Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”
“Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk
“Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.” “Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan. “Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas d
“aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut
“Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan
“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat d
“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. “Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. “Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. “Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” “Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. Pagi itu sen
Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu. “Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku s
“Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan
“aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut
“Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.” “Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan. “Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas d
“Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk
Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”
“Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk
“Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada