“Ngedate sama si basket itu?” Pak Jonathan langsung membuka matanya lebar-lebar dan aku langsung tersenyum lebar. Tentu saja karena rencanaku berhasil“Selamat malam,” godaku, “atau selamat pagi, nih?” “Ah … kamu,” kesalnya. Mungkin mendengar kalimat tadi membuatnya terkejut, pikirannya yang langsung bekerja dan secara spontan membuatnya tak ingin lagi lelap. Tapi setelah menyadari bahwa itu cuma kata-kata randomku, ia justru mempererat pelukannya.“Ayolah, kita keluar. Aku butuh udara segar,” rayuku, “atau … kita berdua nginep di rumah papa hari ini? Kasihan, dia pasti kesepian tanpa anaknya yang cantik, baik hati dan ….”“Bawel,” sambung Pak Jonathan cepat, “dia pasti kasih kamu ijin nikah cepat cuma karena bosan dengar suara kamu yang berisik itu.” “Dih … siapa bilang,” kesalku, “aku sama papa itu nggak pernah berantem sebelum dia bilang mau jodohin aku sama orang asing macam jaman siti nurbaya.Gila aja, udah jelas aku nolak. Mana mungkin aku mau nikah sama lelaki yang usianya
“Kenapa nggak ikut? Kamu kan pacarnya? Ikut aja, siapa tahu Doni bisa cepet sembuh setelah dijenguk sama pacarnya,” ucap Bu Ella seperti sengaja memprovokasi Pak Jonathan. “Ella, berhenti bersikap seperti anak kecil.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Pak Jonathan dan sepertinya berhasil membuat Bu Ella bungkam dalam seketika. “Alea, salam buat papa, ya. Setelah semuanya beres, aku segera jemput kamu,” ujarnya. Aku menganggukkan kepalaku. Kusingkirkan perasaan kecewa karena memang aku tak bisa membantunya dalam masalah ini. Mungkin dia benar, kehadiranku bahkan bisa membuat masalahnya semakin bertambah runyam. Aku cuma bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kulambaikan tanganku saat mobil hijau itu perlahan bergerak menjauh, meninggalkan perasaan gelisah yang semakin tajam dalam hatiku. “Papa,” salamku sembari meraih tangannya dan menempelkannya di dahiku. “Mana suamimu?” tanya papaku.“Kan … mulai deh. Yang anak papa itu Alea, kan Pa. Kok yang dicari malah Pa
Mendengar kata penjara, badanku langsung bergetar. Tanpa terasa kotak kue, tempat donat-donat buatanku itu jatuh ke lantai. “Apa yang Tante lakukan? Tante sudah menjarain orang yang selamatin anak Tante, tau!” “Ha? Kalau dia yang nyelametin anakku? Lalu ambulans, dokter-dokter dan perawat-perawat itu ngapain? Main congklak?” sahutnya tak mau kalah, “kamu kira Pak Jonathan mu yang hebat itu yang melakukan operasi?” “Tan, aku yang ngikutin dia sampe ke rumah sakit ini. Tapi … dimana Tante saat tanda tangan Tante dibutuhkan?” cecarku dengan suara gemetar saking marahnya. “Eh … malah nyolot, nih anak,” hardiknya, “perempuan macam gini yang mati-matian kamu bela, Don? Nggak ada sopan santunnya sama orang tua.” “Ma … hentikan, Ma,” lirih Doni lemah. Mungkin robekan di perutnya tak memungkinkan baginya untuk bicara terlalu keras. “Pak Jonathan yang menandatangani semua berkas, menggantikan tanggung jawab Tante. Tapi ….” Aku seperti kehabisan kata menghadapi orang yang tak tau terim
“Alea,” ucapnya memanggil namaku. Aku segera berdiri dan melangkah mendekatinya. Senyum di wajahnya yang lelah itu tak membuatku sanggup menahan cairan bening yang menggantung di pelupuk mataku. “Pak buntal, kenapa kamu bikin aku nunggu lama sekali?” protesku sembari melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. “Maaf, sayang,” ucapnya, “aku juga nggak menduga kalau masalah ini bakal jadi serumit ini. Maaf, aku bikin kacau semua rencana hari ini.” Aku menatap manik mata gelap yang tampak sayu itu. “Aku percaya kamu,” ucapku dengan sangat hati-hati, “kamu sebaiknya mandi dan … biar kusiapkan minuman hangat untuk menghangatkan tubuhmu.” Sungguh, aku merasa lega. Membayangkan harus berpisah dengannya saja, sekarang aku tak sanggup. Aku merasa kehilangan separuh diriku jika tak ada dia di sisiku. Entah apa jadinya jika dia harus mendekam begitu lama di sel. Kubawa dan letakkan secangkir wedang jahe gula aren yang baru saja kuseduh di atas meja rias. Kudengar suara gemericik air itu be
“Alea ….” “Bukan aku ngelarang kamu buat wujudin impian kamu, tapi aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Bu Ella. Belum lagi kalo kamu main mata sama siswi-siswi kamu.” “Tapi aku nggak pernah main mata sama siapapun.” “Ah … yang bener,” godaku, “aku sering keliatan kamu salah tingkah loh, di kelas.” Lelaki itu merebahkan aku di atas ranjang kami. Kulihat wajahnya yang seperti tersipu.“Itu … karena kalian pake rok selutut. Dan meja sekolah kita tidak berpenutup. Kamu bisa bayangkan siapapun yang berada di depan kamu, pasti bisa melihat bagian yang tak seharusnya,” keluhnya.“Astaga, jangan katakan kalau … pemandangan seperti ini yang bikin kamu betah jadi guru di SMA Merah Putih,” tebakku setengah menggodanya. “Ah … akhirnya kamu tahu juga,” sahutnya alih-alih mengelak dari tuduhan itu, “aku bisa melihat sepasang paha sekaligus dengan celana dalam beraneka warna.” “Ish! Mesum!” Lelaki itu tiba-tiba menyentuh pahaku. “Tapi aku tidak perlu lagi melihat atau membayangkannya. Aku ba
“Ya … jejak, Al. Jejak,” ulang Vena seperti tak sabar, “kamu tandain biar orang lain tau kalo dia udah punya pasangan.” Aku menjentikkan jariku. “Macem stiker atau baju bertulisan gitu kan? Tapi … pasti dia nggak mau pake, deh.” “Duh … serah, deh. Mau kamu kasih jejak apa juga. Mau kamu sablonin kaos pake gambar muka kamu juga nggak papa.”“Ah! Ide bagus itu! Aku buatin macem gitu deh,” balasku, “captionnya apa ya?” “Ya udah, tulis aja. Punya Alea! Macem di tip ex kamu itu.” “Tapi dia bukan barang. Dia manusia. Jadi nggak manusiawi dong, kalo cuman gitu tulisannya.” “Ya udah, ganti aja. Pacar Alea,” jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit lebih ketus.“Kamu marah, ya?” “Ya jelas! Jelas banget aku marah,” balasnya, “nggak nyangka banget kalo Alea, temen aku yang cerdas itu ternyata lola.” “Ish! Kok lola sih. Tapi … ide kamu bagus, kok. Aku buat deh. Lumayan, kita belum punya nih.” “Ya udah, suka-suka kamu deh.” Cukup lama kami menghabiskan waktu di salon itu. Tentu saja p
“Gimana sih? Aku makin nggak ngerti deh,” sahutku,”nggak mungkin Doni bisa cari tahu pembunuh bapaknya. Kan dia cuman bisa tiduran di ranjang rumah sakit.” “Seharusnya gitu kan. Tapi Doni curiga sama ibunya. Jadi diam-diam dia ngerekam pembicaraan ibunya, tengah malam ibunya menghubungi seseorang saat ia tidur. Lalu rekaman itu dikirimkannya ke aku. Dan … saat aku jenguk dia, Doni suruh aku ambil ponsel ibunya buat diserahin ke polisi,” terang Audrico, “nyatanya dari pesan-pesan dalam ponsel itu, ibunya memang otak dari kejadian ini. Dia bayar orang buat bunuh mantan suaminya.” “Jadi … si Doni apes, karena pas itu ada di tempat kejadian. Tapi …. Wait! Buat apa dia bunuh mantan suaminya?” “Urusan pribadi, pastinya. Udahlah, biar polisi yang bereskan masalah ini. Kita nggak perlu ikut campur lebih dalam lagi,” sahut Pak Jonathan.“Tapi ….” “Iya. Mungkin saja urusan uang atau bisa juga urusan hati,” potongnya. “Kamu abis belanja, ya?” Sepertinya Pak Jonathan diam-diam mengamati pape
Aku melirik lelaki yang sibuk mengendalikan kemudinya. Sangat terlihat kala ia menahan tawanya. Seperti yang kuduga, panggilan itu justru terdengar menggelikan. Dan sumpah! Aku nggak bakal panggil dia dengan kata itu.“Kan … apa Alea bilang. Dia pasti lebih seneng dipanggil Pak Jonathan daripada panggilan lainnya,” gerutuku. “Sayang, yang bikin aku ketawa itu cara kamu ngomong. Bibirnya nggak usah dimonyong-monyongin gitu lah,” komentar Pak Jonathan. “Kalau gitu, kenapa kamu nggak panggil dengan panggilan yang sama, Alea?” “Panggilan yang sama gimana, Pa? Sama … sama apa?” tanyaku tak mengerti. “Ya itu tadi. Suami kamu udah bener itu, panggil kamu dengan kata sayang,” atur papa seolah konsultan hubungan suami istri.“Ah, harus panggil sayang, ya?” tanyaku dengan perasaan canggung. “Nggak sulit, kan,” ejek Pak Jonathan yang sepertinya mulai menikmati perpeloncoan papa terhadapku. “Iya, iya. Gampang, Pak Jonathan sayang.” “Lah, kok masih pakai kata pak,” protes papa. “Ya … pelan
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk