“Ya … jejak, Al. Jejak,” ulang Vena seperti tak sabar, “kamu tandain biar orang lain tau kalo dia udah punya pasangan.” Aku menjentikkan jariku. “Macem stiker atau baju bertulisan gitu kan? Tapi … pasti dia nggak mau pake, deh.” “Duh … serah, deh. Mau kamu kasih jejak apa juga. Mau kamu sablonin kaos pake gambar muka kamu juga nggak papa.”“Ah! Ide bagus itu! Aku buatin macem gitu deh,” balasku, “captionnya apa ya?” “Ya udah, tulis aja. Punya Alea! Macem di tip ex kamu itu.” “Tapi dia bukan barang. Dia manusia. Jadi nggak manusiawi dong, kalo cuman gitu tulisannya.” “Ya udah, ganti aja. Pacar Alea,” jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit lebih ketus.“Kamu marah, ya?” “Ya jelas! Jelas banget aku marah,” balasnya, “nggak nyangka banget kalo Alea, temen aku yang cerdas itu ternyata lola.” “Ish! Kok lola sih. Tapi … ide kamu bagus, kok. Aku buat deh. Lumayan, kita belum punya nih.” “Ya udah, suka-suka kamu deh.” Cukup lama kami menghabiskan waktu di salon itu. Tentu saja p
“Gimana sih? Aku makin nggak ngerti deh,” sahutku,”nggak mungkin Doni bisa cari tahu pembunuh bapaknya. Kan dia cuman bisa tiduran di ranjang rumah sakit.” “Seharusnya gitu kan. Tapi Doni curiga sama ibunya. Jadi diam-diam dia ngerekam pembicaraan ibunya, tengah malam ibunya menghubungi seseorang saat ia tidur. Lalu rekaman itu dikirimkannya ke aku. Dan … saat aku jenguk dia, Doni suruh aku ambil ponsel ibunya buat diserahin ke polisi,” terang Audrico, “nyatanya dari pesan-pesan dalam ponsel itu, ibunya memang otak dari kejadian ini. Dia bayar orang buat bunuh mantan suaminya.” “Jadi … si Doni apes, karena pas itu ada di tempat kejadian. Tapi …. Wait! Buat apa dia bunuh mantan suaminya?” “Urusan pribadi, pastinya. Udahlah, biar polisi yang bereskan masalah ini. Kita nggak perlu ikut campur lebih dalam lagi,” sahut Pak Jonathan.“Tapi ….” “Iya. Mungkin saja urusan uang atau bisa juga urusan hati,” potongnya. “Kamu abis belanja, ya?” Sepertinya Pak Jonathan diam-diam mengamati pape
Aku melirik lelaki yang sibuk mengendalikan kemudinya. Sangat terlihat kala ia menahan tawanya. Seperti yang kuduga, panggilan itu justru terdengar menggelikan. Dan sumpah! Aku nggak bakal panggil dia dengan kata itu.“Kan … apa Alea bilang. Dia pasti lebih seneng dipanggil Pak Jonathan daripada panggilan lainnya,” gerutuku. “Sayang, yang bikin aku ketawa itu cara kamu ngomong. Bibirnya nggak usah dimonyong-monyongin gitu lah,” komentar Pak Jonathan. “Kalau gitu, kenapa kamu nggak panggil dengan panggilan yang sama, Alea?” “Panggilan yang sama gimana, Pa? Sama … sama apa?” tanyaku tak mengerti. “Ya itu tadi. Suami kamu udah bener itu, panggil kamu dengan kata sayang,” atur papa seolah konsultan hubungan suami istri.“Ah, harus panggil sayang, ya?” tanyaku dengan perasaan canggung. “Nggak sulit, kan,” ejek Pak Jonathan yang sepertinya mulai menikmati perpeloncoan papa terhadapku. “Iya, iya. Gampang, Pak Jonathan sayang.” “Lah, kok masih pakai kata pak,” protes papa. “Ya … pelan
“Tahan, sebentar lagi,” sahutnya alih-alih membiarkanku cepat-cepat ke kamar mandi. Lelaki itu justru mengerakkan tubuhnya semakin cepat, cepat dan lebih cepat. Hingga akhirnya aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. “Aku nggak tahan lagi,” lirihku saat merasa cairan hangat itu keluar dari sela pahaku.Alih-alih menceramahiku, lelaki itu justru mengecup keningku dan merebahkan tubuhnya di atasku. Napasku masih saja memburu, debar jantungku masih tak karuan. Ditambah berat tubuhnya yang kini menghimpitku. “Pak Jo, bisa remuk macem geprekan loh, aku,” lirihku. Kedut-kedut itu masih terasa begitu jelas di dalam sana. Tapi sepertinya suamiku masih sekuat tekatnya untuk mendapatkan bayi pertama kami. Ia kembali mengangkat tubuhnya dan mengayunkan pinggangnya dan bergerak dengan intens di bawah sana. Ah ~ dia kembali membawaku ke dalam pusaran yang tiada akhir. Menggulungku dalam ombak yang menelanku dalam hasratnya yang terasa semakin panas. “Jo nath – ah,” pekikku ketika ia men
Pagi itu berjalan sempurna, seperti biasanya. Bahkan asisten rumah tangga baruku, ternyata tak kalah cakap dalam pekerjaannya. Ia bahkan datang lebih pagi dari Bik Titin dan segera membantuku dalam urusan dapur. Perawakannya yang gemoi tak membuatnya lamban dalam mengerjakan tugasnya. “Non, mas sama Non itu cocok banget ya. Kata orang mah, kalo jodoh mukanya jadi mirip,” ucapnya siang itu saat ia sibuk mencuci panci bekas masak.Mendengar kalimat yang diucapkannya, mau tak mau aku tersenyum geli. “Memangnya sama dari mana, Mbak Santi?”“Yang satu ganteng, yang satu cantik. Gimana ya jelasinnya, pas banget, gitu Non. Macem liat putri sama pangeran dari negeri fantasi.” “Nah … kan. Mbak Santi cuman berfantasi,” balasku, “atau jangan-jangan maksud Mbak Santi aku putri Viona dan suamiku Shrek?”“Hah? Apa itu Non?” tanyanya, “di kampung aku cuma taunya putri salju, putri aladin sama putri malu.” “Ah … putri malu mana termasuk, Mbak,” sahutku. “Tapi simboknya Mbak Santi bilang, dulu pu
“Hei! Apa-apaan ini!” teriakku kesal ketika perempuan itu mencekal tanganku dan menyeretku kembali keluar. “Pak Jonathan! Sayang ….” Aku sama sekali tidak menyangka kalau perempuan itu punya tenaga sekuat kuda. Bahkan tanpa bantuan, ia berhasil membuatku keluar dari ruang kerja suamiku. Kuusap pergelangan tanganku yang terasa panas karena cengkraman perempuan itu. “Anita! Kenapa kamu seret istriku keluar?” Suara keras itu tak urung membuatku tersenyum. “Hah? Jadi kamu … Nyonya Alea? Tapi … kenapa masih dia … sangat muda?” ucapnya dengan ekspresi seperti kebingungan. Pak Jonathan tampak gusar. “Dia istriku. Siapapun yang berani ganggu dia, harus berhadapan denganku.” “M–maaf Nyonya.” Spontan perempuan yang dipanggil dengan nama Anita itu langsung minta maaf sambil menundukkan kepalanya. Masih belum hilang rasa terkejutku, Pak Jonathan telah meraih tanganku dan membawaku ke ruangannya. Ruangan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan ruang sempit kesiswaan di SMA Merah Pu
“Aku mau culik kamu.” Lelaki itu menghentikan langkahnya, sehingga mau tak mau langkahku pun terhenti. Kucoba menariknya lagi agar ia mengikuti langkahku. Tapi tentu saja itu nyaris mustahil dengan tenaga yang sama sekali tak sebanding. “Silahkan,” godanya tanpa niat untuk bergerak dari tempatnya.“Ayo, kita lari,” ajakku. “Katanya kamu mau culik aku. Silahkan,” ucapnya seakan sengaja membuatku kesal. “Ya udah, ya udah. Kalo gitu kamu aja yang culik aku.” Aku rasa tak akan bisa menghadapinya dengan kekerasan, harus dengan otak. “Tapi … aku sama sekali tidak ingin menculikmu,” sahutnya dengan tenang. Dan ketenangan itu membuatku merasa semakin putus asa. Bagaimana tidak, niatku untuk menghabiskan hari ini bersamanya, tak mendapat respon yang kuinginkan. Dia seperti … sama sekali tak tertarik untuk bersamaku.“Ya udah,” sahutku yang langsung melepaskan genggaman tanganku, “kamu balik aja ke Anita. Toh, nanti juga bakalan ada cowok cakep lain yang mau culik aku dari sini.” Kutekuk
“Hah! Ponselku mati? Jadi dari tadi ponselku mati?” ulangku masih tak percaya dengan ucapannya. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kecilku. Dan benarlah. Layarnya gelap tanpa tanda kehidupan. Aku menghela napas. “Maaf, aku kira kamu nggak telpon atau cari aku sama sekali karena kamu sudah nggak peduli lagi sama aku.” “Kenapa kamu sampai punya pikiran seperti itu?” “Ya … itu juga gara-gara kamu,” sahutku, “aku udah panas-panas cuman pingin kasih kejutan buat kamu di kantor kamu. Tapi malah aku yang dibuat kesal habis-habisan. Dari satpam kantor, sekretaris, bahkan kamu sendiri juga sepertinya nggak mau aku datang.” “Bukan gitu Alea.” “Kalau bukan itu alasannya, apa lagi? Orang-orang di kantor kamu juga sepertinya nggak suka liat aku datang. Mereka seperti liat alien, apa aku terlalu aneh buat mereka?” protesku lagi. “Jadi itu alasannya kamu mengubah penampilan kamu seperti ini?” tanyanya seperti mencoba memahami perasaanku. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku cuma mau terli
Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen
Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap
“Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p