Guys, maaf telat. Semoga terhibur oleh kelucuan Summer. Selamat beraktivitas!
"Sayang sekali, ini masih terlalu awal untuk melihat aurora," gumam Summer sembari mendongak ke angkasa. "Bagaimana kalau dua bulan lagi, kamu datang lagi ke sini, Paman Louis? Kita bisa menari-nari sambil mengikuti pergerakan cahayanya." Mendengar itu, Louis tersenyum. Ia berhenti mengatur teleskopnya, menoleh ke arah si gadis kecil. "Itu ide bagus, Summer. Kita bisa menari-nari bertiga. Aku bisa memakai jas, sedangkan kau dan ibumu mengenakan gaun yang indah. Itu akan menjadi pesta bintang yang menyenangkan." "Kurasa itu ide yang kurang bijak, Tuan Louis Harper," celetuk Freddy tanpa terduga. Saat Louis menoleh, ia memasang senyum yang terkesan meremehkan. "Dua bulan lagi, di sini sudah musim gugur. Udara terlalu dingin untuk Summer dan Sky mengenakan gaun cantik. Mereka bisa membeku. Lagi pula, mereka lebih suka hangat." Wajah Louis sontak berubah kaku. "Kau kira aku tega membiarkan mereka kedinginan? Aku bisa saja membangun gedung berdinding dan beratap kaca yang dilengk
Mendengar pekikan Summer, Sky langsung melepas kursi yang sedang disusunnya. Ia berlari ke tenda, disusul oleh Louis, Freddy, dan yang lain. "Sayang, ada apa?" tanya Sky spontan dari pintu tenda. Ternyata, Summer telah berdiri di pojokan. Ia tidak berani bergeser ke mana-mana. Kakinya kaku, tubuhnya gemetar. Pundaknya naik begitu tinggi, terdesak oleh ketakutan. "Mama ...." Gadis kecil itu bahkan tidak berani bersuara kencang. Dagunya berkedut menahan tangis. Sambil mencebik, ia melihat ke arah lantai yang penuh dengan barang-barang berserakan. Sky pun melihat ke arah yang sama. Menemukan seekor ular yang sedang menggoyangkan ekor dan menatap ke arah putrinya, wajahnya langsung memucat. "Astaga! Kenapa bisa ada ular di situ?" desahnya spontan. Sedetik kemudian, ia memajukan tangan. "Sayang, tetaplah menjadi patung di situ, oke? Ular itu tidak akan menyerang kalau kamu tetap diam. Jangan membuat dia merasa terancam." Sang balita mengangguk lambat. "Oke, Mama. Tapi ku
Edmund menyeret Louis ke arah jalan setapak dengan tampang sangar. Meskipun Alice berusaha untuk menghentikan, ia tetap meneruskan aksinya. "Kesabaranku sudah habis. Aku tidak mau melihatmu lagi di sini. Enyahlah dari kehidupan putri dan cucuku!" Ia mendorong Louis sehingga pria malang itu terhuyung-huyung. Setelah menemukan keseimbangannya, Louis malah berdiri di hadapan Edmund lagi. "Tuan Hills, mari kita bicarakan persoalan ini dengan kepala dingin. Mengusirku bukanlah solusi terbaik. Aku justru harus tetap di sini. Bagaimana aku bisa melindungi Sky dan Summer kalau Anda memaksaku pergi?" Edmund mendengus sinis. "Menjaga mereka, katamu? Kaulah yang memberi mereka musibah! Ular tadi tidak akan pernah mengancam Summer kalau kau tidak ada di sini. Karena itu, cepat pergi!" Edmund meruncingkan telunjuk ke arah jalan. Matanya menyala oleh amarah. "Menjauhlah dari putri dan cucuku! Aku tidak mau mereka menderita karena ulahmu lagi!" Menyaksikan hal itu, Sky akhirnya me
Sepanjang jalan, Summer enggan lepas dari pelukan Sky. Rautnya sedih, mulutnya bungkam. Ia juga tidak mau melepas ranselnya. Ia seolah ingin protes, mengatakan bahwa ia masih ingin bertualang bersama Louis. Bahkan sampai tiba di rumah, gadis kecil itu masih menempel seperti anak koala kepada induknya. Alhasil, ia turun dari mobil dengan digendong oleh sang ibu. "Sky, kau tampak lelah. Mau aku saja yang membawa Summer masuk?" tanya Freddy penuh perhatian. "Itu akan sangat membantu. Aku perlu menurunkan barang-barang dari mobil." Sedetik kemudian, Sky menatap sang putri. "Sayang, apakah kamu mau digendong oleh Paman Fred?" Bukannya menjawab, Summer malah memindahkan kepalanya ke pundak Sky yang lain. Sambil menyandarkan pipinya di sana, ia memeluk sang ibu lebih erat. "Aku mau Mama saja yang membawaku masuk. Selain Mama, aku hanya mau Paman Louis," gumamnya serak. Sky mengembuskan napas pasrah. "Terima kasih, Fred. Tapi, biar aku saja yang membawa putriku masuk." Lengkun
"Tidak! Lepaskan aku! Paman Louis, tolong! Paman Louis!" Suara putus asa Summer masih terngiang dalam telinga Louis. Semakin sering itu terulang, semakin sesak dadanya. Darah pun meletup-letup di puncak kepalanya. "Dia pikir ancamanku hanya gertakan? Tunggu saja nanti. Satu goresan di tubuh Summer akan kubayar dengan seribu tusukan!" Sambil menggertakkan geraham, Louis menginjak pedal gas lebih dalam. Sayangnya, mobil yang ia beli dari pengurus perkemahan itu tidak sebagus mobil sebelumnya. Lajunya tetap tidak sesuai yang ia harapkan. "Sial!" umpatnya dengan mata memerah. Tangannya kini mencengkeram kemudi begitu erat seolah-olah itu musuh yang ingin dihabisinya. "Kita tidak akan bisa tiba tepat waktu kalau hanya ini kecepatan maksimalnya. Di mana tim darurat?" Omega memeriksa ponselnya. "Masih dalam perjalanan, Tuan." "Dan polisi?" "Masih dalam perjalanan juga." Terlalu kesal, Louis memukul kemudinya. "Kenapa mereka begitu lambat? Apakah mereka pergi ke sana dengan otop
"Apakah kau sedang menguji kesabaranku? Aku tidak sudi punya anak nakal yang sangat merepotkan sepertimu," gerutu Kendrick dengan wajah mengernyit. Mendapat tanggapan semacam itu, Summer mengerucutkan bibir. "Kita baru bertemu sekali dan ini belum beberapa menit. Kenapa kau sudah menyebutku anak nakal yang merepotkan? Aku ini anak manis yang mandiri, Tuan. Kau tidak akan menyesal kalau punya anak sepertiku," angguknya meyakinkan. "Berhentilah menuduhku sebagai ayahmu! Kau tidak lihat? Kita sama sekali tidak mirip. Warna rambut kita saja berbeda." Kendrick menyentuh beberapa helai rambut keriting Summer dengan dua jari seolah-olah itu adalah sesuatu yang menjijikkan. Namun ternyata, sang balita tidak terintimidasi. Ekspresinya tidak berubah. "Aku mewarisi rambut dan wajah Mama, jadi wajar kalau rambut dan wajah kita berbeda," celetuk Summer ringan. "Itu tidak menutup kemungkinan kalau kau adalah ayahku. Mungkin saja, kau memiliki gen yang lemah." Kendrick mendengus tak perca
"Kenapa kau ngotot sekali mengatakan bahwa aku adalah ayahmu? Louis-lah orang yang seharusnya kau tuntut, bukan aku! Aku bukan ayahmu!" tegas Kendrick, terdengar agak putus asa. Ia tidak sadar bahwa bibir balita di hadapannya sedikit berkedut. Summer sebetulnya sedang setengah mati menahan tawa. Tingkah Kendrick sangat lucu baginya. Ia senang mengusili laki-laki itu. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk mengaku lagi. Tidak usah merengek, Tuan. Sekarang, kau lebih baik menjelaskan kenapa kau menculikku. Kalau tidak, bagaimana aku bisa paham?" Summer menjepit lehernya dengan pundak. Ia terlihat menggemaskan dengan pose tersebut. Kendrick pun meruncingkan telunjuk. "Dengarkan baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi." "Oke." Summer menyingkirkan rambut yang menutupi kupingnya dengan punggung tangan. Kemudian, ia duduk manis. "Ayahmu telah menghancurkan karier dan reputasiku. Karena itu, aku ingin membalas kejahatannya dengan melemparmu ke jurang." Mata Summer seket
Begitu masuk ke kamar mandi, Summer langsung mengunci pintu. Kemudian, ia melihat sekeliling. Ternyata, itu adalah kamar mandi mewah yang dilengkapi shower dan bak mandi yang estetik. "Kamar mandi untuk tamu saja semewah ini. Apalagi kamar mandinya sendiri. Ini pasti rumah singgahnya," gumam balita itu sambil berkedip-kedip. Saat pandangannya melintasi jendela, matanya membulat. Ia senang karena dugaannya tepat. "Itu dia! Aku harus segera memeriksa situasi di luar!" batinnya diiringi anggukan tegas. Tanpa membuang waktu, Summer merangkak naik ke bak mandi. Sambil berpijak pada tepiannya, ia mengintip ke luar jendela. Sayangnya, di luar terlalu gelap. Tidak ada petunjuk yang bisa ia dapat. "Seandainya saja aku membawa ranselku, aku pasti sudah mengambil senter," desah Summer kecewa. Namun, detik berikutnya, ia mengerjap. "Oh?" Summer berkedip-kedip, membiarkan mata abu-abunya beradaptasi dengan gelap. Keningnya ditekan lebih kuat ke kaca jendela, seakan-akan itu bisa
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya