“Aku mau culik kamu.” Lelaki itu menghentikan langkahnya, sehingga mau tak mau langkahku pun terhenti. Kucoba menariknya lagi agar ia mengikuti langkahku. Tapi tentu saja itu nyaris mustahil dengan tenaga yang sama sekali tak sebanding. “Silahkan,” godanya tanpa niat untuk bergerak dari tempatnya.“Ayo, kita lari,” ajakku. “Katanya kamu mau culik aku. Silahkan,” ucapnya seakan sengaja membuatku kesal. “Ya udah, ya udah. Kalo gitu kamu aja yang culik aku.” Aku rasa tak akan bisa menghadapinya dengan kekerasan, harus dengan otak. “Tapi … aku sama sekali tidak ingin menculikmu,” sahutnya dengan tenang. Dan ketenangan itu membuatku merasa semakin putus asa. Bagaimana tidak, niatku untuk menghabiskan hari ini bersamanya, tak mendapat respon yang kuinginkan. Dia seperti … sama sekali tak tertarik untuk bersamaku.“Ya udah,” sahutku yang langsung melepaskan genggaman tanganku, “kamu balik aja ke Anita. Toh, nanti juga bakalan ada cowok cakep lain yang mau culik aku dari sini.” Kutekuk
“Hah! Ponselku mati? Jadi dari tadi ponselku mati?” ulangku masih tak percaya dengan ucapannya. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kecilku. Dan benarlah. Layarnya gelap tanpa tanda kehidupan. Aku menghela napas. “Maaf, aku kira kamu nggak telpon atau cari aku sama sekali karena kamu sudah nggak peduli lagi sama aku.” “Kenapa kamu sampai punya pikiran seperti itu?” “Ya … itu juga gara-gara kamu,” sahutku, “aku udah panas-panas cuman pingin kasih kejutan buat kamu di kantor kamu. Tapi malah aku yang dibuat kesal habis-habisan. Dari satpam kantor, sekretaris, bahkan kamu sendiri juga sepertinya nggak mau aku datang.” “Bukan gitu Alea.” “Kalau bukan itu alasannya, apa lagi? Orang-orang di kantor kamu juga sepertinya nggak suka liat aku datang. Mereka seperti liat alien, apa aku terlalu aneh buat mereka?” protesku lagi. “Jadi itu alasannya kamu mengubah penampilan kamu seperti ini?” tanyanya seperti mencoba memahami perasaanku. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku cuma mau terli
“Makasih buat apa?” tanyanya. “Buat ceritakan semua perasaan Bapak dengan jujur,” sahutku. “Lalu jawaban kamu? Tadi kan, kamu belum jawab pertanyaanku.” Lelaki itu menuntut sebuah jawaban atas pertanyaannya tadi. Aku menarik sudut bibirku, memamerkan seulas senyumanku padanya. “Rahasia.” “Alea. Itu nggak sportif namanya,” protesnya. “Biarin, wee,” sahutku sembari menjulurkan lidah. Tentu saja aku tidak ingin mengatakan apa yang ada dalam hatiku. Aku tidak ingin dia tahu bahwa perasaanku juga sudah berubah karena cara dia memperlakukan aku. Aku tidak ingin dia tahu, bahwa perhatiannya dan kelembutannya selama ini sudah membuatku jatuh cinta. Bukan hanya itu, sepertinya aku bahkan jadi tergantung padanya. Aku seperti tak akan bisa hidup tanpa dia di sisiku. Tidak seperti yang kuduga. Malam ini taman hiburan leb8h ramai dari biasanya. Hiruk pikuk para pengunjungnya membuatku terkadang terdorong bahkan terhimpit di antara lautan manusia itu. Namun selama genggaman erat tangan
Beberapa detik yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Sesaat kutatap sepasang manik indah lelaki di sampingku. Lelaki yang kini telah berhasil mencuri hatiku. Ia baru saja menciumku di sini. Jauh dari permukaan tanah, disaksikan ribuan bintang di langit dan lautan manusia di bawah sana. Lelaki itu meraih pinggangku, dan untuk kedua kalinya ia menipiskan jarak di antara kami dan mengecup bibirku dengan lembut. Ah … tidak, kecupan lembut itu berubah menjadi lumatan yang penuh gairah. Klik! “Hei, apa yang kalian berdua lakukan?” tanya sang petugas saat membuka pintu bianglala dengan ekspresi terkejut.Mendengar suara itu, tentu saja kami langsung saling melepaskan diri. Rasanya seperti … seekor kucing yang sedang tertangkap basah berada di atas meja makan dan menikmati seekor ikan goreng.Malu? Tentu saja. Aku harap semua ini hanyalah mimpi dan aku terbangun di atas kasurku sebentar lagi. Tapi sesaat kemudian pintu itu kembali tertutup. “Oke, satu putaran lagi buat kalian
Udara terasa semakin dingin saat pagi menjelang. Hangatnya tubuh dan lembab kulitnya, masih enggan kulepaskan dari pelukanku. Detak irama jantungnya terdengar jelas di telingaku. Bahkan aroma tubuh maskulinnya tercium dengan jelas oleh indraku. “Alea, kamu belum tidur?” Suara itu terdengar lembut, seakan takut mengusikku yang masih berada dalam dekapannya. “Hmm …” sahutku dengan tenaga yang tersisa, “mana bisa aku tidur setelah kena jurus serangan tanpa bayanganmu barusan.”Lelaki itu tergelak. Namun sesaat kemudian ia terdengar mulai serius. “Sebelum kuliahmu dimulai, kenapa kita tidak pergi ke suatu tempat, menghabiskan waktu berdua tanpa memikirkan apapun. Hanya berdua saja,” ucap Pak Jonathan tiba-tiba. “Seperti saat ini?” tanyaku.“Tidak. Lebih dari ini. Mungkin seminggu atau dua,” lanjutnya, “atau lebih.” “Seperti … bulan madu?” tanyaku lagi“Benar. Bulan madu. Kita belum melakukannya, kan?” lanjutnya lagi, “kamu mau?”“Nggak,” sahutku cepat.Pak Jonathan menghela napas. Se
“Apa? Bali?”“Iya. Aku sudah minta Anita untuk mempersiapkan semua akomodasi yang kita butuhkan,” ucap Pak Jonathan. Lelaki itu tampak bersemangat saat menceritakan niatnya. Kutatap daging salmon di atas hidangan sushi di piringku tanpa selera. Membayangkan indahnya pulau dewata yang mungkin hanya bisa kunikmati dari balik jendela kamar selama dua minggu, benar-benar membuatku semakin kesal. “Hei, dengar. Banyak tempat yang bisa kita kunjungi di sana. Nggak kalah sama luar negeri. Bahkan turis mancanegara saja, lebih memilih pulau itu sebagai destinasi mereka,” terang Pak Jonathan. “Iya, aku tahu,” keluhku, “asal kamu nggak kurung aku di kamar cuman buat jadi mesin pencetak bayi, aja.” “What?” pekik Pak Jonathan tiba-tiba, “jadi sedari tadi kamu mikirin itu? Aku cuma bercanda, Alea. Hei … aku itu sayang sama kamu. Yang aku pikirkan cuma bagaimana cara untuk membahagiakan kamu, Sayang.” Aku menatapnya dengan sudut mataku. “Sungguh? Tentang bayi itu, kamu nggak serius, kan?” “Asta
Aku jadi salah tingkah. Gimana tidak, Pak Jonathan seakan sengaja melakukan semua ini, seakan memamerkan kemesraan kami pada sang pemilik butik ini. “Well, semua sudah kami kemas dengan baik,” ucap wanita cantik berusia tiga puluhan itu, “selamat buat kalian berdua. Dan semoga kamu tidak akan pernah mengecewakannya, Jo.” “Terima kasih, Marsha,” ucap Pak Jonathan sembari menarik kartu itu dari tangan sang pemilik butik, “tentu saja aku tidak akan pernah mengecewakannya.”Entah kenapa aku merasa ada perasaan yang mengganjal di dalam hatiku. Apalagi saat melihat tatapan mereka bertemu. Seperti … mereka sudah lama mengenal satu sama lain. Bukan hanya itu. Mereka bahkan pernah akrab. Tapi … tidak. Bagaimana bisa aku mencurigai Pak Jonathan, sementara dia berusaha membuatku bahagia. Lelaki itu menggenggam tanganku dan membimbingku keluar dari butik khusus gaun pesta itu. Genggaman tangannya begitu erat, seakan takut akan kehilanganku. Tapi entah kenapa perasaanku semakin tak nyaman. Ra
“Ssst! Biarkan saja,” nasihat Pak Jonathan, “percuma kamu jelasin apapun. Malu dan buang-buang energi. Biar mereka tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi."" Tapi dia benar-benar hebat. Kabarnya ia meninggalkan perusahaan keluarganya demi cita-citanya menjadi guru, kan?” lanjut perempuan lainnya, “aku sempat melihat wajahnya di sampul sebuah majalah bisnis. CEO termuda di negara ini. Ah ... gadis itu sungguh beruntung menjadi istrinya."Wait! Jadi … mereka bukan membicarakan tentang kejadian waktu itu. Tapi tentang artikel lain yang tidak aku ketahui. Syukurlah. Tak ada yang perlu aku khawatirkan. Bahkan Pak Jonathan sudah menutup semua kejadian tak menyenangkan itu dengan prestasinya dalam dunia bisnis barunya. “Pak Jo, kamu lapar nggak?” tanyaku menyuarakan isi perut yang mulai protes minta diisi. “Kenapa? Kamu pingin makan sesuatu?” tanyanya.Aku menganggukkan kepalaku. “Ikan bakar?” Tebaknya, “mumpung lagi di sini, ayolah.”“Tapi aku pinginnya gurita asem manis.” “Hmm … aku
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk