Gelagat Reyna semakin lama semakin aneh. Setiap hari ibunya selalu melihat sikap asing Reyna. Ia terkadang mendapati putrinya sedang berbicara sendiri. Namun ia ragu untuk menegur anaknya itu.
Ia tidak ingin anaknya merasa tidak nyaman dengan kekhawatiran yang berlebihan itu. Ibu Reyna mencoba berpikir positif atas tingkah anaknya. Bisa saja Reyna sedang ada kerjaan sebagai pemain peran dan dituntut untuk mendalami peran yang tersakiti mungkin?
Wanita paruh baya itu membuang jauh praduga buruk yang bisa membuat Reyna sakit hati. Tapi tetap saja dihadapkan kembali akan pilihan yang membingungkan. Kalau ia tidak bertanya, ia tidak akan mengetahui apa yang sebenernya dialami Reyna. Dan jika ia bertanya bisa saja putrinya akan menutup diri lebih jauh. Perang batin terjadi begitu saja dalam sukma ibu Reyna. Antara ragu tapi ia masih perduli dengan kondisi anak semata wayangnya. Tidak ingin Reyna larut lagi seperti dulu karena perihal gagal menikah.
Di sisi lain ia juga tidak ingin orang-orang ikut larut mencibir perilaku putrinya itu. Aib dan hal yang memalukan untuk ditanggung oleh seorang ibu angkat. Ya, dia bukanlah ibu kandung Reyna yang sebenarnya.
Belum lagi pro kontranya di masa lalu mengenai hak asuh Reyna. Banyak keluarga yang tidak mendukung dengan pilihan wanita paruh baya itu. Ia terlalu nekat untuk mengasihi seorang anak yang tak berdosa itu dengan sepenuh hati.
Tapi Reyna adalah satu-satunya harta paling berharga untuk ibunya. Karena kehadirannya ia bisa merasakan kehangatan karena terasingkan. Menjadi berbeda untuk ibu Reyna sangat sulit sekali. Ia selalu berusaha meyakinkan Reyna agar tidak memedulikan omongan keluarganya.
Reyna diasuh oleh ibu angkatnya ini dari bayi berumur dua minggu. Dengan kasih tak membedakan statusnya walaupun bukan anak kandung. Menemukannya menangis di dalam dus yang terbalut kain, Reyna kecil menangis seolah meminta pertolongan.
Hati dingin ibu Reyna luruh mendengar tangisan itu jika mengingat kejadian 21 tahun yang lalu. Ia tidak menyangka Reyna kecil sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Namun ada satu hal yang mengganjal pada Reyna dan ia menjadi korban perbuatannya.
Walaupun sudah segenap jiwa dan raganya ia berikan demi masa depan Reyna. Ibu Reyna belum bisa menebus kesalahannya pada Reyna hingga saat ini. Menguatkan tekad untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ia mengetuk pintu kamar Reyna perlahan.
Reyna tersentak dan menengok ke arah sumber suara. Ia mendapati ibunya sedang mengintip dari celah pintu yang terbuka. Reyna menyunggingkan senyumnya dengan terpaksa untuk menutupi kesedihan akan penantiannya itu."Kamu lagi apa, Sayang? Tumben enggak keluar," tanya ibu Reyna seiring menghampiri anaknya. Ia memeluk hangat anaknya itu dan mengecup kening Reyna dengan lembut. Kegundahan Reyna akhirnya sirna saat sang ibu datang.
Ia pun memeluk kembali ibunya dengan hangat penuh isak. Menguatkan diri karena dihantui sosok yang tak mungkin ia ceritakan pada ibunya. Ibu Reyna duduk di samping anaknya itu sambil menunggu sebuah curahan hati yang disembunyikan.
"Akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu jarang banget keluar kamar, ada apa, Sayang? Apa ada masalah, hm?" tanya ibu Reyna memancing.
Reyna hanya bisa terdiam, ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Ia juga tidak ingin membuat ibunya sedih karena pilihannya yang aneh. Reyna hanya menggeleng untuk menjawab itu semua. Ia masih belum siap untuk berbagi kisah anehnya dengan sang ibu.
"Biasanya kamu suka banget jalan-jalan kalau lagi weekend gini. Terus pulangnya bawa oleh-oleh kesukaan ibu,"
"Terus-" sambung ibu Reyna namun terpotong.
"Reyna baik-baik aja, Bu. Cuman lagi males ke mana-mana ditambah lagi banyak kerjaan nulis naskah, Bu." sela Reyna cepat menutupi kenyataan yang sebenarnya.
"Beneran?" tanya ibu Reyna mencari kebenaran. Lagi matanya menatap lekat untuk mengetahui apa yang disembunyikan Reyna saat itu.
"Tapi, kok ibu ragu ya. Kalau kamu memang ada masalah jangan sungkan cerita sama ibu. Ibu jadi sedih kalau lihat kamu murung gini. Biasanya juga kamu seneng banget kalau weekend, malah kamu selalu ngarepin tanggal merah setiap hari bukan?" goda ibu Reyna mencoba mencairkan suasana yang canggung ini.
Reyna menghela napas panjang, sedetail itu ibunya memperhatikan kondisinya. Ia mencoba bangkit dari lesunya badan karena memang semalam ia tidak tertidur dengan nyenyak seperti biasanya. Memikirkan kembali tawaran ibunya yang masuk akal.
"Yaudah kalau gitu kita jalan yuk, Bu. Gimana?" ajak Reyna dan membuat ibunya juga ikut semringah. Wanita itu mengangguk tanda setuju dan berlalu untuk bersiap-siap, begitupun dengan Reyna.
Perjalanan panjang dimulai, ibu Reyna sedah mengunci seluruh pintu rumahnya sebelum pergi. Ia tampak terburu-buru karena Reyna mulai kesal menunggunya. Dan saat menunggu itu ekor mata Reyna tak sengaja menangkap bayangan hitam.
Benar-benar jelas sekali dengan sosoknya, ia berlalu meninggalkan ibunya yang masih asyik memeriksa setiap sudut rumah. Sosok itu menuntun Reyna pada rumah kosong uang sudah lama tak berpenghuni.
"Hei!" sosor Bara mengejutkan Reyna dengan sapaannya. Penantian itu akhirnya berakhir juga, segera Reyna memeluk sosok Bara yang ia rindukan dari kemarin. Ia menangis dalam pelukan Bara, sesak sekali rasanya karena baru kali ini ia merindukan lagi seseorang.
"E-eh kenapa kamu nangis?" tanya lagi Bara yang semakin kebingungan dengan kejadian ini. Tapi Reyna tak mampu mengucapkan sepatah kata apapun untuk menjawab. "Maafin aku, ya. Udah enggak usah nangis, sekarang 'kan ada aku." terang Bara dengan polosnya sehingga membuat Reyna menangis menjadi-jadi.
Bara melepaskan pelukan dari wanitanya itu, menatap kembali muka sedih Reyna yang sedari tadi ia sembunyikan di depan ibunya. Reyna tak kuasa menahan segala emosinya yang meledak-ledak itu. Ia semakin sedih dan menangis meraung-raung seperti karena kecewa.
Bara kembali memeluk erat wanita terkasihnya itu. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk meluruhkan sakit hati sebab menahan rindu yang berat. "Iya aku yang salah, maafin aku ya, Reyna ...," lirih Bara penuh penyesalan. Dan hatinya semakin tertaut dengan Reyna.
Semenjak hari ini ia tidak ingin lagi meninggalkan Reyna seorang diri menahan rindu. Membawanya sekejap dari rumah ke tempat asing, semakin bebas Bara menaklukan Reyna dalam butanya kesedihan. Bara terus berusaha menenangkan emosi Reyna yang labil kala itu.
"Kamu boleh marah. Tapi aku janji enggak akan ninggalin lagi kamu, Rey. Hanya ada 1 permintaanku kali ini—"
"A-apa itu ...?" tanya Reyna parau. Bara menatap lekat Reyna penuh makna. Ia mengecup mesra Reyna sebagai tanda rindunya juga. Menyayat sedikit salah satu lengannya dan menyesap darah yang keluar dari salah satu tangannya itu.
"Akh...," ringis Reyna karena merasa perih sekali. Lagi Bara menlanjutkan penjelahannya, ke salah satu tubuh Reyna yang paling sensitif, ia menyentuhnya dengan lembut. Dan sentuhan itu memberikan tatto bergambar mawar hitam sebagai tanda terikat seumur hidup.
"Mulai detik ini kau akan menjadi milikki untuk selamanya Reyna," bisik Bara seiring meneruskan aksinya.
"Bagaimana aku bisa yakin dengan kata-katamu? Jika suatu saat nanti kau akan meninggalkanku seperti yang lain?" tanya Reyna sendu. Reyna menunduk pilu, ia masih ragu dengan pilihannya itu. Sepintas ingatannya kembali pada masa lalu yang menyesakkan hati. Reyna tidak ingin masuk ke dalam lubang kesakitan untuk kesekian kali. Reyna memalingkan wajahnya yang gusar itu, karena tak ingin dilihat lemah oleh lawan bicaranya. Terseok-seok, Bara berusaha menenangkan kegusaran hati Reyna. Ia memeluk lembut Reyna yang dirundung sedih tak berakhir. Dan tak sengaja Bara diantarkan kembali pada kutukan yang terjadi pada calon suami Reyna. Ya, kutukan yang membuat sesiapapun bisa gila. Dimana hari kebahagiaan itu harus sirna karena kutukan Bahulaweyan. Berat rasanya menerima hal tersebut dengan akal sehat. Tapi inilah realita. Sehingga kutukan itu mengantarkannya pada Reyna dan tertaut hati pada hal yang tak laz
"Cinta itu buta. Aku menyayangimu tanpa alasan apapun Reyna," seru Bara. Dan tanpa Reyna sadari langkah kakinya sudah berhenti di sebuah rumah mungil yang hangat dan menenangkan hati. Bara membuka pintu rumah yang sudah usang itu perlahan. Reyna mencium bau kayu mahoni sebagai penyambutan selamat datang. Tanpa basa basi Bara menarik paksa Reyna untuk masuk ke dalam kamarnya.Reyna benar-benar terhipnotis dengan suasana dan sosok Bara yang sangat manis. Suasana malam yang sejuk, dengan kondisi minim cahaya membuat Reyna terlena dengan nafsu yang lama sekali ia redam. Bara mendorong Reyna untuk tertidur di atas kasur yang empuk dengan posisi yang menggairahkan. Memburu dengan kecupan mesra, Bara melucuti pakaian Reyna sehelai demi sehelai.Berkali-kali Bara menelan salivanya, tapi seni dengan nafsu ini terlalu sayang untuk dilewatkan sedetik saja. Kenikmatan yang selalu Bara tunggu di waktu yang tepat sekali. Akhirnya Bara berhasil menak
"Mau pergi kemana, Sayangku?" tanya Bara sambil memegang erat lengan Reyna.Reyna mencoba melawannya dengan melepaskan cengkraman Bara. Bukannya terlepas, tulang lengan Reyna remuka karena Reyna berusaha melarikan diri. Meringis kesakitan, Reyna berusaha bangkit dan berlari sekuat tenaga.Belum sembuh luka lengannya, kini ia harus mendapati sosok yang diagungkan olehnya menjadi jelemaan iblis mengerikan. Reyna ketakutan setengah mati karena wujud Bara mulai berubah. Ia berusaha menendang Bara dan berlari secepat mungkin.Namun itu sia-sia, karena setiap Bara menjentikan jarinya Reyna kembali dalam pelukannya. Reyna meraung meminta pertolongan. Tapi itu hanyalah membuang-buang tenaganya saja. Reyna menghela napas panjang, ia sangat kelelahan tak bisa melawan lagi.Hanya bisa terkulai lemas dalam pangkuan Bara yangmana tubuhnya semakin membesar. Reyna tak bisa mengusik lagi untuk melawan. S
Hari-hari berlalu menjadi minggu dan bulan. Tampak Reyna telah kembali menjadi manusia normal tanpa gangguan apapun-sementara waktu. Badannya memang normal, namun hatinya terasa lebih hampa dari sebelumnya. Baru pertama kali ia merasakan hal ini. Dan ia tak pernah dapatkan dari saudara sesamanya bangsa manusia. Tetap saja Reyna tak bisa hidup normal seperti sebelumnya. Kejadian di luar itu membangun asumsi buruk bagi Bu Allen. Sebisa mungkin Reyna harus bisa lepas dari jerat kaum satanis. Ia masih yakin bahwa Bara mengincar mereka jika lengah. Tanpa b**a-basi pasca cerita yang keluar dari mulut Reyna, Bu Allen semakin ekstra menjaga Reyna. Walaupun Reyna tak sepenuhnya berkata jujur, dengan segenap tenaganya Bu Allen takan pernah memberi celah sekecil apapun. Sehingga hal-hal sepele termasuk membiarkan Reyna mengurung diri di kamar, sekarang menjadi urusannya. Ia tak ingin kejadian di masa lalu terulang kembali. Hanya Reyna yang dimiliki
"Ibu lebih baik mati kalau kamu nekat pilih Bara sebagai calon suamimu. Apa kamu udah putus asa sama anugerah dari Allah? Ibu enggak akan pernah kasih restu kalau kamu tetap pilih Bara. Do'a ibu selalu menyertaimu, Reyna ...," lirih Bu Allen menyesal karena ini juga ada sangkut pautnya dengan masa lalu.Ia menyesal karena terbuai dengan rayuan anggota penyangkalan keyakinan itu. Menghela napas panjang karena mulai sebal dan kesal. Bu Allen berusaha menghibur Reyna dengan mencarikan lagi seorang pria sebagai calonnya. Bukannya senang, Reyna semakin membenci ibunya saat itu juga. Manik mata Reyna menatap lekat."Reyna ini udah gede, Bu. Kalau ibu enggak pernah setuju dengan pilihan Reyna. Setidaknya hargai keputusan Reyna untuk saat ini!" decit Reyna sebal dan beranjak dari kamarnya.Kenapa lancang sekali Bu Allen melemparkan kata-kata itu. Andai saja ia tahu asal muasal menerima kutukan karena ulah Bu Allen. M
Hening tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Reyna maupun pria asing itu. Mereka menyusuri jalan penuh bebatuan. Gemericik hujan terus menemani mereka kala itu. Sesekali Reyna mengintip siempunya payung hitam yang misterius. Hingga diamnya mereka tak menggubris lamunan untuk sampai ke rumah pria asing tersebut.'Reyna, kamu harus pandai menjaga diri. Siapa tau ia pria jahat. Jangan sampai kamu terbuai,' batin Reyna menyadarkan dirinya kala itu.Reyna menelan salivanya karena merasa tegang dengan keadaan yang berbeda. Ia mencoba mengamati perawakan pria itu, siapa tau mereka pernah bertemu. Dengan perawakan yang cukup ideal, memiliki tinggi kurang lebih 170 sentimeter.Ia terlihat bisa menjadi idaman bagi wanita sebayanya. Belum lagi ia memiliki kulit sawo matang, dengan tangan-tangan yang lentik membuat Reyna seketika mulai tersipu. Sayang, ia tak bisa melirik muka dibalik bayang-bayang payung hitamnya.
"E-eh, maaf Tante. Tadi aku lihat an-eh Malvin cari Tante ke dalam," jawab Reyna kaku dan ibu Malvin hanya mengangguk. Mata mereka saling bertautan, Reyna berusaha mengalihkan pandangan karena merasa canggung sekali.Setelah lama bertapa, rasanya aneh sekali menjadi tamu untuk seseorang. Reyna masih terpaku karena malu. Sesekali ia melemparkan senyuman pada ibu Malvin untuk mencairkan suasana. Ia tidak memulai sepatah kata apapun dari mulutnya.Hanya menunggu pertanyaan yang keluar dari ibu Malvin. Rasanya benar-benar hal aneh bagi Reyna saat ini. Tak sengaja ujung mata Reyna menangkap gelagat ibu Malvin yang memperhatikannya. Ibu Malvin memperhatikan lagi Reyna secara jeli dan teliti.Sesekali ia melemparkan senyuman untuk membalas pesona yang terpancar. Baru kali ini ibu Malvin memperhatikan tamu sejeli ini. Menurutnya ada yang berbeda dari mimik Reyna mengenai pesonanya itu. Manik mata ibu Malvin tak
"Kamu bisa bilang enggak apa-apa tapi perut kamu jujur banget, Reyna. Udah yuk kita makan," ajak Ibu Malvin sambil menyodorkan sepotong pizza dan fried chicken ke depan Reyna. Reyna mengambil sepotong pizza itu dan-rasanya enak sekali. Mungkin karena efek kelaparan, Reyna merasa rasa ini sangat baru untuk lidahnya.Tampak matanya berbinar menunggu sepotong pizza lainnya ditawarkan oleh Ibu Malvin. Ia sangat malu sekali, tapi ia sangat kelaparan. Sehingga Malvin dengan suka cita membawakan satu box penuh pizza itu ke depan Reyna. Ia meyakinkan Reyna untuk menghabiskan makan malamnya. Reyna mulai terbiasa dengan suasana yang semula canggung menjadi nyaman karenanya."Makanya jangan malu-malu, habiskan aja Rey. Nanti Tante bisa pesen lagi kok. Tante udah kenyang banget ini, dan mata udah enggak bisa diajak kompromi kayanya, Tante duluan tidur enggak apa-apa 'kan?" tanya Ibu Malvin yang sedari tadi menahan kantuk karena tak mau melewatkan moment