Selamat berjumpa kembali dengan kisah Ken dan Aira. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan berkomentar atau berikan rating di beranda novel ini ya. Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Novel ini akan saya tamatkan secepatnya. Salam penuh cinta, Hanazawa
"Minumlah," pinta Kakek sambil mengulurkan sekaleng soft drink pada Ken yang sedari tadi terus menggenggam tangan Aira. Pria itu tak beranjak sedikit pun dari sana sejak diizinkan masuk. Seluruh atensinya hanya tertuju untuk istrinya tercinta."Kakek, Aira seperti ini karena aku tidak bisa menjaganya dengan baik."Kakek Subaru menggeleng. Tidak ada yang salah di sini."Aku yang sudah membuat Aira pergi."Seulas senyum terbit di wajah pria lansia yang seluruh rambutnya berubah menjadi putih. Kearifan tampak jelas dari sorot matanya. Asam pahit kehidupan telah dia lalui, tidak semudah itu menyalahkan Ken akan apa yang terjadi pada Aira."Bolehkah orang tua ini bicara sedikit banyak?"Ken menoleh, menerima kaleng minuman dingin dan meletakkannya begitu saja di atas nakas."Kau tahu, Aira tetap akan celaka meskipun kau mengurungnya di dalam kamar sekalipun."Hah?!Ken mengerrutkan kening tanda tidak mengerti."Nak, sebelum kau membuka matamu, cobalah untuk membuka hati terlebih dahulu."R
Sekuat tenaga Ken berlari dari taman menuju ruang perawatan Aira. Setiap kalimat yang kakeknya ucapkan, terbayang di kepala. Dia tidak akan sanggup hidup tanpa wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta."Ai-chan!" teriak Ken saat membuka pintu, membuat Sayaka menoleh dengan wajah terkejut.Mengabaikan pertanyaan ibunya, Ken mendekat ke arah Aira sang istri dan langsung menghujani wajahnya dengan ciuman. Dia mengabaikan ventilator yang menutupi sebagian mulut dan hidung."Ada apa? Apa yang terjadi?"Sayaka menarik tubuh putranya, takut gerakan Ken yang terkesan buru-buru itu justru berakibat fatal pada kondisi menantunya yang belum siuman juga.Bukannya menjawab, Ken kembali menciumi kening dan pipi Aira. Bertubi-tubi, tanpa henti seolah itu saat terakhirnya bisa membersamai sang istri."Apa yang dia lakukan?" gumam Sayaka dengan kening berkerut tanda tidak mengerti tingkah putra semata wayangnya. Dia paham betul, Ken bukanlah seseorang yang mudah bertindak impulsif seperti itu. Lagi pu
"Ken," panggil Aira lirih, tapi berhasil membuat Ken telonjak seperti melihat hantu. Keheningan di ruangan itu membuatnya dengan jelas mendengar suara wanitanya.Seketika itu juga dia mengangkat wajahnya dari tangan Aira dan menatap wajah yang sebagian tertutup alat bantu napas. Mata sipitnya membola, hampir tak percaya menatap mata sayu yang saat ini mengerjap dua kali."Ai-chan," ucapnya dengan jantung berdegup kencang. Ribuan rasa syukur dia panjatkan ke hadirat Tuhan, segera beranjak mendekat ke wajah Aira dan berharap mendengar suaranya."Sayang, akhirnya kau bangun."Detik berikutnya, kecupan Ken kembali menghujani wajah Aira. Bahkan, kali ini bercampur dengan rasa haru yang luar biasa. Satu bulir air mata turun membasahi pipi pria itu, bersama napas yang hampir menderu. Hatinya buncah oleh rasa bahagia yang tak terkira.Tangan kiri Aira yang terbebas mencoba meraih lengan Ken, bersama wajah yang menoleh ke samping. Sedikit menjauh dari pria yang sedang tenggelam dalam euforia s
"YAMAZAKI KENZO! APA YANG KAMU LAKUKAN?!"Aira hampir berteriak mendapati tangan kiri Ken menelusup di bawah pinggangnya dan tangan kanan mulai meraba sesuatu yang hanya dimiliki oleh kaum hawa. Pria itu memang sengaja melakukannya, tidak peduli tempat maupun pintu yang belum terkunci di belakang sana.Selimut yang semula menyembunyikan tubuh Aira, kini tersingkap dan jatuh ke lantai, menampilkan tubuh kurus Ken yang mendekap erat istrinya. Pria itu bahkan menempelkan bibirnya tepat di pangkal leher wanitanya dan sengaja mencium bagian sensitif itu. Gelenyar aneh segera dirasakan oleh Aira."KEN!" Sekali lagi Aira menyentak galak. Dia berusaha melepaskan diri dari dekapan sang suami."Diamlah. Jangan berteriak atau perawat akan datang kemari dan melihat kita seperti ini."Aira membungkam mulutnya, tapi terus berusaha menyingkirkan tangan dan jari yang semakin kurang ajar di depan sana. Pria itu tak punya malu, sengaja mengalihkan kemarahan Aira ke hal lain yang tidak bisa dimungkiri k
