Pagi hari.
Azriya sudah siap dengan setelan baju kerjanya, ia memang belum bekerja penuh waktu, dan akan datang saat Kakaknya membutuhkan bantuan. Kebetulan pagi ini wanita cantik itu sendiri yang berniat datang untuk melihat jenis infeksi yang ditemukan oleh Kakaknya.Saat ini semua anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan. Semuanya diam penuh keheningan, bahkan Austin dan Adolf pun turut mengunci rapat mulutnya."Sebagai pengantin baru kalian perlu didoakan, dan ini sudah adatnya. Terlepas bagaimana terjadinya pernikahan kalian, tapi kau sudah membawa wanita masuk ke dalam rumah ini, Gavriel. Apalagi statusnya adalah istrimu.""Aku rasa ini tidak perlu, Mom. Aku menikahinya juga karena paksaan dari Kartika, jadi aku tidak menganggapnya sebagai istri," sahut Gavriel."Mommy juga tidak menganggapnya sebagai menantu, tapi ini adalah adat yang harus ditaati!"Azriya hanya menyimak perdebatan itu, bahkan sampai sekarang ia masih belum mengetahui siapa nama Ibu Mertuanya tersebut. Namun, semua itu bukan masalah, toh tujuannya di sini adalah memecah misteri. Lalu setelahnya, ia akan segera keluar dari neraka berkedok mansion mewah ini."Satu minggu lagi pernikahan kalian akan di umumkan, ini kita lakukan untuk mencegah adanya kabar miring. Jadi, kamu jangan merasa di atas angin, Azriya! Kami melakukan hal ini bukan untukmu, melainkan untuk nama baik kami sendiri."Hening! Azriya masih mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bukannya tidak bisa menjawab cemoohan barusan, tetapi ia malas membuang tenaganya.Setelah acara sarapan selesai, Gavriel langsung beranjak mengantarkan Azriya ke rumah sakit. Semua orang memandang kepergian keduanya biasa saja, tetapi tanpa ada yang tahu, Gavriel sudah menyiapkan sebuah rencana. Hingga sampailah saat masih di tengah jalan, lelaki itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya."Apa maksudmu kemarin?" tanyanya."Maksud apa?""Wasiat Kartika."Azriya menghela napas lirih. Kemudian ia meminta Gavriel melajukan lagi mobil dengan alasan enggan terlambat ke rumah sakit."Cepat katakan!" ucapnya lagi seraya kakinya kembali menekan pedal gas."Kau sungguh tidak mengetahuinya?"Bukannya menjawab, Gavriel malah melemparkan tatapan tajamnya kepada Azriya. Namun, wnaita cantik itu sama sekali tidak merasa ketakutan."Aku bukannya tidak ingin mengatakan, tapi apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan tanpa melihat sedikitpun ke arah Gavriel."Apa maksudmu?"Azriya kembali terkekeh."Jawab saja, apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan pertanyaan yang sama."Tentu saja bisa. Kartika itu istriku, dan apa kau lupa bagaimana aku terluka karena kehilangan dia?"Wanita cantik itu mengangguk, setelah beberapa menit ia memikirkan semuanya, akhirnya ia menceritakan semua yang disampaikan Kartika tempo hari. Azriya berharap Gavriel bisa membantunya mengusut semua ini.Ciiiit!Lelaki itu sontak menginjak rem mendadak saat Azriya berbicara permintaan terakhir mendiang Kartika. Raut muka Gavriel langsung memerah bersamaan dengan deru napasnya yang naik turun, tangannya mencengkram erat setir mobil hingga urat-uratnya nampak menonjol."Kartika bicara seperti itu?"Azriya hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah katapun."Pantas saja beberapa Minggu lalu tingkahnya berubah. Dia seperti ketakutan dan gelisah, beberapa kali juga melarang ku pergi, dan selalu minta ditemani. Tapi, saat itu aku tidak terlalu memusingkannya," ujar Gavriel dengan suara lirih.Azriya masih tidak bergeming. Namun, tangannya turut mengepal seperti tengah menahan kekesalan."Tapi Kartika tidak pernah menyinggung siapapun di rumah itu. Dan puncaknya saat tiga hari sebelum dia masuk rumah sakit.""Ada apa?" tanya Azriya."Kartika bilang dia ingin pergi dari rumah itu dengan membawa Austin dan Adolf, tapi sayangnya Adolf nggak mau. Dan itu semakin membuatnya menjadi pendiam."'Adolf ...?' batin Azriya.Azriya menatap dalam sosok laki-laki yang baru pertama kali berbicara panjang lebar dengannya tersebut. Ataukah Gavriel mulai merasakan ada keganjilan dari kematian istrinya? Pikir Azriya."Ada hal aneh lainnya?""Besoknya Kartika sudah nggak nafsu makan, bahkan ia enggan bertemu dengan orang lain, termasuk aku dan anaknya. Kartika lebih senang menyendiri di dalam kamar, dia tidak pernah keluar. Sekalinya dia keluar adalah saat acara makan malam dengan keluarga besar, dan di acara itu juga dia keracunan makanan," ujar Gavriel, panjang lebar.Azriya melepas gelak tawanya. Ia sungguh tidak habis pikir dengan kepolososan lelaki di sebelahnya ini. Bagiamana bisa saat kematian istrinya ia lah yang paling menangis histeris, tetapi saat istrinya sedang dalam bahaya ia malah tidak tahu apa-apa."Kenapa?! Kau ingin menghina ku?""Aku tidak seburuk yang kau pikirkan, Gav. Lagi pula, bagaimana bisa kau berbicara banyak hal, sedangkan di meja makan tadi kau terang-terangan menolak ku.""Aku memang menolakmu sebagai istriku, ini pun aku lakukan agar misteri kematian Kartika segera terungkap. Jadi, kau jangan salah paham," jawabnya.Meskipun sebenarnya lelaki itu tidak mengerti kenapa ia bisa berbicara banyak hal. Seakan ada dorongan untuk membagi semua bebannya kepada Azriya, juga perasaan nyaman saat bertukar pikiran dengan wanita di sebelahnya ini.Gavriel sekuat mungkin mengelak perasaan nyaman yang tiba-tiba timbul. Ia masih tidak ingin mengkhianati mendiang Kartika.'Tidak! Ini semua aku lakukan demi Kartika, dan aku sama sekali tidak ada perasaan dengan Azriya,' batinnya.Mobil mewah tersebut kembali melaju meninggalkan jalanan itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil tersebut sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Azriya hendak membuka pintu, tetapi gerakan tangannya terhenti saat Gavriel kembali membuka suara."Kita akan menjadi rekan demi mengusut tuntas kasus ini, Riya.""Kau yakin?""Yeah. Aku yakin Kartika tidak akan memintaku menikahi mu tanpa suatu alasan yang jelas. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, tapi pasti ada sebuah hal besar di balik semua ini."Azriya lantas mengangguk. Hatinya sedikit lega saat Gavriel tersadar bahwa keduanya sengaja disatukan oleh Kartika untuk suatu misi."Baiklah. Tapi sepertinya ini akan sulit, mengingat sama sekali tidak ada petunjuk yang ditinggalkan oleh Kartika," ucap Azriya."Iya, aku tahu."Azriya kembali mengangguk dan ia lantas turun dari mobil. Tanpa disadari, Gavriel masih belum mengalihkan pandangannya dari Azriya, bahkan saat wanita cantik itu sudah hilang di balik pintu masuk.Seutas senyum tipis tersemat di bibir lelaki tampan itu, "dia mirip sekali denganmu, Ka," gumam Gavriel.***Di sisi lain, Azriya yang baru saja masuk ke ruangan Andreas langsung menagih hasil laporan yang didapatkan oleh Kakaknya tersebut."Bacalah baik-baik!" ucap Andreas seraya mengulurkan sebuah amplop putih.Azriya lantas tersenyum manis dan meraih amplop tersebut. Gerakan tangannya dengan cepat membuka segelnya, hingga beberapa saat kemudian keningnya tampak mengerut."Ini bukannya cairan yang digunakan untuk melemahkan sistem saraf?""Benar. Di dalamnya ditambahkan beberapa zat sehingga bisa semakin mempersempit pembuluh darah, sampai akhirnya menyebabkan gagal jantung."Deg!Azriya sontak memegang dengan air mata yang hendak merembes keluar. Ia sudah biasa bertemu dengan kasus kematian, tapi ini adalah sahabatnya. Tentu saja rasanya berbeda."Pantas saja Kartika bisa meninggal secepat itu, Kak. Aku pun sudah curiga kalau penyebabnya bukan hanya keracunan," ucap Azriya dengan suara yang sangat pelan.Azriya kembali memandang kertas yang berada di tangannya tersebut dengan pandangan berkabut. Sungguh! Hatinya begitu sakit mendapat kenyataan sahabatnya benar-benar dibunuh.'Apa jangan-jangan dalangnya juga ada di mansion itu?' batinnya.Azriya baru saja pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Beruntung masih ada penjaga yang membukakan pagar untuknya. Kemudian ia lantas masuk ke dalam mansion mewah tersebut. Saat hendak menuju kamar, lagi-lagi dirinya melihat sosok yang berjalan cepat ke arah pintu dan langsung keluar begitu saja.Azriya langsung bersemedi di balik vas bunga besar yang berada pojok tangga. Untungnya semua lampu utama sudah padam."Siapa, sih?" gumamnya. Sepersekian detik kemudian nampak seorang maid berjalan sendirian di kegelapan mansion itu, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Azriya untuk menanyakan sesuatu kepada maid tersebut."Nona ... maaf, saya kaget. Saya pikir siapa," ucap maid tersebut saat Azriya tiba-tiba muncul di depannya."Maaf, ya," jawabnya dengan cengiran polos."Tidak apa-apa, Nona. Oh, iya, pasti Nona baru saja pulang 'kan? Mau saya siapkan makanan?""Nggak usah. Aku cuma mau tanya, kamu tadi lihat nggak ada orang keluar?"Maid tersebut diam beberapa saat, m
Azriya menidurkan Austin setelah anak laki-laki itu merengek lantaran mengantuk. Keduanya usai bermain cukup lama, mungkin Austin kelelahan. Wanita cantik itu masih mengipas tubuh mungil dalam dekapannya tersebut, hingga ia tidak menyadari di belakangnya berdiri sosok laki-laki yang menatap datar ke arahnya."Austin sudah tidur?" tanyanya yang membuat Azriya tersentak kaget.Ia lantas menoleh, dan mendapati Gavriel berdiri menjulang di samping tempat tidur."Gav," ucapnya dan lantas menegakkan tubuh."Ada yang mau aku bicarakan."Azriya kembali menoleh kepada Austin yang sudah terlelap dalam mimpinya."Jangan di sini, Austin baru saja tidur. Kita bicara di tempat lain saja.""Baiklah, kalau begitu ayo ke kamarku."Azriya mengikuti langkah Gavriel menuju kamarnya, setelah tiba di kamar berukuran sangat luas tersebut, Gavriel langsung mengunci pintu dan menyalakan alat kedap suara."Apa yang kamu lakukan sama Adolf?!" tanyanya tanpa basa-basi."Apa, Gaf?""Kamu pengaruhi Adolf sama Aust
Malam ini semua isi mansion berhamburan keluar, semua penjaga bahkan sampai turun ke jalanan untuk mencari Austin. Tidak terkecuali Azriya yang turut kalut lantaran perasaannya yang merasa sangat bersalah. Wanita cantik itu tengah berdiri mematung dan termenung seakan tidak tahu harus melakukan apa, tangannya menggenggam erat jemari lentiknya guna menahan kegelisahan, bahkan bibirnya juga tiada henti berdoa.Tanpa di sadari olehnya, dari arah ruang tengah Lauren tengah berjalan cepat ke arahnya. Wanita paruh baya itu langsung menarik lengan Azriya hingga menyebabkan wanita itu hampir terjungkal. Belum berakhir keterkejutan Azriya, Lauren melayangkan tangannya, dan menampar kuat pada pipi wnaita yang baru saja menjadi menantunya tersebut.Plakkk!"Akh!" pekik Azriya saat merasakan pipinya memanas."Dasar wanita tidak tahu diri!"Plakkk!Lagi, sebuah tamparan kembali Lauren layangkan pada pipi kanan Azriya, sedangkan wanita cantik itu hanya bisa menahan rasa panasnya tanpa berniat memba
Azriya berdiri mematung di tengah pintu kamar Austin. Di atas ranjang itu, bocah laki-laki tersebut tengah terbaring dengan seorang gadis kecil di sampingnya. Sedangkan Gavriel masih mengelus punggung mungil putranya, tatapan matanya masih menyorotkan kekhawatiran."Bagaimana kamu bisa bertemu dengan Austin, Van? Padahal kami sudah menyusuri jalanan ini, tapi kami sama sekali nggak menemukan apa-apa.""Saat aku pulang dari jemput Aurell les piano, sekitar jam tujuh malam itu, Mom. Aku lewat kedai es krim yang deketnya Apotek Lestari, kamu tahu 'kan, Gav?" tanya Silvana seraya mengalihkan pandangan kepada GavrielLelaki itu sontak mengangguk dengan pandangan yang menyorot lurus ke dalam manik mata Silvana."Nah, Aurell minta es krim. Waktu kami keluar mobil, aku nggak sengaja lihat ada anak kecil duduk sendirian, meringkuk gitu, di trotoar jalan. Aku langsung ke sana gandeng tangannya Aurell, Mom. Dan ternyata itu Austin.""Ya Tuhan!" pekik Lauren."Austin sendirian, Kak? Lalu, kenapa
Setelah memastikan anak-anak berangkat sekolah, Azriya lantas berbalik badan dan hendak masuk kembali ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba tubuhnya terlonjak ke belakang saat Gavriel berada tepat di depannya."Kenapa?" tanyanya seraya semakin mendekatkan wajah kepada Azriya."Ka-Kamu ngapain berdiri di belakangku?! Aku 'kan jadi kaget!"Azriya mundur ke belakang. Jujur saja, berhadapan dengan jarak sedekat ini membuat wanita cantik itu gugup."Memangnya kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan raut datar.Azriya menggeleng, wanita cantik itu lantas berlalu pergi meninggalkan Gavriel yang masih mempertahankan tatapan tajamnya. Hingga kemudian lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu kembali membuka suara."Nanti malam acara peresmian pernikahan kita, sebaiknya hari ini kamu jangan ke rumah sakit. Atau kalau bisa, kamu berhenti beberapa waktu dulu biar fokus menjaga Austin dan Adolf."Deg!Berhenti? Apa maksudnya? Menjadi Dokter adalah cita-cita Azriya sedari dulu. Meskipun saat ini Azriya be
Gavriel masih berdiri di tengah pintu dengan pandangan datar. Namun, siapa yang tahu bahwa jantungnya sedari tadi terus berdesir, ia bahkan sudah menatap tubuh polos Azriya hampir satu menit lamanya. Pria itu bukannya tidak normal, ataupun tidak tertarik dengan Azriya. Bohong kalau matanya tidak jatuh cinta saat menatap tubuh indah tersebut, tetapi lagi-lagi bayangan Kartika lebih dulu hadir dalam benaknya.Yeah! Gavriel masih mencintai mendiang istrinya, begitu dalam, sehingga tidak mampu mengkhianatinya meskipun jalan ini adalah jalan yang dipilihkan oleh Kartika sendiri. Gavriel masih ingin mengingat Kartika di setiap detak jantungnya. Gavriel masih ingin menyuarakan nama Kartika di setiap hela napasnya. Gavriel masih ingin bersama dengan bayangan Kartika di setiap langkahnya menyusuri sisa akhir hayatnya.'Kenapa takdirku harus se-pedih ini, Ka. Aku harus berpisah denganmu saat belum sempat melakukan itu semua. Aku harus bagaimana? Kenapa kamu tega denganku dan memintaku untuk me
"Apa maksudnya, Mom?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan, pasalnya ia bingung. Apalagi Azriya yang hanya menangis memegangi pipinya, sedangkan Mommy-nya masih melayangkan tatapan tajam."Mommy sudah lihat video CCTV, Gav! Dia yang sudah mengambilkan salad buah untuk Austin. Dia juga yang berlagak menjadi malaikat penyelamat untuk cucuku! Padahal dia berniat membunuh putramu, Gav. Dia ingin membunuh Austin seperti dia membunuh Kartika!" pekik Lauren dengan suara tertahan.Azriya menggelengkan kepala."Aku memang mengambilkan salad buah, tapi itu Austin yang minta. Aku juga nggak kasih susu, aku nggak tahu kenapa di piringnya tadi ada susu," ucapnya dengan air mata yang terus mengalir deras."Alasan!" sentak Lauren.Wanita paruh baya itu maju satu langkah dan mendekat kepada Azriya. Niatnya ingin menggertak, tetapi Azriya sama sekali tidak gentar."Kebenarannya memang seperti itu, Mom. Aku nggak ada niat mencelakai Austin, aku juga tahu dia alergi susu," ucapnya berusaha membela dir
Pagi ini Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, jelas saja Gavriel dan Azriya langsung menggumamkan rasa syukurnya pada kuasa Tuhan. Mereka sampai di mansion Erlando sekitar pukul sembilan pagi. Adolf yang melihat Kakaknya baru saja turun dari mobil langsung berlari menghampiri dan memeluk tubuh bocah kecil itu. Samua orang yang melihatnya tak ayal tersenyum. "Aku khawatir banget sama kamu, Austin. Masih ada yang sakit nggak?""Nggak, Adolf. Aku cuma ngerasa ngantuk sekarang.""Ngantuk?" tanya Adolf dengan kening mengerut."Efek obat, Nak. Sebaiknya kalian berdua istirahat saja di kamar, ya," sahut Gavriel.Kedua bocah laki-laki itu kompak mengangguk dan lantas menuju kamar mereka. Beruntung hari ini sekolah libur, jadi Austin tidak akan kesepian karena ada Adolf dan Aurell yang menemani."Gav, Austin sudah benar-benar sembuh?" tanya Lauren saat memastikan kedua cucunya sudah masuk."Syukurlah, racunnya belum menyebar. Dan untungnya saat itu ada Azriya yang memberikan pertol
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b