Malam semakin larut, tetapi dua insan yang baru saja masuk kamarnya itu belum merasakan kantuk sama sekali.Yeah! Gavriel dan Azriya baru saja dari kamar Adolf lantaran malam ini harus melepas perban bocah tampan itu. Luka kecelakaannya beberapa bulan lalu sudah sepenuhnya kering, Azriya juga meminumkan vitamin untuk Adolf agar tubuh anak laki-laki itu kuat."Syukur Adolf sudah benar-benar pulih, Riya. Lukanya sudah kering semua," ucap Gavriel seraya mendudukkan dirinya di ranjang."Tinggal kasih pelembab saja kulitnya biar warnanya cepat kembali seperti semula. Nanti aku minta ke Kak Andreas."Gavriel mengangguk, "makasih, Riya," ucapnya."Sama-sama, Gav. Sebenarnya masih ada yang ingin aku bicarakan, ini tentang Mommy.""Mommy?" tanya Gavriel dengan kening mengerut."Kamu 'kan katanya sempat cari tahu tentang Mommy, dan kata kamu ada orang lain di baliknya. Mungkin nggak kalau orang itu ada di sekitar kita?"Deg!Gavriel tertegun mendengarnya."Setiap ada aku, pasti ada saja kesiala
Azriya berjalan cepat memasuki mansion dan langsung naik menuju kamarnya. Bahkan wanita cantik itu sampai tidak mengantar Austin dan Adolf ke kamar. Kekesalannya lantaran sikap Matthew yang kurang ajar benar-benar membuat emosinya meluap. Brakkk!"Pelan-pelan, Azriya! Pintuku bisa lepas kalau kau buka paksa seperti itu!""Buang saja sekalian kalau rusak! Aku tidak peduli!"Gavriel meringis melihat sang istri yang begitu emosi. Ia belum tahu penyebab kemarahan Azriya, karena istrinya itu memang belum jujur. Sedangkan selama di Mansion Robertson tadi, Azriya lebih banyak diam.Sama seperti perjalanannya pulang di mobil, Azriya masih betah bungkam. Beruntung mobilnya berpisah dengan sang Mommy dan kedua anaknya, kalau tidak pasti semuanya akan bertambah rumit."Ada apa sebenarnya? Apa yang mengganggumu, Baby?"Sret!Azriya melayangkan tatapan tajam kepada Gavriel. Wanita cantik itu tampak mendengus kesal dan lantas mendudukkan dirinya di ranjang."Aku sebal sama Kakak Iparmu!""Kak Matt
Pagi ini Gavriel langsung menghubungi Zhask untuk memasukkan orangnya ke dalam Mansion Robertson, tujuannya adalah untuk mengawasi pergerakan Matthew. Mengingat pria itu penuh tipu muslihat, buktinya ia bisa mengelabuhi istri sendiri. Maka Gavriel perlu mata-mata sebelum memberikan pelajaran kepada Kakak Iparnya tersebut.Hingga setelah pulang dari Kantor, Zhask langsung datang ke Mansion Erlando dengan masih memakai setelan formalnya."Pastikan orang yang kau masukkan ini aman, Zhask. Aku nggak mau sampai rencana kita kacau.""Saya pastikan semua berjalan sesuai keinginan Anda, Tuan. Semua alat penyadap dan kamera tersembunyi sudah terpasang di beberapa titik. Saya juga akan memantaunya langsung."Gavriel menganggukkan kepala, "bagus. Pekerjaanmu memang selalu memuaskan," ucap Gavriel."Terima kasih banyak, Tuan.""Bagaimana dengan kantor hari ini?" tanya Gavriel, mengalihkan pembicaraan."Semuanya juga baik-baik saja, Tuan. Meeting berjalan dengan lancar, dan saya sudah mengirimkan
Lauren yang merasa penasaran lantaran kedatangan Zhask tak ayal membuat wanita paruh baya itu menguping di balik pintu ruang kerja putranya. Namun, ternyata Gavriel mengaktifkan alat kedap suara sehingga dirinya tidak bisa mendengar pembicaraan di dalam.Tidak kehabisan akal, setelah Zhask keluar dari ruangan tersebut, Lauren mengejarnya. Ia amat sangat penasaran sehingga akan mengganjal pikiran kalau tidak dituntaskan."Nak ... tunggu!" panggilnya saat Zhask hendak masuk ke dalam mobil.Pria yang menjadi asisten pribadi putranya tersebut sontak saja membalikkan badan dan mengulas senyum saat melihat Mommy Tuannya berjalan ke arahnya."Nyonya, ada yang bisa saya bantu?""Kamu tadi dari ruangan Gavriel? Ada sesuatu? Semuanya baik-baik saja 'kan?""Saya hanya menyerahkan beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh Tuan Gavriel, Nyonya. Tadi ada meeting, dan saya yang memimpin presentasinya. Dan semuanya baik-baik saja.""Kau hanya melaporkan hasil meeting itu? Tidak ada yang lain?"Z
Mobil mewah tersebut sudah berhenti di parkiran gedung pencakar langit yang merupakan unit apartemen milik Silvana. Wanita cantik itu lantas menghubungi Mommy-nya jika ia sudah mengamankan Austin dan Adolf. "Semoga Mommy nggak mikir macam-macam, lagian mana tega aku menyakiti keponakanku sendiri. Meskipun aku tidak menyukai Gavriel, tapi aku tetap menyayangi Austin dan Adolf," gumam Silvana.Yeah! Dia adalah sosok yang ada di belakang Lauren selama ini. Bisa dikatakan Silvana adalah otak di balik penyakit hati Mommy-nya. Wanita cantik yang dulunya sangat lembut itu berubah menjadi serahkan setelah kematian sang Daddy.Ia kecewa lantaran mendiang Daddy-nya memberikan warisan yang lebih banyak untuk Gavriel, bukan dirinya. Padahal ia adalah anak pertama, Silvana merasa anak sulung lebih berhak dari pada anak bungsu.Rasa sakit hati karena merasakan ketidak-adilan bertambah memanas setelah sang suami, Matthew, membakar api kedengkian itu. Sehingga membuat Silvana semakin iri dengan apa
"Kamu sudah bilang sama Zhask kalau kita ke sana?" tanya Azriya yang lantas diangguki oleh Gavriel.Pria tampan itu masih fokus dengan kemudi, netranya tidak berpaling dari jalanan di depan yang tampak lenggang. Azriya bertugas mengawasi pergerakan Silvana dan Matthew dari layar ponsel. Jika ada yang mencurigakan, maka ia akan langsung mengatakannya.Wanita cantik itu juga sudah mendengar kejahatan Silvana dan suaminya. Ia tak ayal menitikkan air mata lantaran orang yang selama ini dianggapnya baik, malah dalang dari semua kekacauan ini. Azriya tidak menyangka bahwa Silvana dan Matthew tega membunuh Kartika.Sesekali Azriya melirik kepada Gavriel. Masih tampak jejak air mata di wajah tampan suaminya. Gavriel tidak jauh berbeda dari Azriya, ia bahkan tergugu pilu saat mengetahui kebohongan Mommy, Kakak, dan juga Kakak Iparnya. "Aku dan Zhask nanti yang akan menjemput Austin dan Adolf. Kamu dan beberapa pengawal akan membuat kekacauan, jadi nanti saat Kak Silvana dan suaminya keluar, a
"Lancang sekali kau menyentuh anakku, dapat keberanian dari mana, sialan?!"Azriya masih tidak bergeming, sampai wanita cantik itu tidak menyadari kalau Aurell sudah lepas dari pelukannya. Azriya masih mematung, kakinya mundur hingga terantuk dipan. Sedangkan Aurell, entah ke mana larinya gadis kecil itu.Beberapa saat lalu...Saat Silvana tengah bernegosiasi dengan Gavriel, tiba-tiba Matthew merasakan firasat yang aneh tentang putrinya. Pria itu akhirnya berjalan dengan mengendap-endap melewati tangga darurat, hingga pemandangan saat Zhask dan beberapa pengawal membawa dua keponakannya tak ayal membuat dirinya gelisah.Matthew menunggu di dekat tangga darurat sampai benar-benar sepi, baru setelahnya ia memasuki unit apartemen itu. Langkahnya semakin tergesa ketika sampai pintu dan mendengar suara putrinya berteriak, dan ternyata dirinya mendapati jebakan yang sudah di susun sangat rapi oleh Gavriel dan Azriya.•"Berani juga kau rupanya?" tanya Matthew seraya tangannya mengendurkan i
Setelah menyaksikan Silvana meregang nyawa di pangkuannya sendiri, Lauren merasakan kepalanya berdenyut, dan ia tidak sadarkan diri. Guncangan besar pada batinnya saat menjadi saksi secara langsung tubuh Silvana terlempar, membuat mental wanita paruh baya itu sangat terguncang. Beruntung ada Zhask dan supir yang langsung membantunya ke rumah sakit.Lalu bagaimana dengan Aurell? Gadis cantik itu masih meringkuk di dalam kamar apartemen setelah melihat bagaimana sang Uncle membunuh Daddy-nya. Ia tidak berani keluar lantaran lantai apartemen ini yang masih penuh dengan darah. Tanpa ia ketahui, di gedung megah ini hanya ada dirinya sendiri.Gadis kecil itu menangis sendirian tanpa ada yang tahu. Ia masih teringat bagaimana Daddy-nya yang sudah ada di ujung nyawa menoleh ke arah pintu tempatnya mengintip, pria dewasa itu menyuruhnya diam dan jangan kaluar."Daddy ... Mommy ...." Isakan pilu itu terus terdengar memenuhi kamar berukuran luas tersebut, "aku ... a-aku takut, Mommy. Uncle Gavri
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b