"Ai-chan, apa yang kau lakukan?" Ken membulatkan mata setelah berhasil melepaskan bibirnya dari sergapan sang istri yang penuh tuntutan, membuat tubuhnya panas dan menggelora. Untuk pertama kalinya, wanita itu berinisiatif memulai pergulatan panas mereka."Apa lagi? Bukankah kamu menginginkannya?"Ken meneguk ludah dengan paksa, menyadari sorot mata Aira yang mulai berkabut oleh gairah. Padahal, sesaat lalu air mata terkumpul di sana."Selama masih ada waktu untuk bersama, berikan kenangan malam panjang yang tak terlupakan untukku!" bisik Aira di telinga Ken setelah mendorong tubuh suaminya ke belakang. Tangannya sigap menarik tirai yang membungkus ranjang perawatannya, menyembunyikan pergulatan panas yang mungkin akan terjadi.Namun, Ken menahan Aira yang bersiap mencium bibirnya untuk ke sekian kali. Dia masih waras, tidak mungkin membiarkan Aira menggila setelah perawatannya. Bahkan, wanita itu masih dalam tahap pemulihan setelah kejadian besar yang hampir merenggut nyawanya."Ding
Aira menarik napas dalam, menarik udara beraroma dedaunan yang basah oleh hujan sesaat lalu. Pertengahan tahun yang mendekati musim panas, sesekali masih diwarnai gerimis. Dengan menahan rasa sesak di dada, Aira duduk di beranda belakang rumah kakek Yamazaki yang seluruhnya terbuat dari kayu. Bahkan, lampion-lampion berwarna kuning keemasan menghiasi setiap sudut rumahnya yang terletak di kaki gunung. Suara hewan melata dan serangga malam menjadi simfoni yang cukup menenangkan untuk Aira. Dia menikmatinya dalam senyap, sesekali berpadu dengan sedu-sedan yang masih bermunculan satu dua. Tangisnya reda, meski tetes air mata masih luruh di pipinya sesekali. Sayaka mendengar jelas pertengkaran Ken dan Aira, tepatnya luapan kemarahan yang tidak biasanya terlontar dari menantunya. Kesabarannya menipis, mengungkap semua ganjalan di dada. "Boleh Ibu duduk di sini, Nak?" tanya Sayaka sembari mengulurkan syal pada Aira, mencegah angin dingin membelai leher dan tengkuknya. Aira bergeming, m
Ken mengembuskan napas kasar, menyugar rambutnya beberapa kali. Sudah satu jam berlalu dan Aira belum juga kembali ke kamar mereka. Sekeping memori terlintas. Beberapa jam sebelum malam tak terlupakan itu mengusik ketenangannya."Tuan Muda, tolong jaga dia sebentar." Kaneko tersenyum, mendudukkan Aira kecil di hadapan Ken. Langkahnya cepat kembali ke dapur, mengaduk bubur merah kesukaan Ken. Sesekali matanya yang tajam menoleh ke sana kemari, memeriksa sekecil mungkin pertanda dari sekitar mereka.Seekor burung gagak terbang rendah, hinggap di pohon maple yang berjarak beberapa meter dari rumah kayu dua lantai itu. Kaneko melihatnya dengan jelas, tapi berusaha menyingkirkan prasangka buruk yang mulai menghantuinya. Dia tetap tenang dan meneruskan aktivitasnya."Bibi, siapa namanya?" Ken kecil mendongak, menatap wanita yang sibuk di belakang meja dapur dengan apron hitam menggantung di lehernya."Ai," jawabnya singkat, menyajikan semangkuk bubur dengan segelas susu untuk Ken."Aku tida
"Segera hubungi aku jika ada hal mendesak," pesan Ken pada Aira yang mengantarkannya ke pintu depan. Di belakangnya, tampak Sayaka dan kakek Yamazaki mengangguk. Keduanya pasti akan menjaga Aira sebaik-baiknya bahkan tanpa Ken minta.Aira memeluk Ken sekali lagi, kali ini lebih erat dari pelukan saat di kamar tadi. Entah kenapa, dia berat hati melepas sang suami, terlebih dia berkendara seorang diri. Tidak ada Kosuke yang menjemputnya seperti biasa."Kakek, bisakah Kakek mengutus seseorang untuk menemani Ken? Aku tidak bisa membiarkannya sendirian. Kyoto ke Fukuoka bukan jarak dekat. Semua kemungkinan bisa terjadi, bukan?""Love, jangan terlalu paranoid seperti itu. Ini bukan perjalanan pertamaku."Aira menggeleng tegas, tetap menatap Yamazaki Subaru dengan tatapan memohon, "Kakek ...."Embusan napas kasar terlihat dari pria 77 tahun itu, mengangguk sambil menjentikkan jarinya. Tiga orang pria berpakaian serba hitam segera muncul entah dari mana, membuat Ken dan Aira saling pandang."
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua