“Dan nggak ada yang gratis di dunia ini,” ucap lelaki itu dengan senyuman yang tak kumengerti. Aku menjauhkan wajahku saat dia mendekatkan wajahnya. “Apa? Pasti pikirannya mesum lagi, deh. Aku lagi nggak mood.” “Nah … sepertinya kamu yang mesum. Aku cuma mau kamu cuci piring, Alea,” sahutnya dengan senyum mengembang. “Lah … kok jadi aku. Bukannya malam ini mestinya giliran kamu, Pak Buntal?” “Tapi punggungku macem remuk setelah jadi kuda barusan. Gimana … kamu mau cuci piring atau mau jadi terapis? Sepertinya aku butuh pijatan lembut tangan seorang gadis muda buat pulih kembali,” godanya. Aku segera berdiri dan ke tempat cuci piring, sebelum lelaki itu sempat melucuti pakaian yang dikenakannya. “Dasar mesum!” Aku terkejut ketika sepasang tangan itu kembali menyentuh tubuhku. Keduanya melingkar begitu saja melewati pinggangku, saat aku sibuk mengoleskan spons berbusa sabun ke peralatan makan kamu. Dada lebarnya menempel di punggungku dan kurasakan kecupan di puncak kepal
“Ngedate sama si basket itu?” Pak Jonathan langsung membuka matanya lebar-lebar dan aku langsung tersenyum lebar. Tentu saja karena rencanaku berhasil“Selamat malam,” godaku, “atau selamat pagi, nih?” “Ah … kamu,” kesalnya. Mungkin mendengar kalimat tadi membuatnya terkejut, pikirannya yang langsung bekerja dan secara spontan membuatnya tak ingin lagi lelap. Tapi setelah menyadari bahwa itu cuma kata-kata randomku, ia justru mempererat pelukannya.“Ayolah, kita keluar. Aku butuh udara segar,” rayuku, “atau … kita berdua nginep di rumah papa hari ini? Kasihan, dia pasti kesepian tanpa anaknya yang cantik, baik hati dan ….”“Bawel,” sambung Pak Jonathan cepat, “dia pasti kasih kamu ijin nikah cepat cuma karena bosan dengar suara kamu yang berisik itu.” “Dih … siapa bilang,” kesalku, “aku sama papa itu nggak pernah berantem sebelum dia bilang mau jodohin aku sama orang asing macam jaman siti nurbaya.Gila aja, udah jelas aku nolak. Mana mungkin aku mau nikah sama lelaki yang usianya
“Kenapa nggak ikut? Kamu kan pacarnya? Ikut aja, siapa tahu Doni bisa cepet sembuh setelah dijenguk sama pacarnya,” ucap Bu Ella seperti sengaja memprovokasi Pak Jonathan. “Ella, berhenti bersikap seperti anak kecil.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Pak Jonathan dan sepertinya berhasil membuat Bu Ella bungkam dalam seketika. “Alea, salam buat papa, ya. Setelah semuanya beres, aku segera jemput kamu,” ujarnya. Aku menganggukkan kepalaku. Kusingkirkan perasaan kecewa karena memang aku tak bisa membantunya dalam masalah ini. Mungkin dia benar, kehadiranku bahkan bisa membuat masalahnya semakin bertambah runyam. Aku cuma bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kulambaikan tanganku saat mobil hijau itu perlahan bergerak menjauh, meninggalkan perasaan gelisah yang semakin tajam dalam hatiku. “Papa,” salamku sembari meraih tangannya dan menempelkannya di dahiku. “Mana suamimu?” tanya papaku.“Kan … mulai deh. Yang anak papa itu Alea, kan Pa. Kok yang dicari malah Pa
Mendengar kata penjara, badanku langsung bergetar. Tanpa terasa kotak kue, tempat donat-donat buatanku itu jatuh ke lantai. “Apa yang Tante lakukan? Tante sudah menjarain orang yang selamatin anak Tante, tau!” “Ha? Kalau dia yang nyelametin anakku? Lalu ambulans, dokter-dokter dan perawat-perawat itu ngapain? Main congklak?” sahutnya tak mau kalah, “kamu kira Pak Jonathan mu yang hebat itu yang melakukan operasi?” “Tan, aku yang ngikutin dia sampe ke rumah sakit ini. Tapi … dimana Tante saat tanda tangan Tante dibutuhkan?” cecarku dengan suara gemetar saking marahnya. “Eh … malah nyolot, nih anak,” hardiknya, “perempuan macam gini yang mati-matian kamu bela, Don? Nggak ada sopan santunnya sama orang tua.” “Ma … hentikan, Ma,” lirih Doni lemah. Mungkin robekan di perutnya tak memungkinkan baginya untuk bicara terlalu keras. “Pak Jonathan yang menandatangani semua berkas, menggantikan tanggung jawab Tante. Tapi ….” Aku seperti kehabisan kata menghadapi orang yang tak tau terim
“Alea,” ucapnya memanggil namaku. Aku segera berdiri dan melangkah mendekatinya. Senyum di wajahnya yang lelah itu tak membuatku sanggup menahan cairan bening yang menggantung di pelupuk mataku. “Pak buntal, kenapa kamu bikin aku nunggu lama sekali?” protesku sembari melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. “Maaf, sayang,” ucapnya, “aku juga nggak menduga kalau masalah ini bakal jadi serumit ini. Maaf, aku bikin kacau semua rencana hari ini.” Aku menatap manik mata gelap yang tampak sayu itu. “Aku percaya kamu,” ucapku dengan sangat hati-hati, “kamu sebaiknya mandi dan … biar kusiapkan minuman hangat untuk menghangatkan tubuhmu.” Sungguh, aku merasa lega. Membayangkan harus berpisah dengannya saja, sekarang aku tak sanggup. Aku merasa kehilangan separuh diriku jika tak ada dia di sisiku. Entah apa jadinya jika dia harus mendekam begitu lama di sel. Kubawa dan letakkan secangkir wedang jahe gula aren yang baru saja kuseduh di atas meja rias. Kudengar suara gemericik air itu be
“Alea ….” “Bukan aku ngelarang kamu buat wujudin impian kamu, tapi aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Bu Ella. Belum lagi kalo kamu main mata sama siswi-siswi kamu.” “Tapi aku nggak pernah main mata sama siapapun.” “Ah … yang bener,” godaku, “aku sering keliatan kamu salah tingkah loh, di kelas.” Lelaki itu merebahkan aku di atas ranjang kami. Kulihat wajahnya yang seperti tersipu.“Itu … karena kalian pake rok selutut. Dan meja sekolah kita tidak berpenutup. Kamu bisa bayangkan siapapun yang berada di depan kamu, pasti bisa melihat bagian yang tak seharusnya,” keluhnya.“Astaga, jangan katakan kalau … pemandangan seperti ini yang bikin kamu betah jadi guru di SMA Merah Putih,” tebakku setengah menggodanya. “Ah … akhirnya kamu tahu juga,” sahutnya alih-alih mengelak dari tuduhan itu, “aku bisa melihat sepasang paha sekaligus dengan celana dalam beraneka warna.” “Ish! Mesum!” Lelaki itu tiba-tiba menyentuh pahaku. “Tapi aku tidak perlu lagi melihat atau membayangkannya. Aku ba
“Ya … jejak, Al. Jejak,” ulang Vena seperti tak sabar, “kamu tandain biar orang lain tau kalo dia udah punya pasangan.” Aku menjentikkan jariku. “Macem stiker atau baju bertulisan gitu kan? Tapi … pasti dia nggak mau pake, deh.” “Duh … serah, deh. Mau kamu kasih jejak apa juga. Mau kamu sablonin kaos pake gambar muka kamu juga nggak papa.”“Ah! Ide bagus itu! Aku buatin macem gitu deh,” balasku, “captionnya apa ya?” “Ya udah, tulis aja. Punya Alea! Macem di tip ex kamu itu.” “Tapi dia bukan barang. Dia manusia. Jadi nggak manusiawi dong, kalo cuman gitu tulisannya.” “Ya udah, ganti aja. Pacar Alea,” jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit lebih ketus.“Kamu marah, ya?” “Ya jelas! Jelas banget aku marah,” balasnya, “nggak nyangka banget kalo Alea, temen aku yang cerdas itu ternyata lola.” “Ish! Kok lola sih. Tapi … ide kamu bagus, kok. Aku buat deh. Lumayan, kita belum punya nih.” “Ya udah, suka-suka kamu deh.” Cukup lama kami menghabiskan waktu di salon itu. Tentu saja p
“Gimana sih? Aku makin nggak ngerti deh,” sahutku,”nggak mungkin Doni bisa cari tahu pembunuh bapaknya. Kan dia cuman bisa tiduran di ranjang rumah sakit.” “Seharusnya gitu kan. Tapi Doni curiga sama ibunya. Jadi diam-diam dia ngerekam pembicaraan ibunya, tengah malam ibunya menghubungi seseorang saat ia tidur. Lalu rekaman itu dikirimkannya ke aku. Dan … saat aku jenguk dia, Doni suruh aku ambil ponsel ibunya buat diserahin ke polisi,” terang Audrico, “nyatanya dari pesan-pesan dalam ponsel itu, ibunya memang otak dari kejadian ini. Dia bayar orang buat bunuh mantan suaminya.” “Jadi … si Doni apes, karena pas itu ada di tempat kejadian. Tapi …. Wait! Buat apa dia bunuh mantan suaminya?” “Urusan pribadi, pastinya. Udahlah, biar polisi yang bereskan masalah ini. Kita nggak perlu ikut campur lebih dalam lagi,” sahut Pak Jonathan.“Tapi ….” “Iya. Mungkin saja urusan uang atau bisa juga urusan hati,” potongnya. “Kamu abis belanja, ya?” Sepertinya Pak Jonathan diam-diam mengamati pape
“Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan
“aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut
“Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.” “Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan. “Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas d
“Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk
Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”
“Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk
“Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada