Malam ini semua isi mansion berhamburan keluar, semua penjaga bahkan sampai turun ke jalanan untuk mencari Austin. Tidak terkecuali Azriya yang turut kalut lantaran perasaannya yang merasa sangat bersalah. Wanita cantik itu tengah berdiri mematung dan termenung seakan tidak tahu harus melakukan apa, tangannya menggenggam erat jemari lentiknya guna menahan kegelisahan, bahkan bibirnya juga tiada henti berdoa.
Tanpa di sadari olehnya, dari arah ruang tengah Lauren tengah berjalan cepat ke arahnya. Wanita paruh baya itu langsung menarik lengan Azriya hingga menyebabkan wanita itu hampir terjungkal. Belum berakhir keterkejutan Azriya, Lauren melayangkan tangannya, dan menampar kuat pada pipi wnaita yang baru saja menjadi menantunya tersebut.Plakkk!"Akh!" pekik Azriya saat merasakan pipinya memanas."Dasar wanita tidak tahu diri!"Plakkk!Lagi, sebuah tamparan kembali Lauren layangkan pada pipi kanan Azriya, sedangkan wanita cantik itu hanya bisa menahan rasa panasnya tanpa berniat membalas."Kau nggak becus menjaga Austin, heh! Ternyata benar apa yang dikatakan Adolf, kau itu hanya perusuh di mansion ini. Belum ada satu minggu dan masalah sudah datang bertubi-tubi. Seharusnya sedari awal Gavriel tidak sebodoh itu langsung menyetujui permintaan Kartika!"Lauren berusaha mengatur deru napasnya yang memburu, dadanya nampak naik turun, dengan urat-urat leher yang mencuat."Apa jangan-jangan kau yang mengatakan kepada Kartika agar kau bisa menjadi istrinya Gavriel, lalu membuat kekacauan di mansion ini, iya ...?!"Azriya menggeleng."Aku nggak pernah melakukan itu, Mom. Silakan Mommy tanya sendiri kepada tenaga medis yang menangani Kartika, apa ada aku memintanya melakukan hal itu.""Jangan pernah panggil aku dengan sebutan Mommy, aku nggak sudi!"Hening! Azriya tidak menjawab sepatah katapun.Belum pudar rasa panas pada pipinya, kini Azriya harus merasakan sakit hati saat dituduh atas hal yang tidak dia lakukan."Kalau sampai Austin kenapa-napa, siap-siap saja angkat kaki dari mansion ini!"Lauren lantas pergi meninggalkan Azriya yang masih menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat diartikan. Wanita cantik itu masih terus menatap tajam kepada punggung Lauren bahkan saat wanita paruh baya itu sudah menghilang di balik pintu.Baru setelahnya, Azriya turut meninggalkan ruang tamu dan menuju halaman depan. Meskipun nanti Gavriel juga akan mengusirnya, setidaknya ia sudah berusaha ikut mencari Austin.***"Ya Tuhan, Austin ... ke mana kamu, Nak," gumam Azriya.Sampai saat ini belum diketahui ke mana perginya bocah itu. Sungguh! Azriya bahkan merasa sangat tidak berguna saat ini. Ia yang telah diberikan amanat oleh Kartika, malah tidak menjaganya dengan baik."Ngapain kamu mondar-mandir?!" tanya suara bariton yang membuat tubuh Azriya sontak menegang."A-Aku—""Kalau cuma mau nyariin Austin, mendingan kamu nggak usah ikut. Kamu lupa dia hilang gara-gara siapa?! Mulai detik ini kamu jangan dekat-dekat lagi dengan anak-anakku," ucap Gavriel."Maaf, Gav. Aku sangat merasa bersalah.""Apa ucapan maafmu bisa mengembalikan anakku?! Simpan saja ucapan maaf tidak berguna mu itu!"Azriya menahan napas saat Gavriel pergi setelah mengatakan hal menyakitkan barusan. Namun, ia tetap tidak mengindahkan peringatan Gavriel barusan, dirinya tetap bergabung dengan beberapa pengawal untuk mencari Austin ke jalanan.Hingga malam semakin larut, tetapi tetap tidak ada kemajuan. Polisi bahkan sudah membantu proses pencariannya, tetapi hasilnya tetap nihil.•"Aku sudah memperingatkan Austin untuk tidak bermain dengan Aunty Riya, Grandma. Tapi dia tidak mau mendengarkan ku, dan sekarang dia malah hilang. Austin akan pulang 'kan, Grandma? Dia tidak akan seperti Mommy 'kan?"Suara Adolf terdengar tengah berbisik dari balik tembok taman tempat Azriya menyandarkan tubuhnya. Rupanya bocah laki-laki itu juga masih terjaga."Austin akan kembali, kita doakan saja, ya. Biar para pengawal itu cepat menemukan Austin."Azriya sontak mengubah posisi duduknya dan lantas menempelkan daun telinganya pada tembok tersebut saat mendengar suara Lauren yang menyahut.'Aku penasaran bagaimana wanita itu mempengaruhi cucunya sendiri,' batin Azriya.***Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pencarian masih belum membuahkan hasil. Adolf sudah dibawa maid untuk masuk ke dalam kamar, sementara yang lain masih melakukan upaya untuk menemukan Austin.Wajah-wajah itu hampir menyerah. Bagaimana tidak?! Peluh keringat sudah membasahi pelipis mereka, tetapi hasil belum juga terlihat. Bahkan Gavriel sudah seperti kehilangan semangat hidupnya."Apa yang akan aku katakan kepada Kartika kalau anaknya hilang? Dia pasti akan sangat sedih," gumam Gavriel."Kita akan menemukannya, Gav. Polisi juga sudah menyusuri kota ini, pasti Austin secepatnya akan ketemu," sahut Azriya.Gavriel langsung memalingkan kepalanya dengan pandangan menghunus tajam, rahang tegas itu sontak mengeras, dengan deru napas yang terdengar kasar. Wajah garangnya langsung memerah dan kian mendekat pada wajah cantik Azriya."Apa aku minta pendapatmu?! Apa aku minta kau menjawab kata-kataku?!" sentaknya."Gav—""Austin hilang karena kebodohanmu! Dan kau masih berani berucap! Apa akalmu sudah hilang, hah ...?! Harus berapa kali aku bilang kalau aku muak mendengar suaramu! Aku tidak sudi mendengar suaramu sampai Austin kembali, Sialan ...!"Azriya sontak mundur beberapa langkah. Wanita cantik itu masih menunduk dengan menahan napas.Bohong kalau dia tidak khawatir, apalagi merasa bersalah. Justru Azriya yang paling tidak tenang sedari tadi, tetapi apa boleh buat? Tuhan belum memberikan jawaban untuknya.Hingga waktu sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari, nampak sebuah mobil sport berwarna kuning metalik memasuki gerbang mansion Erlando. Gavriel dan Lauren langsung bangkit, sementara Azriya hanya diam mematung dengan pandangan penuh tanda tanya."Mom," ucap seorang wanita yang baru saja keluar dari mobil tersebut."Silvana ... Nak!" Lauren langsung menghambur ke pelukan wanita dengan wajah teduh dan rambut sebahu tersebut."Jangan menangis, Mom. Austin bersamaku, aku menemukannya diam sendirian di pinggir jalan."Deg!Gavriel sontak mencengkeram bahu Silvana dengan mata melotot, "apa yang kamu katakan, Kak?!" tanyanya."Aku menemukan Austin, Gav. Dia ada di dalam mobilku, dan sedang tidur sama Aurel. Sebaiknya kamu gendong dia dan bawa masuk, Kakak jelaskan di dalam."Gavriel langsung mengangguk dan lantas menghampiri mobil tersebut. Benar saja, sepersekian detik kemudian Gavriel kembali keluar dengan membopong tubuh kecil itu dalam dekapannya, juga ada seorang gadis kecil cantik sekitar umur enam tahun yang ikut keluar dari mobil tersebut.Gadis dengan kuncir dua di kepalanya itu langsung digendong oleh Lauren. Mereka semua lantas masuk ke dalam mansion, sehingga membuat Azriya juga mengikutinya dari belakang."Siapa dia? Kenapa Gavriel memanggilnya Kakak?" gumam Azriya.Ternyata seorang maid mendengar suaranya barusan, "dia adalah Nona Silvana. Putri sulung Nyonya Besar, Nona," jawab maid tersebut.Azriya terhenyak dan kemudian mengangguk untuk menyembunyikan tanda tanya besar di dalam benaknya. Ia masih mempertahankan pandangan awasnya menatap wanita dengan wajah keibuan tersebut.'Bagaimana bisa ini suatu kebetulan?' batin Azriya.Azriya berdiri mematung di tengah pintu kamar Austin. Di atas ranjang itu, bocah laki-laki tersebut tengah terbaring dengan seorang gadis kecil di sampingnya. Sedangkan Gavriel masih mengelus punggung mungil putranya, tatapan matanya masih menyorotkan kekhawatiran."Bagaimana kamu bisa bertemu dengan Austin, Van? Padahal kami sudah menyusuri jalanan ini, tapi kami sama sekali nggak menemukan apa-apa.""Saat