"Lancang sekali kau menyentuh anakku, dapat keberanian dari mana, sialan?!"Azriya masih tidak bergeming, sampai wanita cantik itu tidak menyadari kalau Aurell sudah lepas dari pelukannya. Azriya masih mematung, kakinya mundur hingga terantuk dipan. Sedangkan Aurell, entah ke mana larinya gadis kecil itu.Beberapa saat lalu...Saat Silvana tengah bernegosiasi dengan Gavriel, tiba-tiba Matthew merasakan firasat yang aneh tentang putrinya. Pria itu akhirnya berjalan dengan mengendap-endap melewati tangga darurat, hingga pemandangan saat Zhask dan beberapa pengawal membawa dua keponakannya tak ayal membuat dirinya gelisah.Matthew menunggu di dekat tangga darurat sampai benar-benar sepi, baru setelahnya ia memasuki unit apartemen itu. Langkahnya semakin tergesa ketika sampai pintu dan mendengar suara putrinya berteriak, dan ternyata dirinya mendapati jebakan yang sudah di susun sangat rapi oleh Gavriel dan Azriya.•"Berani juga kau rupanya?" tanya Matthew seraya tangannya mengendurkan i
Setelah menyaksikan Silvana meregang nyawa di pangkuannya sendiri, Lauren merasakan kepalanya berdenyut, dan ia tidak sadarkan diri. Guncangan besar pada batinnya saat menjadi saksi secara langsung tubuh Silvana terlempar, membuat mental wanita paruh baya itu sangat terguncang. Beruntung ada Zhask dan supir yang langsung membantunya ke rumah sakit.Lalu bagaimana dengan Aurell? Gadis cantik itu masih meringkuk di dalam kamar apartemen setelah melihat bagaimana sang Uncle membunuh Daddy-nya. Ia tidak berani keluar lantaran lantai apartemen ini yang masih penuh dengan darah. Tanpa ia ketahui, di gedung megah ini hanya ada dirinya sendiri.Gadis kecil itu menangis sendirian tanpa ada yang tahu. Ia masih teringat bagaimana Daddy-nya yang sudah ada di ujung nyawa menoleh ke arah pintu tempatnya mengintip, pria dewasa itu menyuruhnya diam dan jangan kaluar."Daddy ... Mommy ...." Isakan pilu itu terus terdengar memenuhi kamar berukuran luas tersebut, "aku ... a-aku takut, Mommy. Uncle Gavri
Pria tampan dengan setelan hitam itu memasuki gedung apartemen megah tersebut seorang diri. Ia berjalan lurus memasuki lift, sampai akhirnya tiba di depan salah satu unit. Dadanya bergemuruh, khawatir kalau Nona Muda-nya tidak ada di sini.Zhask langsung membuka pintu, beruntung tidak dikunci. Ia lantas menyusuri setiap ruangan yang ada di dalam unit itu dengan pandangan awas. Hingga saat tiba di salah satu kamar, tak ayal matanya membelalak kala mendapati Aurell tengah meringkuk dengan kelopak mata terpejam di lantai marmer itu."Nona ...!" Zhask langsung merengkuh tubuh mungil itu.Ia lantas menempelkan jari tengah dan telunjuknya ke leher Aurell, beberapa detik kemudian pria itu menghela napas lega saat masih mendapati denyut nadi Nona Muda-nya."Syukurlah dia masih hidup." Zhask menarik napas lega setelah memastikan jantung Aurell masih berdetak.Zhask lantas membopong tubuh gadis kecil itu dan pergi dari gedung ini, tujuannya adalah rumah sakit.***Green Hospital.Gavriel baru s
Ceklek! Pintu terbuka.Azriya menoleh dan mendapati seorang Dokter dan wanita cantik berjalan memasuki kamar rawat. Setelah menyapa Azriya, Dokter tersebut lantas memeriksa kondisi Aurell. Azriya terus memperhatikannya, tidak ada gerak-gerik aneh dari keponakannya tersebut, sangat berbeda saat Aurell berinteraksi dengannya.'Jadi dia hanya tidak nyaman denganku?' batin Azriya dengan tatapan sendu."Kondisi Nona Aurell sudah baik-baik saja, Nona. Syukurlah," ucap Dokter tersebut yang cukup membuat Azriya terkejut dari lamunannya."Tapi keponakan saya ini tidak mau makan, Dok.""Nanti biar saya tambah nutrisi melalui infus, Nona. Tidak masalah."Azriya mengangguk, "baiklah kalau begitu.""Oh, iya ... ini adalah psikiater yang akan mendampingi Aurell. Namanya Dokter Elina."Azriya memalingkan pandangannya kepada wanita cantik dengan setelan jas putih yang tengah berdiri di depannya tersebut. Wanita dengan senyum lembut dan anggun itu mengulurkan tangan kepada Azriya, sehingga membuat Azr
Setelah pembicaraan yang cukup membuat tidak enak suasana sore ini, Gavriel dan Azriya memutuskan membawa kedua anak-anaknya pulang. Mobil mewah itu hanya diisi keheningan lantaran semua orang larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga tidak seberapa lama kemudian, mobil tersebut sudah berhenti di halaman luas Mansion Erlando."Kalian langsung istirahat saja, ya, Nak. Nanti Aunty panggil saat waktunya makan malam.""Iya, Aunty," sahut Austin, sedangkan Adolf hanya mengangguk sembari mengulas senyumnya.Azriya menatap dua bocah tampan itu yang berlari memasuki mansion degan tatapan nanar, hingga tepukan Gavriel pada pundaknya sontak membuat dirinya terhenyak."Kamu masih mikirin ucapan mereka?"Azriya menggeleng, "aku tahu ini nggak masuk akal, Gav.""Ayo kita cek CCTV, kita akan melihatnya langsung."Gavriel menggandeng tangan istrinya menuju ruang kerja, kemudian pria tampan itu langsung menyalakan komputer, dan menarikan jemarinya di keyboard. Sedangkan Azriya masih berdiri di sam
Selepas kejadian malam itu, siang ini Gavriel membawa anak-anaknya ke penthouse milik Andreas. Dua bocah tampan itu akan tinggal bersama Andreas dan dua orang maid khusus di sana. Ada beberapa kamar kosong di sana dan Andreas sendiri yang menawarkannya. Walaupun awalnya Gavriel menolak lantaran merasa tidak enak dengan Kakak Iparnya itu, tetapi lagi-lagi Andreas meyakinkan bahwa di penthouse-nya adalah tempat paling aman."Sekali lagi terima kasih, Kak. Untuk beberapa hari ke depan aku akan merepotkan mu.""Sudah berapa kali kamu bilang seperti ini, Gav? Mereka berdua adalah keponakanku, jadi bukan masalah kalau mereka ada di sini. Justru kalau mereka tinggal di penthouse mu, apa jadinya saat kamu dan Azriya keluar? Kalau di sini 'kan selain ada aku juga ada maid," jelas Andreas panjang lebar.Azriya menyentuh lengan suaminya sembari mengulum senyum, "kami hanya khawatir, Kak. Kamu 'kan juga sibuk."Andreas menghela napas lirih sembari menatap bergantian kepada Gavriel dan Azriya."Ak
Green Hospital."Keadaan Nona Aurell sudah bisa dikatakan stabil, Tuan, Nona. Tapi masih butuh perhatian tenaga medis, mengingat terkadang memori itu kembali terputar, dan membuatnya kembali trauma," ucap Elena di hadapan Gavriel dan Azriya.Pasangan itu mengangguk senang, bagaimanapun tekad mereka adalah membawa Aurell pulang ke mansion. Jelas saja mereka senang dengan perkembangan keponakannya tersebut."Kapan Aurell bisa pulang, Dok?" sahut Gavriel.Dokter Elena mengulas senyum, "jika di lihat dari kondisinya yang bisa beradaptasi dengan cepat, mungkin satu minggu lagi Nona Aurell sudah bisa pulang. Tapi jangan munculkan sesuatu yang membuatnya trauma, takutnya malah makin drop. Nanti saya juga akan atur jadwal kontrolnya," jelasnya."Lalu bagaimana dengan kebenciannya, Dokter? Dia sudah dicekoki dengan banyak kata benci untuk kami." Azriya memang sempat menceritakan perihal Silvana dan Matthew yang mendidik Aurell hingga tumbuh menjadi gadis pembenci dan menipulatif. Menurutnya i
Gadis cantik itu berceloteh banyak hal, karena sejatinya dia memang gadis yang baik hati. Namun, sayang sekali orang taunya membentuknya menjadi sosok pendendam. Aurell harus terlibat dalam urusan yang bahkan belum ia mengerti. Dia dipaksa kuat sebelum waktunya, tetapi Aurell memang luar biasa. Ia bisa kuat di tengah fakta yang membuat lukanya semakin berdarah ini."Kapan kita akan ke rumah Mommy, Uncle? Lalu Austin dan Adolf juga nggak menjengukku, mereka nggak marah 'kan sama aku?""Kita akan ke rumah Mommy kalau kamu sudah sehat, makanya kamu harus cepat pulih, Sayang. Untuk Austin dan Adolf ... mereka tinggal di penthouse Uncle Andreas, Kakaknya Aunty Riya."Aurell menatap bingung wajah Gavriel, "apa aku sudah melewatkan banyak hal, Uncle?" tanyanya.Gavriel mengulas senyum, sementara Azriya menunduk. Ternyata didikan Matthew dan Silvana membuat Aurell layaknya orang dewasa. Orang tuanya meninggalkan sisi baik pada kehidupan gadis kecil itu, sehingga Aurell menjadi pribadi yang la
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b