Ken terus berjalan ke sana kemari, melupakan penampilannya sendiri yang tidak terurus. Seluruh atensinya hanya memikirkan Aira, menantikan kabar keberadaan wanitanya. Sebelum Aira kembali, dia sungguh tidak bisa berbuat apa pun. Kacau semua isi kepalanya.“Tuan,” panggil Kosuke, berdiri dengan napas terengah-engah setelah menaiki anak tangga dengan tergesa. Panggilan ponsel di tangan baru berakhir beberapa detik lalu. Seseorang mengatakan dia tahu posisi Aira saat ini.“Kau sudah menemukan di mana Aira?”Kosuke kehilangan seluruh kosa kata yang ada di dalam kepala. Kabar terbaru yang didapatkannya barusan membuatnya kehilangan fokus.“Nona ….” Kosuke menelan ludah dengan paksa, membasahi kerongkongan yang terasa kering seketika.“Di mana Aira?!” Ken menggeram tertahan, tidak sabar menunggu rangkaian kata yang menghentikan gundah gulana di dalam hatinya.“Aomori. Nona ada di Aomori, Tu ….”Belum sempat Kosuke menyelesaikan kalimatnya, Ken sudah lebih dulu melesat menuju mobilnya. Denga
Langit bertabur bintang terlihat begitu menawan. Bulan sabit yang menggantung melengkapi keindahan malam yang semakin larut. Semilir angin terasa menyejukkan, daun-daun bernyanyi bersama suara hewan melata di luar sana.Namun, hal yang sebaliknya terjadi pada Ken. Pria itu berkali-kali menyugar rambutnya dengan kasar, berharap helikopter yang dinaikinya bisa segera mendarat di titik yang sudah direncanakan, Prefektur Aomori.Sayangnya, itu hanya ada dalam angan-angan. Menggunakan pesawat jet dengan kecepatan super sekalipun, Fukuoka-Aomori tidak bisa ditempuh sekejap mata."Ai-chan, tunggu aku datang." Sekali lagi Ken harus menambah stok kesabaran di dalam dadanya, tidak bisa memaksa semesta menekuk hamparan tanahnya. Itu hal yang mustahil. Jarak yang terbentang sekitar 1.632 kilometer, bukanlah angka yang sedikit. Bahkan, membutuhkan waktu lebih dari dua puluh jam perjalanan darat untuk sampai ke sana."Tidak bisakah kau tambah kecepatannya, Erick?" Ken meremas jemarinya, tidak sabar
Selamat pagi, Readers semua yang author cintai. Mohon maaf, karena satu dan lain hal cerita Ken dan Aira belum bisa saya lanjutkan.Setelah berpikir berkali-kali, rasanya apa yang saya tuliskan belum maksimal. Rasa naskah semakin memudar di dalam hati saya. Jadi, dibandingkan mengunggah bab tanpa perasaan, lebih baik saya tunda sampai "feel" cerita ini kembali.Jadi, melalui pengumuman ini, saya nyatanya untuk sementara novel "Menikahi Dua Pria" terpaksa "hiatus" sejenak. Namun, saya berjanji akan segera menyelesaikannya setelah kondisi memungkinkan. Jaga kesehatan kalian, ya. Semoga kita semua dalam perlindungan Tuhan.Selagi menunggu buku ini diperbarui, kalian bisa baca cerita saya yang lain. Atau baca juga karya Rae_1243 yang berjudul "Pelakor Berkelas". Ada Angel dan Adam yang akan membuat kalian ikut emosi.Terima kasih perhatiannya, mohon maaf atas ketidaknyamanan Readers semua. 🙏Salam cinta,Hanazawa^^
"Di mana kalian menyembunyikannya?!" Pria dengan bekas luka sayat di pipi menggebrak meja, tampak kehilangan kesabaran. Tabiatnya memang seperti itu, mendahulukan otot dibandingkan otak. "Maaf, saya tidak mengerti siapa yang Anda cari. Tolong jangan membuat keributan tengah malam begini." Brak! "Kalian geledah seluruh kamar yang ada. Temukan wanita hamil itu secepatnya!" Orang-orang berpakaian hitam segera membubarkan diri dari belakang ketua gengnya, mulai memasuki bagian dalam penginapan seperti yang diperintahkan. "Tuan, Anda tidak bisa seperti ini. Kami akan mendapat keluhan karena waktu istirahat mereka terganggu." "Diam!" Sebuah tamparan mendarat di wajah resepsionis itu, membuatnya harus jatuh terjerembap ke lantai. Sakura yang baru keluar dari ruang penyimpanan anggur segera mendekati ayahnya, membantu pria 55 tahun itu berdiri. Di saat yang sama, para gangster yang ditugaskan untuk menggeledah kamar penginapan mulai kembali. Mereka melaporkan kalau tidak ada wanita ya