aku pulang dari jemput Aurell les piano, sekitar jam tujuh malam itu, Mom. Aku lewat kedai es krim yang deketnya Apotek Lestari, kamu tahu 'kan, Gav?" tanya Silvana seraya mengalihkan pandangan kepada GavrielLelaki itu sontak mengangguk dengan pandangan yang menyorot lurus ke dalam manik mata Silvana."Nah, Aurell minta es krim. Waktu kami keluar mobil, aku nggak sengaja lihat ada anak kecil duduk sendirian, meringkuk gitu, di trotoar jalan. Aku langsung ke sana gandeng tangannya Aurell, Mom. Dan ternyata itu Austin.""Ya Tuhan!" pekik Lauren."Austin sendirian, Kak? Lalu, kenapa
Setelah memastikan anak-anak berangkat sekolah, Azriya lantas berbalik badan dan hendak masuk kembali ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba tubuhnya terlonjak ke belakang saat Gavriel berada tepat di depannya."Kenapa?" tanyanya seraya semakin mendekatkan wajah kepada Azriya."Ka-Kamu ngapain berdiri di belakangku?! Aku 'kan jadi kaget!"Azriya mundur ke belakang. Jujur saja, berhadapan dengan jarak sedekat ini membuat wanita cantik itu gugup."Memangnya kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan raut datar.Azriya menggeleng, wanita cantik itu lantas berlalu pergi meninggalkan Gavriel yang masih mempertahankan tatapan tajamnya. Hingga kemudian lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu kembali membuka suara."Nanti malam acara peresmian pernikahan kita, sebaiknya hari ini kamu jangan ke rumah sakit. Atau kalau bisa, kamu berhenti beberapa waktu dulu biar fokus menjaga Austin dan Adolf."Deg!Berhenti? Apa maksudnya? Menjadi Dokter adalah cita-cita Azriya sedari dulu. Meskipun saat ini Azriya be
Gavriel masih berdiri di tengah pintu dengan pandangan datar. Namun, siapa yang tahu bahwa jantungnya sedari tadi terus berdesir, ia bahkan sudah menatap tubuh polos Azriya hampir satu menit lamanya. Pria itu bukannya tidak normal, ataupun tidak tertarik dengan Azriya. Bohong kalau matanya tidak jatuh cinta saat menatap tubuh indah tersebut, tetapi lagi-lagi bayangan Kartika lebih dulu hadir dalam benaknya.Yeah! Gavriel masih mencintai mendiang istrinya, begitu dalam, sehingga tidak mampu mengkhianatinya meskipun jalan ini adalah jalan yang dipilihkan oleh Kartika sendiri. Gavriel masih ingin mengingat Kartika di setiap detak jantungnya. Gavriel masih ingin menyuarakan nama Kartika di setiap hela napasnya. Gavriel masih ingin bersama dengan bayangan Kartika di setiap langkahnya menyusuri sisa akhir hayatnya.'Kenapa takdirku harus se-pedih ini, Ka. Aku harus berpisah denganmu saat belum sempat melakukan itu semua. Aku harus bagaimana? Kenapa kamu tega denganku dan memintaku untuk me
"Apa maksudnya, Mom?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan, pasalnya ia bingung. Apalagi Azriya yang hanya menangis memegangi pipinya, sedangkan Mommy-nya masih melayangkan tatapan tajam."Mommy sudah lihat video CCTV, Gav! Dia yang sudah mengambilkan salad buah untuk Austin. Dia juga yang berlagak menjadi malaikat penyelamat untuk cucuku! Padahal dia berniat membunuh putramu, Gav. Dia ingin membunuh Austin seperti dia membunuh Kartika!" pekik Lauren dengan suara tertahan.Azriya menggelengkan kepala."Aku memang mengambilkan salad buah, tapi itu Austin yang minta. Aku juga nggak kasih susu, aku nggak tahu kenapa di piringnya tadi ada susu," ucapnya dengan air mata yang terus mengalir deras."Alasan!" sentak Lauren.Wanita paruh baya itu maju satu langkah dan mendekat kepada Azriya. Niatnya ingin menggertak, tetapi Azriya sama sekali tidak gentar."Kebenarannya memang seperti itu, Mom. Aku nggak ada niat mencelakai Austin, aku juga tahu dia alergi susu," ucapnya berusaha membela dir
Pagi ini Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, jelas saja Gavriel dan Azriya langsung menggumamkan rasa syukurnya pada kuasa Tuhan. Mereka sampai di mansion Erlando sekitar pukul sembilan pagi. Adolf yang melihat Kakaknya baru saja turun dari mobil langsung berlari menghampiri dan memeluk tubuh bocah kecil itu. Samua orang yang melihatnya tak ayal tersenyum. "Aku khawatir banget sama kamu, Austin. Masih ada yang sakit nggak?""Nggak, Adolf. Aku cuma ngerasa ngantuk sekarang.""Ngantuk?" tanya Adolf dengan kening mengerut."Efek obat, Nak. Sebaiknya kalian berdua istirahat saja di kamar, ya," sahut Gavriel.Kedua bocah laki-laki itu kompak mengangguk dan lantas menuju kamar mereka. Beruntung hari ini sekolah libur, jadi Austin tidak akan kesepian karena ada Adolf dan Aurell yang menemani."Gav, Austin sudah benar-benar sembuh?" tanya Lauren saat memastikan kedua cucunya sudah masuk."Syukurlah, racunnya belum menyebar. Dan untungnya saat itu ada Azriya yang memberikan pertol
Usai mengembalikan peralatan makan ke dapur, Azriya tidak sengaja berpapasan dengan Adolf. Anak bungsunya yang sangat pendiam dan dingin tersebut sangat mirip dengan Gavriel. Wanita cantik itu mengulas senyum manis, tetapi bocah tampan itu sama sekali tidak melirik kepadanya."Kamu mau ambil apa, Nak?""Coklat," jawabnya singkat. Bahkan Adolf sama sekali tidak menoleh.Azriya mengerutkan kening."Bukannya kamu kemarin sudah makan banyak coklat? Apa gigimu nggak akan sakit, Nak?" tanyanya yang lantas membuat Adolf menoleh."Apa urusan Aunty?""Nak, Aunty cuma mau mengingatkan. Karena 'kan coklat nggak baik buat gigi kamu yang masih dalam masa pertumbuhan. Bagaimana kalau diganti dengan yang lain? Kamu tertarik?" tawarnya dengan senyum cerah."Memangnya apa masalahnya bagi Aunty? Yang akan sakit aku, bukan Aunty 'kan?"Azriya menahan napas mendengar jawaban menohok keluar dari mulut bocah sekecil itu."Tapi cukup siang ini saja, ya, Nak. Nanti jangan makan coklat lagi," ucapnya lagi.Ji
Malam ini Gavriel melakukan perjalanan bisnis setelah dihubungi oleh salah satu rekannya. Langit malam menurunkan banyak tetesan air hujan beserta guntur yang saling menyambar. Di dalam mansion tersebut, Austin sudah terlelap dengan Azriya yang masih mengusap kakinya. Sesekali penglihatan wanita cantik itu akan menyapu ke seluruh ruangan, siapa tahu ada barang Kartika yang bisa ia jadikan petunjuk.Ceklek!Azriya tersentak saat pintu tiba-tiba pintu dibuka. Wanita cantik itu sempat menoleh kepada Austin, guna memastikan tidur bocah itu tidak terganggu. Baru kemudian dirinya keluar kamar dan menghampiri sang Mommy Mertua."Ada apa, Mom? Mommy mau melihat Austin?" tanyanya saat sudah berdiri di hadapan Lauren."Nggak usah pura-pura polos, Riya. Apa yang kamu lakukan kepada Austin sangat berbanding terbalik dengan apa yang kamu lakukan kepada Adolf."Azriya terperangah kaget."Apa maksudnya, Mom? Aku melakukan apa?" tanyanya dengan raut bingung.Lauren tersenyum miring, ia melipat tanga
Gavriel langsung memerintahkan anak buahnya untuk mencari Azriya malam ini juga. Pria tampan itu bahkan mengesampingkan penampilannya dengan kemeja basah."Cari Dokter Andreas di rumah sakit. Mungkin Azriya pergi ke tempat Kakaknya!" ucapnya memberikan perintah kepada pengawalnya di balik telepon."Baik, Tuan.""Laporkan apapun perkembangannya. Dan ingat! Aku mau kalian bergerak cepat!""Kami akan melaksanakan semuanya sesuai keinginan Anda, Tuan."TUT!Gavriel meletakkan ponselnya di atas meja. Lelaki itu terus merutuk di dalam hatinya karena tidak ada di tempat saat kejadian itu.Perlahan Gavriel membaringkan tubuhnya di sofa panjang yang terletak di ruang kerjanya, hingga tanpa terasa kelopak mata itu terpejam lantaran rasa kantung yang menyerang.***Pagi hari.Gavriel merasakan punggungnya pegal-pegal lantaran posisi tidurnya semalam. Dengan perlahan ia menegakkan posisi tubuh dan mulai melangkah keluar ruangan."Loh, Nak! Kamu kok di sini? Katanya ada dinas ke luar kota?" tanya
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b