“Ssst! Biarkan saja,” nasihat Pak Jonathan, “percuma kamu jelasin apapun. Malu dan buang-buang energi. Biar mereka tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi."" Tapi dia benar-benar hebat. Kabarnya ia meninggalkan perusahaan keluarganya demi cita-citanya menjadi guru, kan?” lanjut perempuan lainnya, “aku sempat melihat wajahnya di sampul sebuah majalah bisnis. CEO termuda di negara ini. Ah ... gadis itu sungguh beruntung menjadi istrinya."Wait! Jadi … mereka bukan membicarakan tentang kejadian waktu itu. Tapi tentang artikel lain yang tidak aku ketahui. Syukurlah. Tak ada yang perlu aku khawatirkan. Bahkan Pak Jonathan sudah menutup semua kejadian tak menyenangkan itu dengan prestasinya dalam dunia bisnis barunya. “Pak Jo, kamu lapar nggak?” tanyaku menyuarakan isi perut yang mulai protes minta diisi. “Kenapa? Kamu pingin makan sesuatu?” tanyanya.Aku menganggukkan kepalaku. “Ikan bakar?” Tebaknya, “mumpung lagi di sini, ayolah.”“Tapi aku pinginnya gurita asem manis.” “Hmm … aku
“Hah? Jadi … kamu sengaja datangi perempuan itu?” Suara Vena meninggi sesaat setelah aku menyampaikan semua kecurigaanku, “kamu ini emang, nggak ada kapoknya ya, Al.” “Memangnya seharusnya aku gimana?” tanyaku sesaat setelah menerima responnya, “masa sih aku mesti diem aja. Pasrah, walaupun liat kemungkinan suami aku disabotase.” Gadis itu mengangkat tangannya dan menyatukan jari telunjuk dan tengahnya, sebelum mendaratkannya di keningku. “Oneng … oneng! Itu namanya kamu nggak percaya sama suami kamu sendiri,” tegurnya. “Aduh! Sakit tau!” Aku mengusap keningku yang terasa sakit karena menjadi objek pendaratan jarinya.“Biarin! Biar kamu sadar kalo pernikahan itu nggak bakal berhasil kalo kamu nggak bisa percaya sama suami kamu sendiri.” “Heh! Aku ini teman kamu, Ven. Bukan Pak Jonathan. Kenapa kamu sekarang justru bela dia, sih?” protesku. “Justru karena aku temanmu, Alea. Aku harus lurusin jalan kamu yang mulai menyimpang,” balasnya, “heran. Kenapa kamu jadi pekok gini sih?” “
“Kamu pilih dia atau tetep sama aku?”“Alea … Alea, plis … jangan mulai lagi deh.”“Apa … aku kenal sama dia?” tanyaku lagi.“Siapa? Mantan aku?” tegasnya, “kamu ini kenapa, kok tiba-tiba ngerajuk seperti ini?”Lelaki itu meletakkan tangannya di keningku, seperti sedang memeriksa kesehatanku. Tentu saja aku sehat, yang sedang sakit itu mentalku. Nggak tau kenapa akhir-akhir ini rasa percaya diriku berkurang, bahkan aku takut kalau perasaan suamiku berubah padaku.“Aku pernah ketemu sama dia?” “Alea … kamu mau aku ingat lagi masa lalu aku?” tanyanya kemudian, “aku sudah lupakan semuanya dan hanya kamu satu-satunya wanita dalam hidupku. Apa kamu yakin memintaku mengingat masa laluku?”Aku menelan kasar salivaku. “Sebuah penolakan dengan alasan yang sangat masuk akal. Walau aku yakin, sekarang pun kamu masih ingat sama dia.”“Alea.”“Orang bilang, cinta pertama itu nggak akan pernah terlupakan.” “Seperti kamu nggak akan melupakan Doni,” timpalnya. Aku mendengus kesal. “Setidaknya Doni
“Lalu kamu jawab apa?”“Ya … nggak mungkinlah. Emang aku keliatan macam cewek nggak setia, gitu?” Vena tertawa terkekeh. “Apa aku bilang. Percumalah … kamu deketin Bu Marsha.”Aku menganggukkan kepalaku. Lalu tanpa sengaja aku menoleh ke arah butik dengan pajangan manekin bergaun putih nan indah di bagian depannya itu. Tentu saja tempat itu tidak seramai toko lain, karena tidak setiap orang membutuhkan pernak pernik pengantin yang tidak bisa dikatakan murah itu.Pandanganku terkunci pada seorang pria bertubuh jangkung yang keluar dari tempat itu. Senyuman indah itu terlihat dengan jelas di bibirnya, dan sebaliknya membuat senyumanku lenyap seketika. “Al, itu bukannya Pak Jonathan?” Perasaanku semakin bercampur aduk tak karuan ketika melihat Kak Marsha berjalan di belakangnya. Perempuan cantik itu juga memperlihatkan senyuman yang tak kalah lebarnya. “Jangan-jangan … dugaanmu benar. Mungkin Kak Marsha itu mantan pacarnya suami kamu.” Ucapan Vena mempertegas semua bayangan yang ada
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p
“Please …” lirihku sembari meremas pundaknya. Rasa gemas membuatku tak mampu menguasai diri, apalagi di saat hasratku seakan meluap sampai ke ubun-ubun. Tapi lelaki itu seperti tak peduli akan rengekan atau desah nafasku yang semakin tak karuan. Ia justru menempelkan ujung lidahnya dan berputar mengelilingi bagian puncak di dadaku. Tubuhku semakin menegang karenanya. Sepasang tanganku menggapai rambutnya, mencengkeram helaian berwarna hitam yang tumbuh di batok kepalanya“Al, kamu mau punya suami botak?” Akhirnya ia berhenti melakukan hal yang menyebalkan itu. Kulepaskan cengkraman tanganku dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada. “Makanya jangan cari gara-ga–”Tok! Tok! Tok!Mendengar suara ketukan itu, membuatku menghentikan ucapanku. Tentu saja hal itu sangat menggangguku, bahkan kami belum sempat bercinta. “Tunggu sebentar,” ucap Pak Jonathan sembari beranjak dari atas tubuhku dengan gerakan enggannya. Lelaki itu cepat-cepat memakai celana panjangnya sampai terhuyung ka
“Tentu saja, mereka semua justru yang akan iri sama aku,” sahutku cepat, “karena semua hal yang setiap perempuan inginkan, ada sama kamu.” “Alea, kamu lagi ngejek aku, kan?” “Kok ngejek? Aku bicara apa adanya, kok,” balasku, “kamu itu mapan, ganteng, pintar dan ….” “Dan apa?” “Nggak jadi.” Aku langsung berbalik dan melangkah kembali masuk ke halaman rumahku. Sumpah! Demi apa aku sampai mengatakan semua itu. Tapi … sepertinya nggak masalah kalau sesekali aku memujinya seperti ini. Mungkin ia jadi pencemburu karena ketidak percaya diriannya saja. “Dan apa Al? Kamu sengaja ya, mau bikin aku mati penasaran.” “Nggak, aku bilang nggak jadi,” sahutku. Sepertinya semua yang kukatakan tadi, sudah cukup. “Alea!” panggilnya dengan suara merayu sembari mengikuti langkahku, “dan apa dong.”Kudengar suara pintu tertutup di belakangku. Dan sesaat kemudian kurasakan sentuhan tangannya di bahuku. Tangan itu membuatku mau tak mau memutar tubuhku untuk menghadapnya. “Dan apa, Al?” tanyanya deng
Aku berdiri dari kursiku. Ingin sekali kulempar semua hidangan di hadapanku. Bagaimana bisa ia mengatakan semuanya tanpa rasa bersalah, seolah semua yang sudah kami lalui hanyalah sebuah lelucon belaka. Kecewa? Tentu saja aku merasa sangat kecewa. Kalimat itu bahkan membuatku merasa tak berharga lagi. Seakan dia hendak mencampakkan aku setelah semua cinta tulus yang kuberikan. Sepertinya aku salah karena mengira ia mencintai dan memperlakukanku dengan tulus. Rasa sakit seperti menamparku pada kenyataan yang kini kurasakan.“Jadi … setelah semua ketulusan yang aku berikan, kamu berniat mencampakkan aku?” “Bukan … bukan seperti itu. Al, aku tahu kamu terpaksa menikah denganku. Bahkan kamu mengajukan daftar keinginan hanya untuk membuatku mundur,” ucapnya dengan wajah yang seperti frustasi, “setelah peristiwa hari ini, akhirnya aku menyadari bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk membalas perasaanku.”Aku menghela napas sedalam-dalamnya dan menghembuska