"Astaga, Nona. Apa yang harus kita lakukan?!" Sakura menyembunyikan Aira di belakang tubuhnya. Segerombolan pria berpakaian hitam menghadang mereka dalam cahaya remang-remang. Dia tidak tahu mereka datang untuk menangkap Aira Nagasawa atau justru sebaliknya.Aira tidak bisa menjawab. Keringat dingin semakin membanjiri pelipisnya. Belum lagi tangan dan kakinya yang gemetar, penuh ketakutan. Dia sama sekali tidak bisa bela diri, belati hitam di tangannya tidak akan berpengaruh banyak.Sakura melirik kanan kiri, mencari jalan keluar yang terbaik. Sayangnya, kebun stroberi ini tidak memiliki pintu selain di belakang sana yang terhubung dengan penginapan, dan satu lagi yang dipenuhi oleh orang-orang misterius itu. Sungguh tidak ada jalan keluar sama sekali."Nona, tetap di sini, saya akan ....""Tangkap mereka!"Belum sempat Sakura menyelesaikan kalimatnya, salah seorang pria di depan sana sudah berteriak. Satu per satu merangsek maju, siap menyergap dua wanita bertubuh mungil yang terliha
Sebuah peluru menyerempet lengan Aira, membuat sweater yang melekat di tubuhnya robek dan darah segar keluar dari sana. Langkahnya sempat terhenti, jatuh terjerembap di atas tanah yang sedikit basah. "Lari, Nona!" Lagi-lagi Sakura masih berusaha berteriak dengan tenaga yang tersisa. Matanya kembali awas menoleh ke sekitar, mencari apa saja yang bisa menghambat pergerakan orang-orang yang mengejar Aira. Dengan segala cara, Sakura merangkak ke samping. Dia mengumpulkan seluruh tenaganya demi menggeser sebuah drum kosong yang biasa digunakan untuk mencairkan pupuk. Hanya dalam hitungan detik, suara berkelontang menandakan benda itu tumbang. Selarik kusen kayu yang sedianya akan digunakan untuk merenovasi kebun stroberi, tiba-tiba berjatuhan. Para pengejar Aira tidak menyangka akan mendapat sambutan dari puluhan batang kayu berbentuk kotak itu. Beberapa tumbang karena terhantam kepalanya. "Sial! Menyusahkan saja!" Dor! Sebuah tembakan kembali dilesatkan oleh salah satu dari mereka ke
WARNING: Terdapat adegan brutal. Bukan untuk ditiru!"Mungkin ini jalan terakhirku untuk menyelamatkan diri," batin Aira sembari menggenggam erat belati di tangannya, bersiap menggoreskan benda tajam itu ke pergelangan. Bisa dipastikan darah segar keluar dari sana dan bisa mengantarkannya menuju alam baka."Tunggu!"Pria yang sempat menendang pinggang Aira sesaat lalu, mendekat sambil mengacungkan tangannya ke atas. Dia tidak bisa membiarkan buruannya mati begitu saja atau tidak sepeser pun bisa dia dapatkan dari orang-orang yang menyuruhnya."Jangan bodoh, Nona! Tolong berikan belati itu pada saya," pintanya sambil berusaha maju mendekati Aira. Terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya. Berkali-kali harus meneguk ludah dengan paksa."Kenapa? Kalian akan mendapat masalah jika aku mati?"Aira mengacungkan pisaunya, membuat dua orang menyingkir dan memberinya jalan. Tak ada lagi ketakutan dari sorot matanya. Dia sudah membulatkan tekad untuk mengambil alih keadaan. Meski begitu, hatinya t
Dengan langkah hampir seperti berlari, Ken membawa istrinya keluar dari mobil menuju instalasi gawat darurat. "Suster, Dokter, tolong ada pasien pingsan di sini!" Kosuke berteriak sambil berlari mendahului tuannya, membukakan pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan dunia luar. Beberapa petugas segera mendekat, membantu Ken menurunkan Aira ke atas ranjang periksa. Dua orang yang lain segera menyiapkan peralatan pembersih luka. Sweater yang digunakan oleh Aira basah oleh darah, merembes ke gaun lengan pendek yang dipakainya. Petugas segera membersihkan lukanya, juga memeriksa tanda-tanda vital lainnya. "Tuan, silakan tunggu di luar." Seorang petugas membawa Ken keluar dari ruangan itu, segera menutup pintu yang semula terbuka dengan paksa. "Saya ingin melihat istri saya." "Tolong tetap tenang. Istri Anda akan baik-baik saja." "Dia kehilangan banyak darah, bagaimana mungkin baik-baik saja?!" Ken yang terbawa perasaan, tak lagi memedulikan kesopanan dan mengabaikan tulisan dilar