Pagi itu berjalan sempurna, seperti biasanya. Bahkan asisten rumah tangga baruku, ternyata tak kalah cakap dalam pekerjaannya. Ia bahkan datang lebih pagi dari Bik Titin dan segera membantuku dalam urusan dapur. Perawakannya yang gemoi tak membuatnya lamban dalam mengerjakan tugasnya. “Non, mas sama Non itu cocok banget ya. Kata orang mah, kalo jodoh mukanya jadi mirip,” ucapnya siang itu saat ia sibuk mencuci panci bekas masak.Mendengar kalimat yang diucapkannya, mau tak mau aku tersenyum geli. “Memangnya sama dari mana, Mbak Santi?”“Yang satu ganteng, yang satu cantik. Gimana ya jelasinnya, pas banget, gitu Non. Macem liat putri sama pangeran dari negeri fantasi.” “Nah … kan. Mbak Santi cuman berfantasi,” balasku, “atau jangan-jangan maksud Mbak Santi aku putri Viona dan suamiku Shrek?”“Hah? Apa itu Non?” tanyanya, “di kampung aku cuma taunya putri salju, putri aladin sama putri malu.” “Ah … putri malu mana termasuk, Mbak,” sahutku. “Tapi simboknya Mbak Santi bilang, dulu pu
“Hei! Apa-apaan ini!” teriakku kesal ketika perempuan itu mencekal tanganku dan menyeretku kembali keluar. “Pak Jonathan! Sayang ….” Aku sama sekali tidak menyangka kalau perempuan itu punya tenaga sekuat kuda. Bahkan tanpa bantuan, ia berhasil membuatku keluar dari ruang kerja suamiku. Kuusap pergelangan tanganku yang terasa panas karena cengkraman perempuan itu. “Anita! Kenapa kamu seret istriku keluar?” Suara keras itu tak urung membuatku tersenyum. “Hah? Jadi kamu … Nyonya Alea? Tapi … kenapa masih dia … sangat muda?” ucapnya dengan ekspresi seperti kebingungan. Pak Jonathan tampak gusar. “Dia istriku. Siapapun yang berani ganggu dia, harus berhadapan denganku.” “M–maaf Nyonya.” Spontan perempuan yang dipanggil dengan nama Anita itu langsung minta maaf sambil menundukkan kepalanya. Masih belum hilang rasa terkejutku, Pak Jonathan telah meraih tanganku dan membawaku ke ruangannya. Ruangan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan ruang sempit kesiswaan di SMA Merah Pu
“Aku mau culik kamu.” Lelaki itu menghentikan langkahnya, sehingga mau tak mau langkahku pun terhenti. Kucoba menariknya lagi agar ia mengikuti langkahku. Tapi tentu saja itu nyaris mustahil dengan tenaga yang sama sekali tak sebanding. “Silahkan,” godanya tanpa niat untuk bergerak dari tempatnya.“Ayo, kita lari,” ajakku. “Katanya kamu mau culik aku. Silahkan,” ucapnya seakan sengaja membuatku kesal. “Ya udah, ya udah. Kalo gitu kamu aja yang culik aku.” Aku rasa tak akan bisa menghadapinya dengan kekerasan, harus dengan otak. “Tapi … aku sama sekali tidak ingin menculikmu,” sahutnya dengan tenang. Dan ketenangan itu membuatku merasa semakin putus asa. Bagaimana tidak, niatku untuk menghabiskan hari ini bersamanya, tak mendapat respon yang kuinginkan. Dia seperti … sama sekali tak tertarik untuk bersamaku.“Ya udah,” sahutku yang langsung melepaskan genggaman tanganku, “kamu balik aja ke Anita. Toh, nanti juga bakalan ada cowok cakep lain yang mau culik aku dari sini.” Kutekuk
“Hah! Ponselku mati? Jadi dari tadi ponselku mati?” ulangku masih tak percaya dengan ucapannya. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kecilku. Dan benarlah. Layarnya gelap tanpa tanda kehidupan. Aku menghela napas. “Maaf, aku kira kamu nggak telpon atau cari aku sama sekali karena kamu sudah nggak peduli lagi sama aku.” “Kenapa kamu sampai punya pikiran seperti itu?” “Ya … itu juga gara-gara kamu,” sahutku, “aku udah panas-panas cuman pingin kasih kejutan buat kamu di kantor kamu. Tapi malah aku yang dibuat kesal habis-habisan. Dari satpam kantor, sekretaris, bahkan kamu sendiri juga sepertinya nggak mau aku datang.” “Bukan gitu Alea.” “Kalau bukan itu alasannya, apa lagi? Orang-orang di kantor kamu juga sepertinya nggak suka liat aku datang. Mereka seperti liat alien, apa aku terlalu aneh buat mereka?” protesku lagi. “Jadi itu alasannya kamu mengubah penampilan kamu seperti ini?” tanyanya seperti mencoba memahami perasaanku. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku cuma mau terli
“Makasih buat apa?” tanyanya. “Buat ceritakan semua perasaan Bapak dengan jujur,” sahutku. “Lalu jawaban kamu? Tadi kan, kamu belum jawab pertanyaanku.” Lelaki itu menuntut sebuah jawaban atas pertanyaannya tadi. Aku menarik sudut bibirku, memamerkan seulas senyumanku padanya. “Rahasia.” “Alea. Itu nggak sportif namanya,” protesnya. “Biarin, wee,” sahutku sembari menjulurkan lidah. Tentu saja aku tidak ingin mengatakan apa yang ada dalam hatiku. Aku tidak ingin dia tahu bahwa perasaanku juga sudah berubah karena cara dia memperlakukan aku. Aku tidak ingin dia tahu, bahwa perhatiannya dan kelembutannya selama ini sudah membuatku jatuh cinta. Bukan hanya itu, sepertinya aku bahkan jadi tergantung padanya. Aku seperti tak akan bisa hidup tanpa dia di sisiku. Tidak seperti yang kuduga. Malam ini taman hiburan leb8h ramai dari biasanya. Hiruk pikuk para pengunjungnya membuatku terkadang terdorong bahkan terhimpit di antara lautan manusia itu. Namun selama genggaman erat tangan
Beberapa detik yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Sesaat kutatap sepasang manik indah lelaki di sampingku. Lelaki yang kini telah berhasil mencuri hatiku. Ia baru saja menciumku di sini. Jauh dari permukaan tanah, disaksikan ribuan bintang di langit dan lautan manusia di bawah sana. Lelaki itu meraih pinggangku, dan untuk kedua kalinya ia menipiskan jarak di antara kami dan mengecup bibirku dengan lembut. Ah … tidak, kecupan lembut itu berubah menjadi lumatan yang penuh gairah. Klik! “Hei, apa yang kalian berdua lakukan?” tanya sang petugas saat membuka pintu bianglala dengan ekspresi terkejut.Mendengar suara itu, tentu saja kami langsung saling melepaskan diri. Rasanya seperti … seekor kucing yang sedang tertangkap basah berada di atas meja makan dan menikmati seekor ikan goreng.Malu? Tentu saja. Aku harap semua ini hanyalah mimpi dan aku terbangun di atas kasurku sebentar lagi. Tapi sesaat kemudian pintu itu kembali tertutup. “Oke, satu putaran lagi buat kalian
Udara terasa semakin dingin saat pagi menjelang. Hangatnya tubuh dan lembab kulitnya, masih enggan kulepaskan dari pelukanku. Detak irama jantungnya terdengar jelas di telingaku. Bahkan aroma tubuh maskulinnya tercium dengan jelas oleh indraku. “Alea, kamu belum tidur?” Suara itu terdengar lembut, seakan takut mengusikku yang masih berada dalam dekapannya. “Hmm …” sahutku dengan tenaga yang tersisa, “mana bisa aku tidur setelah kena jurus serangan tanpa bayanganmu barusan.”Lelaki itu tergelak. Namun sesaat kemudian ia terdengar mulai serius. “Sebelum kuliahmu dimulai, kenapa kita tidak pergi ke suatu tempat, menghabiskan waktu berdua tanpa memikirkan apapun. Hanya berdua saja,” ucap Pak Jonathan tiba-tiba. “Seperti saat ini?” tanyaku.“Tidak. Lebih dari ini. Mungkin seminggu atau dua,” lanjutnya, “atau lebih.” “Seperti … bulan madu?” tanyaku lagi“Benar. Bulan madu. Kita belum melakukannya, kan?” lanjutnya lagi, “kamu mau?”“Nggak,” sahutku cepat.Pak Jonathan menghela napas. Se
“Apa? Bali?”“Iya. Aku sudah minta Anita untuk mempersiapkan semua akomodasi yang kita butuhkan,” ucap Pak Jonathan. Lelaki itu tampak bersemangat saat menceritakan niatnya. Kutatap daging salmon di atas hidangan sushi di piringku tanpa selera. Membayangkan indahnya pulau dewata yang mungkin hanya bisa kunikmati dari balik jendela kamar selama dua minggu, benar-benar membuatku semakin kesal. “Hei, dengar. Banyak tempat yang bisa kita kunjungi di sana. Nggak kalah sama luar negeri. Bahkan turis mancanegara saja, lebih memilih pulau itu sebagai destinasi mereka,” terang Pak Jonathan. “Iya, aku tahu,” keluhku, “asal kamu nggak kurung aku di kamar cuman buat jadi mesin pencetak bayi, aja.” “What?” pekik Pak Jonathan tiba-tiba, “jadi sedari tadi kamu mikirin itu? Aku cuma bercanda, Alea. Hei … aku itu sayang sama kamu. Yang aku pikirkan cuma bagaimana cara untuk membahagiakan kamu, Sayang.” Aku menatapnya dengan sudut mataku. “Sungguh? Tentang bayi itu, kamu nggak serius, kan?” “Asta
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p
“Please …” lirihku sembari meremas pundaknya. Rasa gemas membuatku tak mampu menguasai diri, apalagi di saat hasratku seakan meluap sampai ke ubun-ubun. Tapi lelaki itu seperti tak peduli akan rengekan atau desah nafasku yang semakin tak karuan. Ia justru menempelkan ujung lidahnya dan berputar mengelilingi bagian puncak di dadaku. Tubuhku semakin menegang karenanya. Sepasang tanganku menggapai rambutnya, mencengkeram helaian berwarna hitam yang tumbuh di batok kepalanya“Al, kamu mau punya suami botak?” Akhirnya ia berhenti melakukan hal yang menyebalkan itu. Kulepaskan cengkraman tanganku dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada. “Makanya jangan cari gara-ga–”Tok! Tok! Tok!Mendengar suara ketukan itu, membuatku menghentikan ucapanku. Tentu saja hal itu sangat menggangguku, bahkan kami belum sempat bercinta. “Tunggu sebentar,” ucap Pak Jonathan sembari beranjak dari atas tubuhku dengan gerakan enggannya. Lelaki itu cepat-cepat memakai celana panjangnya sampai terhuyung ka
“Tentu saja, mereka semua justru yang akan iri sama aku,” sahutku cepat, “karena semua hal yang setiap perempuan inginkan, ada sama kamu.” “Alea, kamu lagi ngejek aku, kan?” “Kok ngejek? Aku bicara apa adanya, kok,” balasku, “kamu itu mapan, ganteng, pintar dan ….” “Dan apa?” “Nggak jadi.” Aku langsung berbalik dan melangkah kembali masuk ke halaman rumahku. Sumpah! Demi apa aku sampai mengatakan semua itu. Tapi … sepertinya nggak masalah kalau sesekali aku memujinya seperti ini. Mungkin ia jadi pencemburu karena ketidak percaya diriannya saja. “Dan apa Al? Kamu sengaja ya, mau bikin aku mati penasaran.” “Nggak, aku bilang nggak jadi,” sahutku. Sepertinya semua yang kukatakan tadi, sudah cukup. “Alea!” panggilnya dengan suara merayu sembari mengikuti langkahku, “dan apa dong.”Kudengar suara pintu tertutup di belakangku. Dan sesaat kemudian kurasakan sentuhan tangannya di bahuku. Tangan itu membuatku mau tak mau memutar tubuhku untuk menghadapnya. “Dan apa, Al?” tanyanya deng
Aku berdiri dari kursiku. Ingin sekali kulempar semua hidangan di hadapanku. Bagaimana bisa ia mengatakan semuanya tanpa rasa bersalah, seolah semua yang sudah kami lalui hanyalah sebuah lelucon belaka. Kecewa? Tentu saja aku merasa sangat kecewa. Kalimat itu bahkan membuatku merasa tak berharga lagi. Seakan dia hendak mencampakkan aku setelah semua cinta tulus yang kuberikan. Sepertinya aku salah karena mengira ia mencintai dan memperlakukanku dengan tulus. Rasa sakit seperti menamparku pada kenyataan yang kini kurasakan.“Jadi … setelah semua ketulusan yang aku berikan, kamu berniat mencampakkan aku?” “Bukan … bukan seperti itu. Al, aku tahu kamu terpaksa menikah denganku. Bahkan kamu mengajukan daftar keinginan hanya untuk membuatku mundur,” ucapnya dengan wajah yang seperti frustasi, “setelah peristiwa hari ini, akhirnya aku menyadari bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk membalas perasaanku.”Aku menghela napas sedalam-dalamnya dan menghembuska