurutku mustahil dicapai olehnya," Louis mengernyit. "T
Louis menghela napas berat. Ia tidak mungkin putus dengan Grace di hadapan banyak orang. Harga diri wanita itu bisa terluka. "Ace, ini sudah malam. Kita sebaiknya tidak mengganggu yang lain. Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain saja, hmm? Kau mau kita bicara di kamar?" Louis menunjuk ke belakang dengan menggunakan ibu jarinya. Grace mendengus terluka. "Kau lebih khawatir mengganggu yang lain dibandingkan mengusik pikiran dan perasaanku? Apakah kau sudah tidak menganggapku kekasihmu lagi? Sebenarnya, apa yang mau kau katakan?" Louis menghela napas berat. Ia baru sadar bahwa emosi sang kekasih memang sulit untuk dikendalikan, dan ia sering kewalahan menghadapinya. Mengapa selama beberapa bulan ia bisa tahan bersamanya? Apakah karena memang mereka jarang berjumpa? Ataukah ia dibutakan oleh tujuan semunya? "Ace," ia mengumpulkan segenap kesabaran, "tolong jangan memperumit keadaan. Kita bisa menyelesaikan ini—" "Kaulah yang memperumit keadaan, Louis. Sebelumnya kita baik-
Wajah Sky memucat. Ia tidak mengira bahwa hal itu bisa terkuak. Padahal, selama ini, ia sudah menyimpannya dengan sangat rapat. "Tidak. Itu tidak benar. Maksudku, memang benar aku sempat meminjam uang kepada rentenir. Tapi aku sudah melunasinya. Aku sudah tidak terlilit utang, dan aku tidak pernah bermaksud untuk menggerogoti harta Louis," terangnya dengan suara tipis dan serak. "Benarkah?" tanya Grace dengan nada meragukan. "Memangnya dari mana kau mendapat uang? Orang tuamu tidak tahu kau punya utang, bahkan setelah hubungan kalian membaik. Kau selalu berpura-pura oke di depan mereka. Kau tidak pernah menerima uang dari mereka." "Pikirmu aku tidak bisa berjuang?" timpal Sky geram. Air matanya membutir karena terdesak tekanan. "Aku sanggup menghidupi putriku sendiri. Aku bisa bekerja keras. Kau pikir selama ini aku hanya berpetualang, jalan-jalan keliling dunia menghabiskan uang orang tua dan bersenang-senang?" Sambil menahan getaran di bibir, Sky menggeleng lambat. "Aku
Semua orang terdiam. Alis mereka berkerut. Otak mereka sibuk menerka apa yang Grace rencanakan. "Apa maksudmu, Grace? Untuk apa kita membuka masalah ini kepada publik? Ini masalah pribadi. Biarkan saja tetap menjadi privasi. Kenapa malah membongkarnya?" Louis menggeleng tak habis pikir. "Kau lupa dengan apa yang sedang terjadi di luar sana?" Grace meruncingkan telunjuk ke arah pintu utama. "Publik masih bertanya-tanya tentang hubungan kita, Louis. Mereka penasaran tentang siapa perempuan murahan yang berani mendekatimu." Sambil menaikkan alis, Grace menurunkan nada bicara, "Kenapa tidak kita beberkan saja kebenarannya? Kita umumkan bahwa Sky adalah perempuan dalam skandalmu lima tahun lalu, dan putrinya adalah darah dagingmu. Biar publik yang menentukan apa keputusan yang harus kau ambil selanjutnya." Sambil meninggikan sebelah alis, Grace berbisik, "Kalau mereka bilang aku harus mengalah, aku terima. Berarti memang akal sehatku sedang sakit, sehingga aku tidak tahu mana ya
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya