“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat d
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk