Setelah pembicaraan yang cukup membuat tidak enak suasana sore ini, Gavriel dan Azriya memutuskan membawa kedua anak-anaknya pulang. Mobil mewah itu hanya diisi keheningan lantaran semua orang larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga tidak seberapa lama kemudian, mobil tersebut sudah berhenti di halaman luas Mansion Erlando."Kalian langsung istirahat saja, ya, Nak. Nanti Aunty panggil saat waktunya makan malam.""Iya, Aunty," sahut Austin, sedangkan Adolf hanya mengangguk sembari mengulas senyumnya.Azriya menatap dua bocah tampan itu yang berlari memasuki mansion degan tatapan nanar, hingga tepukan Gavriel pada pundaknya sontak membuat dirinya terhenyak."Kamu masih mikirin ucapan mereka?"Azriya menggeleng, "aku tahu ini nggak masuk akal, Gav.""Ayo kita cek CCTV, kita akan melihatnya langsung."Gavriel menggandeng tangan istrinya menuju ruang kerja, kemudian pria tampan itu langsung menyalakan komputer, dan menarikan jemarinya di keyboard. Sedangkan Azriya masih berdiri di sam
Selepas kejadian malam itu, siang ini Gavriel membawa anak-anaknya ke penthouse milik Andreas. Dua bocah tampan itu akan tinggal bersama Andreas dan dua orang maid khusus di sana. Ada beberapa kamar kosong di sana dan Andreas sendiri yang menawarkannya. Walaupun awalnya Gavriel menolak lantaran merasa tidak enak dengan Kakak Iparnya itu, tetapi lagi-lagi Andreas meyakinkan bahwa di penthouse-nya adalah tempat paling aman."Sekali lagi terima kasih, Kak. Untuk beberapa hari ke depan aku akan merepotkan mu.""Sudah berapa kali kamu bilang seperti ini, Gav? Mereka berdua adalah keponakanku, jadi bukan masalah kalau mereka ada di sini. Justru kalau mereka tinggal di penthouse mu, apa jadinya saat kamu dan Azriya keluar? Kalau di sini 'kan selain ada aku juga ada maid," jelas Andreas panjang lebar.Azriya menyentuh lengan suaminya sembari mengulum senyum, "kami hanya khawatir, Kak. Kamu 'kan juga sibuk."Andreas menghela napas lirih sembari menatap bergantian kepada Gavriel dan Azriya."Ak
Green Hospital."Keadaan Nona Aurell sudah bisa dikatakan stabil, Tuan, Nona. Tapi masih butuh perhatian tenaga medis, mengingat terkadang memori itu kembali terputar, dan membuatnya kembali trauma," ucap Elena di hadapan Gavriel dan Azriya.Pasangan itu mengangguk senang, bagaimanapun tekad mereka adalah membawa Aurell pulang ke mansion. Jelas saja mereka senang dengan perkembangan keponakannya tersebut."Kapan Aurell bisa pulang, Dok?" sahut Gavriel.Dokter Elena mengulas senyum, "jika di lihat dari kondisinya yang bisa beradaptasi dengan cepat, mungkin satu minggu lagi Nona Aurell sudah bisa pulang. Tapi jangan munculkan sesuatu yang membuatnya trauma, takutnya malah makin drop. Nanti saya juga akan atur jadwal kontrolnya," jelasnya."Lalu bagaimana dengan kebenciannya, Dokter? Dia sudah dicekoki dengan banyak kata benci untuk kami." Azriya memang sempat menceritakan perihal Silvana dan Matthew yang mendidik Aurell hingga tumbuh menjadi gadis pembenci dan menipulatif. Menurutnya i
Gadis cantik itu berceloteh banyak hal, karena sejatinya dia memang gadis yang baik hati. Namun, sayang sekali orang taunya membentuknya menjadi sosok pendendam. Aurell harus terlibat dalam urusan yang bahkan belum ia mengerti. Dia dipaksa kuat sebelum waktunya, tetapi Aurell memang luar biasa. Ia bisa kuat di tengah fakta yang membuat lukanya semakin berdarah ini."Kapan kita akan ke rumah Mommy, Uncle? Lalu Austin dan Adolf juga nggak menjengukku, mereka nggak marah 'kan sama aku?""Kita akan ke rumah Mommy kalau kamu sudah sehat, makanya kamu harus cepat pulih, Sayang. Untuk Austin dan Adolf ... mereka tinggal di penthouse Uncle Andreas, Kakaknya Aunty Riya."Aurell menatap bingung wajah Gavriel, "apa aku sudah melewatkan banyak hal, Uncle?" tanyanya.Gavriel mengulas senyum, sementara Azriya menunduk. Ternyata didikan Matthew dan Silvana membuat Aurell layaknya orang dewasa. Orang tuanya meninggalkan sisi baik pada kehidupan gadis kecil itu, sehingga Aurell menjadi pribadi yang la
Gavriel melemparkan tubuh mungil itu hingga terpantul di atas ranjang. Azriya hendak memekik, tetapi suaminya dengan cepat mengungkung dan memagut bibir tipisnya sehingga ia tidak dapat mengeluarkan suara. Hanya desahan! Yeah, hanya desahan yang mengudara memenuhi kamar luas bernuansa putih ini. Pria tampan itu terus menyapukan lidah hangatnya pada ceruk leher jenjang sang istri. Mengecap nikmat dan meninggalkan jejak kepemilikannya di sana."Biarkan anak-anak menunggu, kita akan membuatkan mereka adik untuk mereka terlebih dahulu," ucap Gavriel seraya melepas setiap helai benang yang melekat pada tubuh Azriya.Azriya membelalak lebar, "mereka bisa kelaparan, Gav!""Ada maid yang akan mengurus, apa lagi yang harus kamu khawatirkan?""Oughhh ...." Azriya melenguh saat jemari besar itu menggoda inti tubuhnya."Lembab, Baby. Aku yakin kamu tidak bisa menolak kalau sudah seperti ini. Iya 'kan?""Sshhhh." Wanita cantik itu kembali meringis saat Gavriel menekan bencolan kecil di dalam sana
"Kalian yakin akan kembali pagi ini?" tanya Andreas."Hanya aku dan Azriya, Kak. Anak-anak akan tetap di sini sampai kondisi stabil. Kami perlu mengecek keadaan mansion," sahut Gavriel.Setelah semalam berbincang panjang, pasangan itu memutuskan akan kembali ke Manson Erlando pagi ini. Gavriel secepatnya akan menyelesaikan masalah pelik yang menimpa keluarganya, tidak dipungkiri ia juga ingin hidup damai."Baiklah kalau begitu, jangan sungkan hubungi Kakak kalau kalian butuh bantuan.""Makasih, Kak. Sekali lagi kami harus menitipkan anak-anak sama kamu."Andreas menepuk bahu adik iparnya tersebut, "nggak masalah. Aku sudah bilang sebelumnya 'kan?""Yeah." Gavriel mengangguk begitu pula dengan Azriya, "kami berangkat dulu kalau begitu, Kak.""Ayo aku antar ke depan." Andreas melangkah menuju pintu bersama Gavriel dan Azriya.Pasangan itu juga telah berpamitan kepada anak-anaknya pagi tadi, mereka bilang ada pekerjaan yang harus di urus. Beruntung dua bocah tampan itu memberikan pengert
Azriya menggandeng pergelangan tangan wanita itu untuk masuk ke dalam kamar. Ia memaksa wanita di depannya ini duduk di sofa dengan tubuh bergetar."Kita akan melakukan apa, Gav?" tanya Azriya dengan seringai senyum licik."Terserah kamu saja. Kamu yang paling tahu," sahut Azriya.Sret!Azriya menarik paksa topeng kulit sintetis itu dari kepala sosok di depannya ini, sehingga membuat wignya juga ikut terlepas. Wanita itu masih menunduk. Selain tidak berani menatap Azriya, ia juga merasakan kulit kepalanya masih sakit."Siapa namamu?" Azriya mengangkat dagu wanita di depannya sehingga ia bisa melihat wajah ketakutan itu."Jawab ...!""Na-Naina. Nama saya Naina, Nyonya," jawabnya dengan suara gemetar."Dengar! Aku malas bermain-main denganmu, jadi jawab saja dengan jujur. Apa tujuanmu melakukan ini?"Hening! Naina tampak menarik napas dalam. Wanita berkulit putih dengan wajah yang tidak asing di mata Azriya itu terlihat sangat gugup."Sa-Saya terpaksa melakukannya, Nyonya. Saya ... terp
"Tenang lah, semuanya sudah selesai 'kan?" Gavriel menghampiri sang istri yang masih diam terpaku dengan tubuh gemetar."Kenapa semua kejadian masa lalu berimbas ke masa kini, Gav? Aku saat itu nggak bermaksud membuat Hanna bunuh diri.""Aku tahu." Gavriel menggandeng Azriya ke ranjang dan membaringkan tubuh sang istri dengan perlahan.Pria tampan itu juga melabuhkan banyak kecupan basah pada wajah cantik Azriya, berharap istrinya bisa sedikit rileks. Meskipun bola mata hitam itu masih memancarkan ketakutan.Yeah! Sedari tadi Azriya memang bersandiwara menutupi ketakutannya, ia tidak mau terlihat lemah di depan Naina."Setiap kejadian yang menimpa kita selalu ada hubungannya dengan masa lalu, dan setiap hal yang terjadi hari ini mungkin saja berimbas pada masa depan. Itu namanya sebab-akibat, Baby. Dan itu semua bukan kesalahan kita, itu sudah takdir."Azriya mengerjap, "kenapa?""Kenapa apanya?" Gavriel kembali melabuhkan kecupannya pada kedua mata wanita cantik itu."Kenapa kamu bis
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b